Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Hujan baru saja reda ketika Celin berdiri di balkon rumah Bagaskara. Malam terasa berat, penuh beban. Tangannya masih menggenggam laptop yang berisi rekaman suara Victor dan pria asing. Saat itu, pintu balkon terbuka. Arka dan Aksa muncul, wajah mereka tegang.
“Ada yang mau kamu kasih tau, kak?” tanya Arka. Nada suaranya serius, tapi juga penuh rasa khawatir.
Celin menatap mereka sebentar, lalu menoleh pada Cakra yang berdiri di belakangnya. Ia mengangguk pelan. “Aku rasa… sudah waktunya kalian tahu semuanya.”
---
Di ruang kerja Bagaskara yang luas, mereka berempat duduk mengelilingi meja kaca. Rekaman itu diputar ulang. Suara Victor terdengar jelas, menyebut nama “Orchid”, lalu menyebut Singapura sebagai pihak yang menunggu.
Aksa menghela napas panjang. “Gila. Jadi benar dugaanku. Dia bukan cuma mahasiswa pindahan. Dia agen. Dan kalau sudah menyebut Orchid, berarti ini jaringan internasional.”
Arka mengangguk, rahangnya mengeras. “Kita nggak bisa diam. Kalau sampai data perusahaan, kampus dan data negara bocor, reputasi semua akan hancur. Kita harus tangkap dia.”
“Tapi dia licin,” sahut Celin lirih. “Semalam aja, dia berhasil kabur dengan trik alarm kebakaran.”
Semua terdiam sejenak. Lalu Cakra mencondongkan tubuhnya, tatapannya tajam. “Kalau begitu, kita nggak boleh cuma nunggu. Kita yang harus cari persembunyiannya.”
“Masalahnya, kita nggak tahu dia sembunyi di mana,” balas Celin.
Aksa tiba-tiba menyalakan ponselnya, menampilkan layar penuh peta digital. “Gue udah lacak pergerakan dia lewat akses Wi-Fi kampus. Semalam setelah kabur, dia nggak langsung pulang ke apartemennya. Ada jejak yang menuju gudang tua di daerah pelabuhan utara.”
Semua mata tertuju pada Aksa.
“Gudang itu udah lama kosong, tapi pernah dipakai untuk penyimpanan barang impor. Tempat yang sempurna buat persembunyian,” jelasnya.
Arka mengepalkan tangan. “Kalau gitu, malam ini juga kita bergerak.”
---
Tak butuh waktu lama, keluarga Bagaskara menyiapkan pengawalan. Dua mobil hitam sudah terparkir di halaman, masing-masing berisi bodyguard terlatih. Dari pihak keluarga Cakra, ayahnya mengirim empat orang pengawal pribadi, semua bersenjata.
“Ini terlalu berbahaya,” kata Bagaskara dengan suara dalam. “Tapi aku percaya pada kalian. Jangan gegabah. Kalau keadaan darurat, utamakan keselamatan Celin.”
Cakra menoleh pada Bagaskara, matanya penuh tekad. “Saya janji, Om. Saya nggak akan biarin Kak Celin kenapa-kenapa.”
Celin meliriknya sekilas, dada berdebar aneh mendengar janji itu.
Aksa menepuk bahu Arka. “Siap?”
“Selalu,” jawab Arka singkat.
Malam itu, rombongan berangkat. Dua mobil keluarga Bagaskara di depan, satu mobil keluarga Cakra di belakang. Lampu-lampu jalan berkelebat cepat, hujan sisa masih menetes di kaca jendela.
---
Gudang itu berdiri di ujung dermaga tua. Gelap, dindingnya penuh lumut, hanya diterangi lampu jalan redup. Rombongan berhenti beberapa meter sebelum pintu masuk.
Bodyguard segera menyebar, membentuk lingkaran pengaman. Senjata disiapkan. Arka memberi aba-aba dengan tangan.
“ Nona Celin, tuan Cakra, tetap di tengah. Kita masuk bareng,” bisiknya.
Mereka melangkah perlahan, suara sepatu beradu dengan lantai semen yang dingin. Pintu besi gudang berderit ketika didorong. Bau karat dan debu langsung menyeruak.
Di dalam, lampu neon redup menyala. Beberapa kotak kayu besar tertumpuk di sudut. Suara berisik terdengar dari belakang.
“Dia ada di sana,” bisik Aksa.
Mereka bergerak serempak. Namun tiba-tiba—
“Selamat datang.” Suara Victor menggema dari balik tumpukan kontainer.
Ia muncul dengan jas hitam, wajahnya tenang. Tapi di tangannya ada pistol. Di belakangnya, dua pria asing bersenjata ikut berjaga.
“Aku sudah tahu kalian akan datang,” ujarnya. “Sayang sekali, kalian telat. Data Orchid sudah aku kirim keluar negeri.”
Celin melangkah maju, wajahnya dingin. “Berhenti berbohong. Kami punya rekamanmu. Semua bukti sudah cukup buat menjatuhkanmu.”
