Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih tak sadarkan diri
Sudah dua puluh empat jam Bu Hasna terbaring di ruang ICU, namun kondisinya belum juga menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan, kelopak matanya pun belum sedikit pun bergerak.
Dari balik kaca jendela, Cantika berdiri terpaku. Air matanya menetes tanpa henti, membasahi pipinya yang sudah memerah.
Tubuh ibunya yang lemah, wajah pucat yang ditutupi selang oksigen, semuanya membuat dadanya terasa sesak.
“Bu… Ibu mau hukum Tika, ya?” bisiknya pelan, suaranya bergetar nyaris tak terdengar.
“Tika ngerasa bersalah, Bu… hiksss…”
Matanya sembab, basah oleh tangis yang tak kunjung kering. Ia tak tahu sudah berapa kali air matanya jatuh, hanya tahu bahwa setiap tetesnya membawa sesal.
Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut mendarat di pundaknya. Cantika menoleh, dan mendapati Arkana berdiri di belakangnya.
“Tika…” panggil Arkana lirih.
Ia menatap wajah Cantika yang basah, mata yang merah karena terlalu lama menangis. Ada rasa nyeri menyesak di dada Arkana, melihat orang yang ia sayang hancur seperti itu membuatnya ikut terluka.
“Dok… kapan Ibu sadar?” tanya Cantika dengan suara gemetar.
Arkana menghela napas pelan, menatapnya penuh empati.
“Kamu berdoa aja, ya,” ujarnya lembut. “Insya Allah Bu Hasna akan segera sembuh. Kamu tahu kan, beliau itu wanita yang kuat.”
Tangannya terulur, menggenggam jemari Cantika yang terasa dingin dan lemas. Genggaman itu erat, hangat, seolah ingin menyalurkan sedikit kekuatan.
Cantika hanya terdiam. Bibirnya tak bergerak, tapi air matanya sudah lebih jujur dari kata-kata mana pun, menjelaskan betapa hancurnya perasaan perempuan itu.
“ Kamu udah makan?” tanya Arkana perlahan, suaranya nyaris berbisik.
Cantika menggeleng pelan. Sejak kemarin, tak ada sebutir nasi pun yang masuk ke perutnya. Bahkan air putih saja belum sempat ia minum. Duka menutup semua rasa lapar dan haus.
“ Tika, kamu butuh tenaga. Ayo makan dulu, ya?” bujuk Arkana lembut.
Cantika menggeleng lagi, suaranya parau saat menjawab, “Enggak, dok… aku belum tenang kalau belum lihat Ibu sadar.”
Arkana menatapnya dalam-dalam. “Tapi kasihan lambung kamu, Tika. Sedikit aja, biar kamu gak tumbang.”
“Gimana aku bisa makan, dok…” ucapnya lirih, lalu tersendat, “sedangkan Ibu masih… hiks…”
Tangis itu akhirnya pecah lagi. Bahunya bergetar, dan Arkana tak bisa menahan diri lebih lama. Ia segera menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, membiarkan Cantika menangis di dadanya.
Dalam pelukan itu, Arkana bisa merasakan betapa rapuhnya perempuan yang selama ini terlihat kuat. Ia tak punya kata-kata ajaib untuk menenangkan, tak bisa mengubah keadaan. Hanya kehangatan pelukannya yang bisa ia tawarkan malam itu, pelukan yang berharap bisa menahan kepingan hati Cantika yang mulai retak.
Tanpa mereka sadari, seseorang berdiri di ujung lorong, seorang perempuan dengan jas dokter masih melekat di tubuhnya. Ia bersembunyi setengah di balik tembok, menatap dua sosok di depannya dengan mata yang menyala oleh amarah.
“Arkana…” gumamnya lirih namun tajam. “Kamu selalu cuek sama aku, tapi bisa sehangat itu sama perempuan malam itu? Gak adil.”
Tangan Aira mengepal kuat, urat di pergelangan tangannya menegang.
“Dari segi apa pun aku jauh lebih dari dia, Arka. Tapi kenapa kamu gak pernah sekalipun melirik aku?” bisiknya lagi, getir.
