Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Dua mata di balik tirai
Pagi itu, udara di istana timur terasa lebih dingin dari biasanya.
Burung-burung belum sempat bernyanyi ketika langkah kaki berat bergema di halaman luar ritme teratur, disiplin, dan berwibawa.
Elara berdiri di teras paviliun, mengenakan jubah tipis berwarna putih gading. Rambutnya digelung sederhana, tanpa mahkota, hanya dengan jepit perak.
Ia menatap dua sosok yang kini berlutut di hadapannya.
“Hormat kami, Yang Mulia. Kami ditugaskan langsung oleh Kaisar untuk menjaga keselamatan Anda.”
Yang pertama, pria bertubuh tinggi dan berwajah tegas. Matanya gelap, sikapnya seperti batu tenang, tak terbaca.
Nama yang disebutkan oleh kasim adalah Komandan Rion Vale kepala pengawal pribadi Kaisar.
Yang kedua, pria muda dengan tatapan lembut namun tajam di ujung mata.
Ia memperkenalkan diri dengan suara rendah,
“Nama saya, Kaen.”
Saat Elara menatapnya, sesuatu dalam dirinya bergetar.
Tatapan itu… entah kenapa terasa familier.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan tenang atau setidaknya terlihat begitu.
Rion menjaga dari jarak jauh, nyaris tak berbicara. Tapi Kaen berbeda.
Ia selalu berada di dekat paviliun timur, berdiri di bawah pohon melati, memperhatikan setiap langkah Elara dengan pandangan yang sulit diartikan.
Suatu sore, saat Elara sedang menulis di ruang baca, Kaen datang membawa laporan kecil.
“Yang Mulia, perintah Kaisar tidak ada tamu yang boleh masuk ke wilayah timur tanpa izin langsung dari istana utama.”
Elara tidak mengangkat wajahnya.
“Aku tahu. Kau sudah mengulanginya tiga kali hari ini.”
Kaen menunduk sedikit, tapi senyum tipis terbit di bibirnya.
“Saya hanya ingin memastikan Anda tidak bosan, Yang Mulia.”
Elara berhenti menulis.
Nada suaranya ringan, tapi caranya bicara…
Santai. Terlalu santai untuk seorang pengawal baru.
Ia menatapnya lama, lalu berkata pelan,
“Kaen. Kau terlihat… terlalu tenang untuk seseorang yang baru ditugaskan menjaga permaisuri.”
Kaen mengangkat kepalanya. Tatapan mereka bertemu.
Senyum itu masih di sana, tapi matanya — matanya penuh arti.
“Saya sudah terbiasa mengawasi seseorang yang tidak mudah dijaga, Yang Mulia.”
Elara menegakkan tubuhnya perlahan.
“Penjaga sebelumnya berkata begitu juga?”
“Tidak, Yang Mulia.”
Kaen menatap langsung ke matanya.
“Saya berkata begitu… karena saya tahu siapa Anda sebenarnya.”
Keheningan turun mendadak.
Miraen yang berdiri di sudut ruangan menoleh kaget, tapi Elara mengangkat tangan kecil, menyuruhnya diam.
“Apa maksudmu?” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Kaen melangkah lebih dekat, hingga hanya berjarak dua langkah.
“Beberapa tahun lalu… di dunia lain, saya pernah mendengar nama Aira Jung.”
Dunia seakan berhenti berputar.
Tinta di kuas Elara menetes ke kertas, membentuk noda hitam kecil.
“Itu nama yang tak seharusnya ada di sini,” katanya pelan.
Kaen menunduk sedikit, lalu menatapnya lagi kali ini tanpa senyum.
“Saya tidak tahu bagaimana Anda bisa berada di dunia ini, Yang Mulia. Tapi saya mengenal wajah itu, cara bicara itu. Anda bukan bagian dari kisah ini.”
Elara berdiri. Tubuhnya kaku, tapi matanya tajam.
“Kau juga bukan?”
Kaen terdiam sesaat sebelum menjawab,
“Saya juga bukan.”
Malam itu, Elara tidak bisa tidur.
Kata-kata Kaen terngiang di kepalanya.
“Saya juga bukan.”
Berarti bukan hanya dia yang berpindah ke dunia novel ini.
Ada orang lain mungkin lebih dari satu.
Ia menatap keluar jendela. Di bawah sana, Kaen berdiri di taman melati, berjaga dalam diam.
Wajahnya tak terlihat jelas, hanya siluet tubuh yang tegak di bawah sinar bulan.
“Jadi kau juga terjebak di sini,” bisiknya pelan. “Tapi untuk tujuan apa?”
Keesokan paginya, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Komandan Rion datang membawa pesan langsung dari Kaisar.
“Yang Mulia dipanggil ke Aula Tengah. Sekarang.”
Elara menatap Rion dalam-dalam. Wajahnya datar, tapi sikapnya sedikit tegang.
“Apa yang terjadi?”
“Ada laporan… bahwa seseorang mencoba menyusup ke kediaman Selir Valen semalam. Penjaga menemukan jejak pertarungan.”
Miraen menatap Elara dengan wajah pucat.
“Yang Mulia, jangan-jangan—”
Elara mengangkat tangannya.
“Aku tidak menyuruh siapa pun. Tapi tampaknya, seseorang mencoba mengubah naskah cerita ini lebih cepat dari seharusnya.”
Ia menoleh ke arah Kaen yang berdiri di luar pintu, menatapnya tanpa ekspresi.
“Dan aku ingin tahu,” katanya dingin,
“apa kau datang ke dunia ini untuk menyelamatkanku… atau mengawasi agar aku tidak keluar dari jalur?”
Saat ia melangkah keluar paviliun, angin pagi berhembus membawa aroma melati yang tajam.
Langkah-langkahnya ringan tapi penuh waspada.
Istana itu terasa berbeda sekarang bukan lagi sekadar tempat tinggal, tapi papan permainan yang dipenuhi bidak hidup.
Dan di antara semua bidak itu, kini Elara sadar satu hal pasti:
Ia bukan lagi satu-satunya orang dari dunia modern yang masuk ke cerita ini.