Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.
Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.
Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.
Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.
Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.
Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.
Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.
Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama Sekolah Shalih
Fitriani menggendong Humairah Wulanindri, si bungsu yang anteng di dekapannya. Humairah, dengan hijab bayinya yang mungil berwarna kuning pastel, sesekali menggumam tak jelas sambil menarik-narik rambut ibunya. Jemari kecilnya yang gembil kadang mencengkram kerah baju Fitriani, sesekali melepaskan cengkraman untuk menunjuk burung pipit yang hinggap di dahan pohon. Fitriani tersenyum, mengelus punggung putrinya pelan, merasakan kehangatan tubuh mungil itu menenangkan hatinya.
Di sekelilingnya, beberapa ibu lain juga menunggu. Mereka adalah sesama "agen penjemput anak" yang sudah akrab dengan Fitriani karena sering bertemu di acara arisan atau pengajian komplek. Suasana obrolan ringan dan tawa kecil mengiringi penantian mereka.
"Gimana, Bu Fitri? Shalih betah di hari pertama?" tanya Ibu Dewi, ibu dari Alif, teman sebangku Shalih, dengan senyum ramah. Wajahnya yang bulat terlihat ceria, kontras dengan kerudung motif bunga yang ia kenakan. Ibu Dewi, seperti kebanyakan ibu di sini, selalu tampak modis meski hanya menunggu anak sekolah.
Fitriani mengangguk. "Alhamdulillah, Bu Dewi. Dari laporan gurunya tadi, kayaknya betah banget. Malah udah langsung akrab sama temen-temennya," jawab Fitriani, matanya berbinar bangga. Dalam hatinya, ia merasa lega. Semalam ia sempat cemas Shalih akan rewel, tapi sepertinya kekhawatiran itu tak beralasan. Rohim pasti akan senang mendengar ini.
"Wah, hebat! Anak laki-laki memang gitu ya, Bu. Gampang adaptasi," timpal Ibu Lia, yang berpostur ramping dengan kacamata bertengger di hidungnya. Anaknya, Dina, juga sekelas dengan Shalih. "Anak saya Dina itu ya, masih malu-malu kalau ketemu orang baru." Ibu Lia terkekeh, menggelengkan kepala.
Tiba-tiba, suara riuh anak-anak dari dalam kelas semakin jelas. Pintu kelas terbuka, dan barisan murid TK mulai keluar satu per satu, dengan tas ransel kecil bertengger di punggung mereka. Fitriani dan ibu-ibu lain langsung merapatkan barisan, mata mereka mencari-cari sosok sang buah hati.
"Shalih!" panggil Fitriani, melambaikan tangan saat melihat putranya muncul di antara kerumunan anak-anak.
Shalih menoleh, wajahnya berseri-seri. Ia berlari kecil menghampiri ibunya, tasnya bergoyang-goyang di punggung. Namun, langkahnya terhenti. Ia melihat seorang teman sebangkunya, Gilang, tampak kesulitan memakai ranselnya. Ransel itu tersangkut, dan Gilang mulai mengerutkan kening, hampir menangis.
Tanpa ragu, Shalih yang ceria itu berbalik. Jemari mungilnya meraih tali ransel Gilang dan dengan cekatan membantu temannya membetulkannya. Sebuah senyum lebar terukir di wajah Shalih, dan ia menepuk bahu Gilang pelan. "Udah, Lang. Yuk, kita pulang!"
Gilang tersenyum lebar, "Makasih, Shalih!"
Interaksi singkat itu tak luput dari pandangan para ibu yang menunggu. Ibu Dewi dan Ibu Lia, bersama beberapa ibu lainnya, tersenyum melihatnya.
"Ya ampun, lihat itu Shalih! Baik banget ya, Bu Fitri," bisik Ibu Dewi, matanya berbinar. "Pinter nolong teman, Masya Allah."
Fitriani tersenyum tipis, mengelus rambut Humairah. Dalam hatinya, ia merasakan kehangatan yang tak terkira. Ia tahu Shalih memang anak yang perhatian dan suka berbagi. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun Shalih sering membantu adiknya mengambil mainan atau berbagi biskuit. Ia tak pernah mengajarkan Shalih untuk mencari pujian, hanya menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Alhamdulillah, semoga sifat baikmu ini terus terjaga, Nak, batin Fitriani. Ia merasa bangga, tentu saja, tapi ia tidak suka dengan pujian yang berlebihan. Baginya, pujian itu seperti pisau bermata dua, bisa menjadi racun jika tidak disikapi dengan bijak. Ia tak ingin pujian-pujian itu membuat Shalih besar kepala atau merasa paling istimewa. Kebaikan harus datang dari hati, bukan karena ingin dipuji. Itu adalah prinsip yang selalu diajarkan Rohim padanya dan pada anak-anak.
Shalih akhirnya sampai di hadapan Fitriani, langsung memeluk kaki ibunya erat. "Ibu! Sekolah seru!" serunya, suaranya dipenuhi kegembiraan. Mata bulatnya menatap Fitriani, penuh cerita.
Fitriani berjongkok sedikit, meski Humairah di gendongannya, dan memeluk Shalih erat. "Alhamdulillah, jagoan Ibu! Gimana tadi? Ada teman baru?"
