Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Bebas
Pintu kamar terbuka. Dua bodyguard Rima, Joni dan Janto, masuk begitu saja. Tepat saat Ardi baru saja menutup pintu kamar mandi.
Di ranjang, Kemala memejamkan mata rapat-rapat, berpura-pura tidur. Tapi dadanya naik-turun cepat, jantungnya berdetak begitu kencang seolah hendak melompat keluar.
"Tuhan, tolong kami..." Tak ada yang bisa ia lakukan selain memanjatkan doa.
“Coba periksa kamar mandi,” ujar Joni curiga.
Janto mengangguk, melangkah ke arah pintu.
Sementara itu, di balik pintu kamar mandi yang terkunci, Ardi dan Kevia berdiri rapat. Jantung keduanya berpacu gila-gilaan, napas mereka tertahan.
Klek!
Janto memutar kenop pintu, tapi terkunci.
Duk! Duk! Duk!
Janto menggedor pintu kamar mandi kasar.
“Siapa di dalam?!” suaranya tajam penuh curiga.
Kevia spontan menjawab, berusaha menutupi kegugupannya. “Aku… Kevia.”
“Buka pintunya!” bentak Janto.
Dari ranjang, Kemala pura-pura baru terbangun. Dengan suara lemah ia bertanya, “A-apa yang kalian lakukan di kamarku…?”
Namun bodyguard itu tak menggubris, terus saja mendesak. “Cepat buka pintu!”
Di balik pintu, Kevia menoleh pada ayahnya. Wajahnya tegang, matanya penuh kecemasan. Ardi menggeleng samar, lalu mengisyaratkan dengan tangannya: “Tenang… ikuti saja. Buka perlahan.”
Kevia menggigit bibirnya. Tangannya yang gemetar meraih gagang pintu. Jantungnya terasa hampir meledak saat ia memutar kunci dengan bunyi kecil yang seolah menggema di seluruh ruangan.
Perlahan, pintu kamar mandi terbuka beberapa senti.
Ardi berdiri di baliknya, rahangnya mengeras, tubuhnya menegang siap meledak kapan saja. Ia seperti bayangan gelap yang menunggu waktu.
"Kalian mau apa?" tanya Kevia waspada.
Janto menoleh, alisnya terangkat. Joni ikut menyeringai. Pandangan keduanya menyapu tubuh Kevia dari atas ke bawah, jelas-jelas dengan tatapan mesum.
“Kamu manis sekali…” Joni mendekat, suaranya setengah berbisik, setengah menggoda.
“Pantas Bu Rima protektif. Cantik begini… jangan-jangan semalam sudah ditemani om-om, ya?” tawa kasar mereka pecah.
"Pergi kalian dari kamarku!" seru Kemala dengan suara lemah tapi tajam. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuh, wajahnya menegang menahan amarah. Di balik pintu kamar mandi, rahang Ardi mengeras, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
“Pergi, atau aku bilang pada Nyonya Rima!” gertak Kevia, suaranya serak tapi penuh tekad.
Janto justru terkekeh. “Kau pikir nyonya Rima percaya? Hm?”
Dengan sengaja ia merangsek ke arah kamar mandi. Kevia berusaha menutupnya, tapi Janto menahannya.
"Jangan masuk!." Tubuh Kevia menegang, panik menahan pintu.
"Pergi kalian!" seru Kemala dengan suara lemah, panik. Ia berusaha bangun dan duduk.
Janto terus mendorong pintu hingga Kevia terhuyung mundur dan akhirnya berhasil masuk.
Tepat saat itu—
Brak!
Ardi menyelinap dari balik pintu, mengayunkan tangannya sekencang tenaga ke arah tengkuk Janto. Seketika tubuh besar itu ambruk, pingsan tanpa sempat bersuara, apalagi melawan.
“Janto?!” Joni terkejut. Ia langsung melangkah masuk, tapi Kevia dengan reflek menendang tulang keringnya keras-keras. Joni meringis kesakitan, kehilangan fokus sepersekian detik.
Kesempatan itu tak disia-siakan. Ardi kembali maju, menghantam tengkuk Joni dengan presisi. Tubuhnya pun limbung, jatuh tak sadarkan diri di lantai.
