Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. Langkah Awal
“Auw… sakit kak.”
Rengek Dimas ketika Karin mengoleskan obat salep untuk luka-lukanya. Karin tak menghiraukan Dimas yang berkali kali mengaduh kesakitan sambil berbaring di sofa, meskipun ia tetap berhati-hati mengoleskan obat itu.
“Janji ya kak, jangan bilang mama kalau gue berantem.”
“Tergantung lu kasih tutup mulut pakek apa. Lagian lu ngapain sih ngeladenin mereka, udah tau mereka sukanya keroyokan. Untung gak patah itu kaki ama tangan lu.”
Karin mendelik kearah Dimas, antara kesal tapi kasihan. Adiknya hanya bisa merengut pasrah kena omel kakaknya. Dirapikan kembali obat-obatan kedalam kotak lalu menyimpannya dilemari. Untung sore itu ibunya belum kembali dari florist untuk mengerjakan beberapa pesanan bunga, sehingga ia tak perlu melihat adiknya dalam kondisi berantakan dan berdarah-darah.
“Dim, menurut lu, papa masih hidup atau udah meninggal?”
Karina merebahkan diri di atas sofa di ruang keluarga disisi kanan ruangan, seperti yang Dimas lakukan. Menatap langit-langit rumahnya, sambil sesekali mendengar Dimas mengaduh kesakitan dan mengumpat kesal. Rambutnya yang panjang menjuntai dari sandaran tangan kursi yang ia jadikan bantalan kepala, hingga ujung rambutnya menyentuh lantai. Jari jari tangannya saling menyentak seolah mengalihkan diri dari sebuah keresahan.
“Gue gak berani nebak, kak. Memory soal papa aja gue gak punya.”
Karin menarik nafas berat, matanya terpejam. Di pelupuk matanya kembali berputar-putar bayangan sebuah pesan dari orang yang menyebut dirinya Papa. Betul juga, papa pergi saat Dimas masih bayi, tak heran jika ia tak memiliki kenangan soal papa, bahkan, mungkin tau wajahnya saja tidak.
“Lu sendiri gimana, kak? Lu tahu apa soal kabar papa?”
“Gue juga gak tau apa-apa. Mama gak pernah mau cerita soal papa.”
Mata Karin masih sengaja ia pejamkan, menyembunyikan perasaan hatinya yang campur aduk tidak karuan. Pesan itu betul-betul mengganggu pikiran, sementara ia tak tahu harus bercerita kepada siapa. Bahkan, ia tidak tahu apakah pesan itu nyata atau tidak. Ah, rasanya hidupnya beberapa waktu terakhir ini sangat membingungkan.
“Sama sekali kak?”
“Dulu, mama pernah bilang kalau kita gak boleh cari papa. Kata mama, papa udah bahagia. Gak tau deh maksut mama apa.”
Keduanya terdiam, larut dalam pikiran dan tebakan mereka masing-masing. Berandai-andai jika saat ini mereka masih menjadi keluarga yang utuh, bersama mama dan papa. Akankah hidup mereka akan jauh lebih baik? Yang pasti, mama tidak perlu menanggung beban yang terlalu berat karena harus mengurus dan membesarkan mereka seorang diri.
“Dim, kalau ternyata papa masih hidup, lu mau gak nyari keberadaan papa?”
Tak ada suara sahutan dari adiknya, hening, hanya suara nafas yang berhembus dengan teratur. Karin melongok terduduk kearah adiknya.
“Kampret, diajak ngobrol malah ngorok.”
Karin bangkit dengan kesal, berjalan meninggalkan adiknya yang telah tertidur pulas menuju kamarnya.
**
Jam di dinding kamar Karina sudah mengabarkan bahwa malam sudah larut, tapi mata Karin belum juga mau terpejam. Rasanya, sulit sekali untuk merasa ngantuk sementara isi kepalanya masih mengembara kesana-kemari. Sudah bolak balik ia merubah posisi tidurnya, miring ke kanan dan ke kiri, bahkan sesekali ia membenamkan wajahnya ke bantal. Namun rasa kantuk tak juga datang.
Sekelebat hidungnya mencium aroma yang akhir-akhir ini sering tertangkap indra penciumannya. Aroma si Putri, gumamnya.
“Keluar aja kamu gak usah sembunyi.”
Karina mempersilahkan Putri untuk menampakan dirinya, dan benar saja, tak lama kemudian ia telah duduk manis di meja belajar Karin dengan kaki mengulur kebawah dan digerakan mengayun. Tempat favorit Putri.
Senyuman khas itu, sudah beberapa hari ini tidak ia lihat. Walaupun sebetulnya Putri setiap hari ada di sisi Karina.
“Kok belum tidur kak Karin?”
“Jangan pura-pura bego, kamu tau apa yang membuatku gak bisa tidur.”
Putri meringis mendengar jawaban Karin.
“Kakak sudah memutuskan, apa yang mau kakak lakukan selama…” kata-kata Putri menggantung, ia menatap Karin ragu.
“Selama hidup maksutmu?”