Victor terkekeh. “Kamu pintar, Celin. Tapi terlalu percaya diri. Kamu kira bisa melawanku dengan hanya empat orang?”
Saat itu juga, dari balik kontainer muncul beberapa pria bersenjata lain, wajah asing, jelas bukan orang lokal. Jumlah mereka dua kali lipat dari rombongan Bagaskara.
“Ini jebakan,” gumam Cakra, menarik Celin mundur.
Arka memberi kode cepat. Bodyguard mengangkat senjata. Tegang. Sunyi. Lalu suara tembakan pertama meletus.
---
Suara tembakan memecah udara. Peluru menghantam besi kontainer, memercikkan api kecil. Bodyguard Bagaskara langsung membalas, berlindung di balik kotak kayu. Cakra menarik Celin ke belakang tumpukan.
“Jangan keluar!” teriaknya.
Celin menggenggam laptopnya erat-erat, wajah pucat tapi matanya tetap tajam. Ia tahu ini momen menentukan.
Arka dan Aksa memimpin bodyguard maju perlahan, menekan posisi musuh. Suara langkah, teriakan, dan dentuman senjata memenuhi gudang.
Victor berusaha kabur ke pintu belakang. Cakra melihat itu. “Aku kejar dia!” katanya.
“Cakra, tunggu!” Celin menahan lengannya.
Tapi pemuda itu sudah berlari, menyusuri lorong gudang. Victor menoleh sekali, lalu melepaskan tembakan. Peluru nyaris mengenai Cakra, hanya meleset beberapa sentimeter.
“Aku nggak akan biarin lo kabur lagi!” teriak Cakra.
Mereka berlari di lorong gelap, langkah bergema. Celin, Arka, dan Aksa ikut menyusul bersama dua bodyguard.
---
Victor akhirnya terpojok di halaman belakang gudang, tepat di tepi dermaga. Air laut berombak, kapal-kapal tua berderit pelan.
“Berhenti, Victor!” teriak Arka sambil mengarahkan senjata.
Victor justru tertawa. “Kalian pikir ini akhir? Orchid jauh lebih besar dari kalian. Kalian hanya anak-anak kaya yang main detektif.”
Ia mengangkat pistol, mengarahkannya ke Celin. Wajah Celin menegang, tubuhnya refleks mundur.
Dor!
Sebuah tembakan meletus.
Namun bukan Celin yang jatuh. Victor terhuyung, pistolnya terlepas. Darah mengucur dari kakinya. Salah satu bodyguard keluarga Cakra berhasil menembak tepat sasaran.
Victor jatuh tersungkur, meringis kesakitan. “Sial…!”
Cakra segera menendang pistolnya jauh, lalu menodongkan senjata ke kepala Victor. “Permainanmu selesai.”
---
Suara sirene mendekat. Mobil-mobil hitam dengan lampu strobo berhenti di luar gudang. Beberapa pria dengan jaket bertuliskan Badan Intelijen Nasional masuk cepat, membawa perlengkapan.
Pemimpin mereka melangkah ke depan, menatap Victor yang tergeletak. “Victor Santoso. Kamu resmi ditahan atas tuduhan spionase dan penyelundupan data internasional.”
Victor hanya mendengus, wajahnya pucat menahan sakit. “Kalian nggak akan pernah bisa hentikan Orchid…”
Intelijen segera memborgolnya, lalu membawanya ke mobil tahanan. Para pria asing yang jadi anak buah Victor juga ditangkap satu per satu.
Celin berdiri di samping Cakra, tubuhnya masih gemetar. Tapi kali ini, ia bisa bernapas lega. Semua sudah selesai… setidaknya untuk sementara.
---
Di halaman gudang, Arka dan Aksa berdiri berdampingan, keduanya tampak letih tapi puas.
“Kerja bagus,” kata Aksa, menepuk bahu Cakra.
Cakra hanya mengangguk, matanya masih menatap Celin. “Yang penting Kak Celin selamat.”
Celin menoleh, menatapnya lama. Di tengah semua ketegangan, ia merasa kehadiran Cakra benar-benar menjadi sandaran. Bukan hanya pelindung, tapi juga sesuatu yang lebih.
Seorang agen intelijen menghampiri mereka. “Terima kasih atas kerja samanya. Tanpa bukti rekaman yang kalian dapat, kami tidak akan bisa bergerak cepat. Tapi ingat ini baru permulaan. Orchid adalah jaringan besar. Victor hanyalah pion.”
Kata-kata itu membuat Celin tercekat. Ia sadar benar, badai belum berakhir. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.
Ia menggenggam erat lengan Cakra, seolah menyalurkan tekad baru. “Kalau begitu, kita siap hadapi apa pun yang datang.”
Cakra menatapnya balik, bibirnya melengkung tipis. “Bersama-sama.”
Dan di balik langit malam pelabuhan yang kelam, cerita baru mulai terbuka.
Bersambung…