Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan untuk Sang Duchess
Perubahan di Duchy Carwyn menjadi perbincangan hangat dalam lingkaran aristokrat. Tak ada yang menyangka, wanita yang dulu dikenal pendiam dan patuh kini memecat puluhan pelayan, mengganti hampir seluruh staf kastil, dan memimpin sendiri proses seleksi. Semua mata tertuju padanya. Para bangsawan mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Elena Carwyn?
Namun bagi Elena, ini hanyalah langkah awal.
Setelah kejadian itu, Mervyn selalu mengajak Elena makan bersamanya. Bahkan setelah proses seleksi perekrutan pelayan baru yang dipimpin Elena, Mervyn diam-diam menyeleksi ulang orang-orang yang telah ia pilih.
Di kamarnya, Elena duduk santai di kursi dekat jendela, memandangi taman samping yang dibasuh cahaya sore. Di meja di hadapannya, tersaji aneka kue kecil yang sudah setengah ia santap.
Ketukan pintu terdengar. Elena menjawab lembut, “Masuklah.”
Pintu terbuka perlahan. Myra melangkah masuk dengan sopan, kedua tangannya memegang sebuah amplop bersegel rapi. “Ada undangan dari Keluarga Valens, Duchess. Pesta tahunan, seperti biasa.”
Elena tak menoleh pada surat itu. “Aku tidak pernah menghadiri pesta itu, dulu.”
Myra menatapnya, lalu tersenyum samar. “Dulu ... Anda juga tidak pernah memecat setengah staf Duchy, mengganti dekorasi aula utama, atau memeriksa dokumen keuangan dengan teliti.”
Tatapan Elena beralih padanya, bibirnya melengkung tipis. “Kau menyindirku?”
“Aku hanya memastikan wanita di hadapanku ini benar-benar Elena Carwyn.” Myra menatap balik tanpa gentar. “Kadang aku bertanya-tanya ... siapa sebenarnya Anda sekarang?”
Elena terdiam sejenak, pandangannya kembali pada taman di luar. “Mungkin ... aku baru saja mulai menjadi diriku sendiri.”
Myra menunduk sedikit. “Kalau begitu, mungkin sudah saatnya menghadiri pesta itu. Biarkan semua orang melihat Duchess Carwyn yang sekarang.”
Hening sesaat, lalu Elena mengangguk pelan. “Terima undangan itu ... dan bersiaplah. Kita akan keluar sore ini.”
Halaman depan Duchy Carwyn
Sebuah kereta kuda berwarna hitam mengilap dengan lambang keluarga Carwyn terpatri di sisinya sudah menunggu. Kuda-kuda besar dan gagah berdiri tenang, sementara kusir memberi salam sopan saat melihat sang Duchess keluar.
Elena melangkah menuju kereta, gaun biru tua yang ia kenakan bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Potongannya sederhana namun elegan, dipadukan dengan sepatu hak rendah yang memancarkan kesan anggun tanpa berlebihan.
Myra berjalan setengah langkah di belakangnya. Saat hendak naik, Elena menoleh. “Myra, ikutlah bersamaku.”
Myra ragu sejenak. “Saya ... sebaiknya—”
“Masuk.” Nada Elena datar, namun mengandung perintah yang tak bisa dibantah.
Akhirnya Myra menurut, duduk di hadapan Elena di dalam kereta. Kusir mengibaskan tali, dan kereta mulai bergerak, meninggalkan halaman Duchy Carwyn, hentakan langkah kuda mengiringi perjalanan mereka.
Hentakan langkah kuda terhenti di depan sebuah butik mewah di pusat kota. Kusir segera turun, membuka pintu. Elena bersama Myra melangkah keluar.
Lonceng kecil di atas pintu berdenting saat Myra membukanya. Aroma lembut kain baru dan parfum mahal menyambut mereka.
Di dalam, deretan gaun berkilau tertata rapi di sepanjang dinding, beberapa dipajang di manekin dengan detail sulaman yang memukau.
Seorang pelayan butik mendekat sambil membungkuk sopan.
“Selamat datang. Apakah Anda ingin memesan gaun, Nyonya?” Ia menyodorkan sebuah buku katalog tebal yang berisi koleksi terbaru.
Elena menerimanya dengan tenang, jemarinya membalik halaman sambil sesekali mengamati detail gaun yang terlukis di sana.