Keheningan mencekam menyelimuti kamar. Napas mereka bertiga terengah-engah. Kevia menutup mulutnya sendiri, hampir tak percaya pada apa yang barusan terjadi. Kemala menyandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang, mengatur napasnya.
Ardi buru-buru menarik putrinya dan menggendong Kemala. Mereka bertiga bergerak cepat keluar dari kamar, lalu dari luar mengunci dua bodyguard itu dalam kamar rapat-rapat.
Kini, hanya ada satu hal di benak Ardi, melarikan istri dan anaknya, sebelum semuanya terlambat.
Mobil hitam milik Rima berhenti di tepi jalan. Ardi turun, menutup pintu dengan tegas, lalu meninggalkan kendaraan itu begitu saja bersama anak dan istrinya. Ia berjalan di samping putrinya, menggendong Kemala yang lemah. Mereka berjalan menyusuri jalanan, hingga akhirnya memilih beristirahat di bawah rindang pohon tua.
Di kursi beton sederhana, Ardi duduk terengah. Napasnya masih berat setelah menahan semua tegang dan bahaya yang barusan terjadi. Kevia menaruh tas di sampingnya, lalu mengusap peluh di kening ibunya.
“Ayah masih ada uang,” ucap Ardi pelan, menatap dua wanita yang paling ia cintai. “Kemarin malam ayah pulang terlambat, belum sempat menyerahkan pendapatan ke Rima. Kita pakai itu dulu. Untuk biaya hidup… dan mencari kontrakan sementara. Ayah akan cari kerja.”
“Aku juga akan ikut bekerja, Yah,” sahut Kevia mantap.
Kemala menoleh, suaranya lirih. “Bukankah kau sudah mendaftar kuliah, Nak?”
Ardi ikut menimpali, suaranya tegas namun lembut, “Sayang, kamu harus melanjutkan pendidikanmu.”
Hening sejenak. Kevia tersenyum tulus, meski matanya berkaca-kaca. “Aku bisa kok kuliah sambil bekerja. Jangan khawatir, Yah, Bu.”
Ardi menunduk, jemarinya di atas paha meremas kain celananya sendiri. Suaranya pecah, penuh sesal. “Maafkan ayah… Ayah sudah membuat kalian menderita. Ayah ini kepala keluarga yang gagal.”
Kemala dan Kevia saling pandang, lalu serentak menggenggam kedua tangan Ardi. Hangat. Kuat. Menolak melepaskannya.
“Bagi Via,” Kevia menatap lurus ke mata ayahnya, senyum tulus terukir di bibirnya, “ayah tetaplah yang terbaik.”
Kemala menambahkan, meski tubuhnya lemah, suaranya penuh cinta, “Kamu sudah berusaha semampumu, Ardi. Jangan salahkan dirimu sendiri. Akulah yang membebani kalian.”
Ardi tercekat.
Kevia menggeleng cepat. "Ibu bukan beban kami."
Dengan cepat Ardi memeluk Kemala, lalu meraih Kevia, mendekap keduanya erat-erat seolah takut kehilangan lagi. Suaranya bergetar, namun penuh keteguhan.
“Kau dan Kevia adalah tanggung jawabku, bukan bebanku. Aku mencintai kalian. Kalianlah alasan aku bertahan sampai detik ini.”
Di tepi jalan sederhana itu, tanpa rumah, tanpa kepastian, mereka saling berpegangan. Dan justru di sanalah, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa benar-benar bebas. Meski mereka tahu, yang akan mereka hadapi di depan tidaklah mudah.
***
PRANGG!
Gelas kristal yang tadi di genggaman Rima menghantam lantai, pecah berkeping-keping. Suara benturannya menggema, membuat dua bodyguard di hadapannya menunduk makin dalam.
“Menjaga perempuan penyakitan saja nggak becus!” suara Rima tajam, menusuk telinga. “Percuma badan kalian kekar, aku gaji mahal, kalau melawan seorang pria, gadis kecil, dan wanita sekarat saja kalian tumbang!”
Joni dan Janto berdiam diri, wajah tegang, menunduk tanpa berani menatap majikan mereka.
“Cari mereka sampai ketemu!” bentak Rima, jemarinya menunjuk tajam. “Kalau tidak, jangan harap kalian akan aku gaji bulan ini!”