Penolakan demi penolakan dari Arkana membuat hatinya semakin panas. Kecemburuan itu berubah jadi bara kecil yang membakar logika.
“Ini gak bisa dibiarkan,” desisnya.
Tanpa berpikir panjang, Aira melangkah cepat menghampiri mereka.
“Maaf, Dok… boleh saya minta bantuan sebentar?” suaranya terdengar datar namun bergetar halus menahan emosi.
Suara itu membuat Arkana dan Cantika tersentak. Refleks, pelukan mereka terlepas. Cantika langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya yang masih basah air mata.
“Kenapa, Dok?” tanya Arkana singkat.
Aira tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata. “Ada beberapa pekerjaan yang perlu saya klarifikasi. Bisa bantu saya sebentar?”
Tatapan Aira menyapu wajah Cantika dari ujung kepala hingga kaki. Sorot matanya dingin, seperti pisau yang menyayat diam-diam. Cantika bisa merasakannya; hawa ketidaksukaan itu begitu jelas.
“Oh, iya,” jawab Arkana akhirnya. Ia menatap sekilas ke arah Cantika.
“Tika, saya bantu Dokter Aira dulu, ya.”
Cantika mengangguk pelan, tak berani menatap balik. Setelah keduanya pergi, ia menunduk lagi, memeluk kedua lututnya, sementara bayangan langkah mereka menjauh, meninggalkan rasa asing di dada yang tiba-tiba terasa dingin.
Setelah Arkana pergi bersama Aira, Cantika masih duduk di kursi tunggu ruang ICU. Rambutnya yang sedikit kusut menutupi sebagian wajah, matanya sembab, dan tubuhnya tampak lemas. Dari balik kaca tebal, ia terus memperhatikan tubuh ibunya yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Suara mesin monitor menjadi satu-satunya tanda bahwa sang ibu masih berjuang untuk hidup.
Tit... tit... tit...
Bunyi itu seperti menembus jantung Cantika, ritme yang menegangkan, seolah kapan pun bisa berhenti.
Sudah hampir dua jam ia duduk di sana, tanpa makan, tanpa bicara.
Namun tiba-tiba, bunyi alarm dari dalam ruangan memecah keheningan.
Tit... tit... tit... tit...
Cantika spontan berdiri, wajahnya panik. Dari balik kaca, terlihat tubuh Bu Hasna mulai kejang. Para perawat langsung berlari mendekat, menekan dada wanita itu dengan cepat.
“Ibuuu!” teriak Cantika sambil menepuk kaca. “Tolong... ibu saya kenapa?! Tolong selamatkan ibu saya!”
Suara tangisnya pecah, memecah udara yang tegang.
Namun tak ada yang bisa ia lakukan, pintu tetap terkunci, hanya para medis yang diizinkan masuk.
Detik demi detik terasa begitu lama, sementara monitor terus menunjukkan angka yang menurun tajam.
“Ya Allah... jangan ambil ibu saya, jangan sekarang...” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Lalu, seketika suara itu berubah menjadi satu garis panjang.
Tiittttttttttt...
Dunia seperti berhenti berputar.
Cantika terpaku di tempat, matanya menatap monitor yang kini menunjukkan garis lurus. Tubuhnya melemas, langkahnya gontai hingga akhirnya jatuh berlutut.
Seorang perawat keluar dengan wajah muram, menunduk.
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin...”
Air mata Cantika langsung pecah. Ia berlari masuk tanpa peduli larangan siapa pun, mendekap tubuh ibunya yang kini terbaring kaku.
“Bu... jangan tinggalin Tika, Bu... Tika janji gak bakal bikin Ibu sedih lagi... Tika mohon, bangun, Bu...”
Tangisnya menggema di ruangan itu, suara pilu yang memecah keheningan dan membuat semua orang di sekitar menunduk iba.
Hanya tubuh dingin sang ibu yang menjawab dengan diam, sementara pelukan Cantika tak mau lepas, seolah ingin menahan waktu agar tidak berjalan lagi.