Pelayan itu sempat meliriknya sekilas, seperti mencoba memastikan sesuatu. Pandangannya berulang kali naik turun, hingga akhirnya sorot matanya melebar menyadari siapa yang duduk di hadapannya.
“Duchess Carwyn …,” gumamnya nyaris tak terdengar. Seketika, sikapnya berubah total. Suaranya menjadi lebih manis, gerakannya lebih hati-hati. Ia mulai merekomendasikan model-model terbaik, bahkan menawarkan kain impor yang jarang diperlihatkan kepada pelanggan biasa.
Elena hanya mengangguk singkat, mulai merasa sedikit nyaman dengan sambutan itu.
Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Pelayan butik itu segera menegakkan tubuh, ekspresinya berubah gugup.
Seorang wanita memasuki ruangan dengan gaya yang sulit diabaikan gaun hitam ketat berkilau, rambut disanggul tinggi, bibir merah menyala. Kalung berlian melingkar di lehernya, memantulkan cahaya lampu.
Ia berjalan dengan langkah anggun namun penuh kepemilikan, seperti ruangan itu adalah panggung pribadinya. Tatapannya menyapu Elena dari ujung kepala hingga kaki, lalu berhenti sejenak di gaun biru sederhana yang dikenakan sang Duchess.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya senyum yang manis di permukaan, namun menyimpan nada merendahkan. “Oh … bukankah ini Duchess Carwyn. Jarang sekali melihat Anda … di tempat seperti ini.” Nada suaranya mengalun lembut, tapi setiap kata seperti menggores.
Pelayan butik buru-buru memperkenalkan, “Duchess, ini adalah Madam Selene, pemilik butik ini.”
Madam Selene tak menunggu jawaban. Ia melangkah lebih dekat, matanya berkilat penuh penilaian. “Saya selalu mendengar Anda jarang memesan gaun baru. Hmm … tampaknya sekarang banyak hal berubah, ya?”
Madam Selene menatap Elena lebih lama, lalu tersenyum miring. “Hanya saja … butik saya biasanya membuat gaun untuk mereka yang mampu ‘membawa’ gaun itu di tengah sorotan. Sayang sekali … beberapa orang terlihat seperti sedang membiarkan gaun yang memakainya, bukan sebaliknya.” Nada suaranya terdengar ringan, namun cukup tajam untuk menusuk ego siapa pun yang mendengarnya.
Beberapa pelanggan yang tengah memilih kain melirik ke arah mereka, pura-pura sibuk namun jelas menguping. Selene berbalik ke pelayannya, suaranya cukup keras untuk didengar semua orang. “Pastikan ia melihat koleksi lama di ruang belakang. Kita harus mulai dari yang sederhana, sebelum melangkah ke sesuatu yang … terlalu tinggi untuk digapai.”
Myra, yang berdiri sedikit di belakang, menyelipkan satu langkah maju. “Duchess tidak memerlukan-“
Selene menoleh perlahan, senyumnya tak berubah namun matanya berkilat seperti bilah tipis pisau. “Ah ... dan itu pasti pendamping setia anda. Sungguh mengagumkan memiliki seseorang yang berani bicara tanpa diundang. Mungkin suatu hari saya bisa membuatkan gaun ... yang cukup sederhana agar sesuai dengan sikap itu.”
Sejenak udara di butik itu menegang. Myra menahan napas, sementara Elena hanya menutup katalog perlahan dan meletakkannya di meja. Tatapannya menusuk, namun bibirnya tetap tenang, seolah menimbang setiap kata yang keluar.
“Lucu sekali,” katanya tenang. Nada suaranya ringan, namun menyimpan ancaman samar yang membuat beberapa pelanggan terdiam. “Saya kira butik ini menjual gaun, bukan penilaian.”
Selene terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil suara yang terdengar lebih seperti ejekan. Namun sebelum ia sempat membalas, bunyi hentakan sepatu terdengar dari arah pintu.
Cring… cring…
Lonceng butik berdenting lagi. Semua kepala menoleh, keheningan merayap perlahan, seakan udara di ruangan membeku tanpa alasan yang jelas.
Seorang pria tinggi dengan jas hitam rapi memasuki ruangan, langkahnya mantap dan berwibawa. Sorot matanya dingin, namun cukup untuk membuat pelayan terdiam dan Selene kehilangan senyumnya sesaat.
Itu adalah Duke Mervyn Dieter Carwyn.