“Baik, Nyonya,” jawab keduanya serempak, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
Rima menggertakkan gigi. “Sial! Ardi benar-benar nekat.”
Ia menghela napas panjang, lalu menyeringai tipis. “Baiklah… aku ingin lihat, berapa lama mereka bisa bertahan di luar sana. Perempuan penyakitan itu… akan segera mati kalau tidak cuci darah.”
Tangannya meraih ponsel, cepat ia menghubungi salah satu karyawan. “Sudah tahu penyebab kebakaran?” tanyanya dingin.
Suara di seberang terdengar gugup. “M-mungkin korslet listrik, Bu.”
“Mungkin?” Nada suara Rima meninggi. “Beberapa hari ini, terutama pagi tadi, apa Ardi terlihat mencurigakan?”
“Pak Ardi seperti biasa, Bu. Saat kami sampai, beliau sedang membantu membersihkan lantai yang tergenang air karena keran bocor. Tadi waktu kebakaran juga panik, ikut mengarahkan kami menyelamatkan barang.” Suara karyawan itu terhenti sejenak, lalu terdengar ragu. “Ibu… apa mencurigai Pak Ardi?”
Tatapan Rima menyipit. “Dia selalu datang lebih pagi dari kalian, 'kan?”
“I-iya, Bu,” jawabnya takut-takut. “Tapi saya tidak melihat hal mencurigakan. Semua berjalan normal.”
Hening sejenak, lalu suara di seberang kembali lirih. “Tapi, Bu… pemilik paket sudah menuntut ganti rugi. Nilainya… fantastis. Banyak paket bernilai tinggi yang terbakar di gudang.”
“Brengsek!” Rima menghantam meja dengan telapak tangannya. “Sialan!”
Belum sempat amarahnya reda, suara nyaring terdengar dari luar.
“Bu! Buuu!”
Pintu ruangannya terbuka dengan kasar. Riri masuk tergesa, wajahnya panik, suaranya bergetar.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ayo semangat kejar cintamu sebelum ia diambil orang lain ntar nyesel Lo...
walaupun kamu belum tau wajahnya tapi kamu kan tau ketulusan cintanya itu benar2 nyata,
dia rela memberikan apapun yang ia miliki kalau kamu mau menikah dengannya,tunggu apalagi kevia...
selama kamu bersama ia terasa nyaman dan terlindungi itu sudah cukup.
semangat lanjut kak Nana sehat selalu 🤲
Takut kehilangan - salah kamu sendiri selalu bicara tidak mengenakkan Sinting. Sinting cinta sama kamu - sepertinya kamupun sudah ada rasa terhadap Sinting. Kamu masih bocah jadi belum bisa berfikir jernih - marah-marah mulu bawaanmu.
knapa kamu gk rela kehilangan pria misterius karena dia sebenarnya yoga orang yang selama ini kamu sukai
kalau cinta yang bilang aja cinta jangan kamu bohongi dirimu sendiri.
Menyuruh Kevia keluar dari Kafe dengan mengirimi foto intim Kevia bersamanya - bikin emosi saja nih orang 😁.
Akhirnya Kevia masuk ke mobil Sinting - terjadi pembicaraan yang bikin Kevia marah. Benar nih Kevia tidak mau menikah sama Sinting - ntar kecewa lho kalau sudah melihat wajahnya.
Kevia menolak menikah - disuruh keluar dari mobil.
Apa benar Sinting mulai hari ini tidak akan menghubungi atau menemui Kevia lagi. Bagaiman Kevia ??? Menyesal tidak ? Hatimu sakit ya...sepertinya kamu sudah ada rasa sama Sinting - nyatanya kamu tidak rela kehilangan dia kan ??
biarkan Yoga menjauhi Kevia dulu biar Kevia sadar bahwa Pria misterius itulah yang selalu melindunginya dan menginginkannya dengan sepenuh hati,,dengan tulus
klo sekarang jadi serba salah kan...
sabar aja dulu,Selami hati mu.ntar juga ayank mu balik lagi kok Via...
setelah itu jangan sering marah marah lagi ya,hati dan tubuh mu butuh dia.
sekarang udah bisa pesan...
hidup seperti roda,dulu dibawah, sekarang diatas...🥰🥰🥰🥰