"Ada! Ada Gilang, ada Dina, ada... banyak!" Shalih bercerita dengan semangat, tangannya mengayun-ayun, ekspresinya begitu hidup.
Tak lama kemudian, seorang ibu lain, Ibu Ria, ibu dari Arya yang sering berebut mainan dengan Shalih di taman komplek, mendekat. "Bu Fitri, anak Ibu baik banget ya. Tadi saya lihat dia bantuin Gilang. Terus, pas istirahat tadi, Arya cerita kalau Shalih bagi-bagi permen ke teman-teman. Padahal kan permennya cuma tiga, tapi dibagi rata, katanya." Ibu Ria, dengan tubuh berisi dan senyum ramah, memuji dengan tulus.
Fitriani hanya tersenyum tipis, mengangguk. "Ah, biasa aja, Bu Ria. Anak-anak memang kadang gitu, saling bantu." Ia mencoba merendah, tidak ingin pujian itu menjadi terlalu besar. Jangan sampai berlebihan, ya Allah. Jangan sampai membuat mereka jadi sombong, bisiknya dalam hati. Ia ingin anak-anaknya tumbuh rendah hati dan tulus dalam berbuat baik.
"Enggak, Bu Fitri! Ini luar biasa lho! Anak saya itu susah banget kalau disuruh berbagi. Ini pasti didikan Ibu dan Bapaknya yang top!" Ibu Dewi ikut menimpali, mengacungkan jempolnya. Ekspresinya penuh kekaguman.
Fitriani hanya bisa tersenyum. Ia tahu mereka tulus, tapi telinganya terasa sedikit panas. Ia merasa tidak nyaman dengan pusat perhatian seperti itu. Baginya, kebaikan adalah hal yang seharusnya. Ia ingat kata-kata Rohim, "Kebaikan itu seperti air mengalir, dia tidak butuh tepuk tangan untuk terus mengalirkan manfaat."
"Udah, yuk, Shalih. Kita pulang," ajak Fitriani, mengalihkan pembicaraan. Ia meraih tangan Shalih dan mulai berjalan pelan, pamit pada ibu-ibu yang lain. Shalih menurut, langkahnya ringan, masih terus berceloteh tentang pengalaman hari pertamanya. Humairah di gendongan Fitriani sesekali menoleh ke belakang, melambaikan tangan mungilnya pada ibu-ibu yang melambaikan tangan kembali.
Di sepanjang jalan menuju rumah, Fitriani mendengarkan cerita Shalih dengan saksama. Tentang guru yang baik hati, tentang ayunan yang tinggi di taman sekolah, dan tentang mewarnai gambar kapal antariksa. Setiap detail kecil yang diceritakan Shalih membuat hati Fitriani menghangat. Ia tersenyum, menyadari betapa polos dan tulusnya hati anak-anak.
Minggu depan, Nak, kau akan melihat kapal antariksa yang sungguhan, batin Fitriani, menatap wajah Shalih yang ceria. Dan kau akan pergi jauh, jauh melampaui taman sekolahmu ini.
Perasaannya campur aduk: bahagia, tentu saja, atas kebaikan dan kepolosan putranya, juga bangga atas pencapaian mereka sebagai keluarga yang akan menjelajahi Mars. Namun, di sudut hatinya, ada pula secuil rasa... tak menentu. Pujian dari ibu-ibu tadi mengingatkannya untuk selalu mawas diri. Ia juga teringat obrolan semalam dengan Rohim tentang "Elite Global" dan "mafia bisnis." Bumi ini, bahkan di balik keceriaan sebuah pagi yang indah, ternyata menyimpan banyak hal rumit dan berbahaya.
Mereka tiba di rumah. Sebuah rumah minimalis modern dengan sentuhan etnik Jawa pada beberapa ornamennya. Fitriani membuka pintu, dan aroma masakan dari dapur langsung menyambut mereka. Mbak Yanti, asisten rumah tangga mereka, sudah menyiapkan makan siang.
"Selamat datang kembali, Bu, Den Shalih, Non Humairah," sapa Mbak Yanti dengan senyum ramah.
Fitriani membalas senyum. Ia meletakkan Humairah di playmat di ruang keluarga, dan si bungsu itu langsung merangkak menuju mainan balok susunnya. Shalih langsung menuju kamar untuk berganti baju. Fitriani duduk sejenak di sofa, menghela napas. Sebagian dirinya ingin menikmati kedamaian ini selama mungkin. Kedamaian rumah, kedamaian keluarga.
Namun, di sisi lain, ia tahu. Dalam beberapa hari ke depan, kedamaian ini akan berganti dengan hiruk pikuk persiapan keberangkatan. Dan setelah itu, mereka akan menghadapi sesuatu yang belum pernah manusia biasa alami. Sebuah perjalanan yang mungkin mengubah segalanya, termasuk diri mereka sendiri.
Fitriani memejamkan mata sejenak. Ia teringat kembali percakapan dengan Rohim semalam, tentang Mars, tentang takdir. Ia percaya, takdir baik akan selalu berpihak pada mereka yang berani dan berbuat baik. Seperti Shalih yang berbagi permen, seperti Rohim yang berjuang untuk listrik gratis. Dan seperti dirinya, yang siap mendampingi keluarga kecilnya menghadapi apa pun, di Bumi maupun di bintang.