Putri turun dari duduknya, menyusul Karin yang berada didalam selimut menatap langit-langit kamarnya. Sepertinya, sudah mulai terjalin persahabatan diantara mereka. Tak ada lagi rasa takut dalam diri Karina saat menghadapi Putri. Seperti saat itu, meraka dengan akrab berbincang dalam balutan selimut yang sama.
“Salah gak sih, kalau aku mencari dimana papa berada?”
“Kalau memang kakak yakin itu baik untuk mamanya kak Karin, lakukan saja.”
“Aku gak yakin sebetulnya. Tapi aku juga merasa, hidup mama akan lebih mudah jika ada papa. Dan aku akan lebih ikhlas meninggalkan mama jika ada papa di hidup mama.”
“Kalau begitu, ayo kita lakukan. Aku akan bantu kak Karin.”
“Memangnya, kamu gak tahu dimana papa? Kamu gak bisa ya, pakai kekuatan untuk mencari tahu diamana papa?”
Putri menggeleng sambil tersenyum, merasa geli dengan pertanyaan Karin yang menganggap ia memiliki kekuatan super, seperti di film-film.
“Dih, hantu macam apa kamu? Hantu kok gak sakti.”
Mereka tertawa terkekeh namun perlahan, tak mau membangunkan mama dan adiknya yang sudah tidur. Malam sudah larut, aktifitas dirumah itu sudah terhenti. Hanya terdengar detakan suara jam dinding dan sesekali suara cicak berdecak. Jika mereka tertawa sedikit keras saja tentunya bisa terdengar sampai ke kamar mama atau Dimas adiknya.
“Tapi aku gak tahu harus mulai dari mana, Put. Aku gak punya informasi apapun soal papa. Bahkan aku gak tahu apa bener papa masih ada.”
“Erm…, bagaimana kalau kita mulai dari mencari alamat rumah kakak, sebelum kakak pindah kerumah ini? Siapa tau, ada tetangga disana yang tahu keberadaan papanya kak Karin.”
“Wah, ide bagus Putri. Tapi, kakak gak tahu dimana alamat pastinya. Waktu itu kakak masih TK, udah lama banget. Udah susah buat ngingetin. Lagian, kakak masih terlalu kecil buat ngerti itu daerah mana.”
“Apa gak ada catatan sama sekali kak?”
Karin berfikir sejenak. Dimana kira-kira dia bisa mendapatkan catatan mengenai alamat rumah lamanya. Sementara Karin sama sekali tidak bisa mengingat dimana ia menghabiskan masa kecilnya, sebelum pak Budiman, ayahnya angkat kaki dari rumah itu dan tidak pernah lagi kembali atau sekedar mengirim kabar kepada istri dan anaknya. Tidak lama setelah kepergian suaminya, ibu Nurma juga memutuskan untuk meninggalkan rumah pemberian keluarga pak Budiman dan membeli rumah baru, rumah yang saat ini mereka tempati.
“Ah, aku tahu Putri!”
Pekik Karin seraya melompat keluar dari pembaringan hangatnya. Membuka lemari pakaian disamping meja belajarnya dan mengambil sebuah kotak besar yang berada dirak dalam lemari bajunya. Diturunkan kotak kertas besar ke lantai dan menumpahkan semua isinya. Berantakan dilantai, ia mencari cari sesuatu disana. Putri penasaran, ia pun menyusul turun dan berjongkok mengamati.
“Ketemu!”
Karin berseru girang, mengangkat sebuah buku raport dengan tangan kanannya ke udara, seperti bocah yang baru saja mendapatkan sebuah piala. Matanya berbinar, menularkan kegembiraan kepada Putri yang memperhatikannya.
“Ini buku raport kakak waktu TK. Disini pasti ada alamat rumah lama.”
Tak sabar Karin membuka buku raport tua itu dan benar saja, dilembar pertama ia sudah menemukan alamat rumah lamanya. Ia tersenyum lega. Menemukan sesuatu yang sangat berharga baginya. Tak puas hanya melihat catatan alamat itu, ia lanjut membaca halaman selanjutnya. Ada nama ayahnya disana. Bahkan, tanda tangan ayahnya pada bagian laporan hasil belajarnya.
Tak terasa senyumnya memudar, ada air mata yang mengembung dipelupuk mata Karin. Selama ini ia tak pernah memiliki atau sekedar melihat foto ayahnya. Ingatan tentang seperti apa rupa ayahnya saja ia tak punya. Dengan hanya melihat nama dan tanda tangan ayahnya saja sudah membuatnya sangat terharu. Sekaligus, ia merasa yakin bahwa ayahnya masih hidup, dan ia akan berhasil menemukanya.
Budiman Arya Dinata. Ia baca berulang-ulang nama itu. Hatinya bergetar, seakan ia sangat mengenali nama itu.
“Papa, seandainya papa ada disini, Karin yakin papa akan bisa jaga mama dan Dimas.”
Bisik Karin menahan tangisnya.
“Kalau papa disini, apakah nasib Karin akan berbeda? Apa umur Karin akan lebih panjang?”
Karin bicara dengan dirinya sendiri, tetapi matanya menatap Putri, berharap Putri bisa memberinya jawaban. Hanya saja, Putri terdiam. Tak bicara sepatah katapun. Ia hanya, tersenyum. Seperti biasanya.