Naura Anjani, seorang gadis desa yang menikah dengan pria asal kota. Namun sayang, gadis itu tidak di sukai oleh keluarga suaminya karena dianggap kampungan dan tidak setara dengan menantu lain yang memiliki gelar pendidikan tinggi dan pekerjaan yang memadai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Ma, jangan bicara seperti itu di Hadapan Naura. Dia sama sekali tidak salah, dia juga tidak pernah mempengaruhi aku untuk membantah dan menjadi anak durhaka pada Mama. Justru dia selalu memintaku untuk mendengarkan semua perintah Mama. Sama seperti saat acara di rumahnya Tante Gina. Naura memintaku untuk memakai baju yang sama dengan keluarga kita. Tapi aku sendiri yang tidak mau memakai baju itu, karena Naura tidak memakai baju yang sama sepertiku," ucap Azriel yang membuat suasana makan malam semakin tegang.
Semua orang yang tadinya sibuk menikmati makan malam, kini sama-sama terdiam dan menatap ke arah Naura dan Azriel.
"Inilah yang Mama maksud tadi, Azriel. Sekarang kamu selalu saja membela istri kamu tanpa memikirkan bagaimana perasaan Mama. Memang apa salahnya kalau kamu dan dia tidak memakai baju yang sama? Mama malu, Azriel. Tadi juga kamu langsung pulang tanpa menemui Dewi di pelaminan. Kamu bahkan tidak ikut acara foto-foto bersama. Sekarang kekompakan keluarga kita sudah hilang. Semua orang yang ada di sana menanyakan keberadaan kamu," Mama Sovi semakin emosi bahkan sampai menggebrak meja.
"Selesaikan masalah kamu dengan Mama, Mas. Aku pamit ke kamar," Naura dengan cepat bangkit dan melangkah menuju kamar.
Ia sudah merasa tidak tahan dengan setiap kata-kata yang keluar dari mulut mertuanya.
Meskipun mertuanya sering bersikap ketus dan cuek tapi Naura selalu menghargainya layaknya seorang ibu.
Tak pernah sedikitpun ia menyimpan dendam atau rasa benci pada wanita yang sudah melahirkan suaminya.
Tapi, layaknya manusia pada umumnya, tentu Naura merasa sakit hati jika mendengar ucapannya yang menyakitkan.
Ia hanya ingin menjaga diri dan pikirannya agar tetap baik-baik saja.
"Naura, saya sedang bicara. Kamu tidak bisa ya mendengar orang tua kalau sedang bicara?" cegah Mama Sovi yang membuat langkah Naura seketika terhenti.
"Itu bukan bicara namanya, Ma. Mama hanya sedang marah-marah dan menuduhku di hadapan semua orang tanpa memikirkan bagaimana perasaanku." Naura yang amarahnya sudah di puncak ubun-ubun terpaksa melawan.
"Apa Mama tahu kalau sebelum kami berangkat, aku sudah meminta Mas Azriel untuk memakai baju yang sama seperti kalian. Mas Azrielnya saja yang tidak mau. Tanpa mengetahui semua itu Mama dengan seenaknya menuduhku sudah mempengaruhi Mas Azriel untuk tidak memakai baju yang sama seperti kalian," meskipun suara Naura terdengar bergetar namun semua orang bisa mendengarnya dengan jelas.
"Naura benar, Ma. Sudahlah, ini hanya masalah baju, lagipula itu hanya pesta resepsinya Dewi. Dewi bukan bagian dari keluarga inti, masa hanya karena omongan orang lain Mama tega memarahi aku dan Naura. Kami lah yang jelas-jelas anak Mama," timpal Azriel yang masih membela sang istri.
Mama Vina seketika bungkam dan tidak ada satu pun yang berani bicara jika sudah seperti ini.
Azriel dan kedua kakaknya sangat takut pada sang mama. Begitu pun dengan kedua menantu lain di rumah itu.
"Aku permisi ke kamar dulu," ucap Naura yang kali ini dengan cepat masuk ke dalam kamar, meninggalkan mereka semua yang masih makan malam.
Cerita tentang ibu mertua yang galak dan juga judes ternyata memang benar adanya.
Sangat jarang ada ibu mertua yang bisa menganggap menantunya sebagai anak sendiri.
Meskipun Naura selalu berusaha untuk bersikap baik agar disukai oleh sang mertua.
Tapi ternyata semuanya sia-sia, wanita itu tidak akan pernah menyukainya karena berasal dari desa.
Begitu sampai di kamar, Naura langsung menutup pintu rapat-rapat.
Ia duduk di hadapan meja rias, menatap pantulan wajahnya di dalam cermin, mencari alasan lain yang membuatnya begitu tidak disukai di rumah itu.
Memang apa salahnya jika wanita yang berasal dari desa menikah dengan orang kota?
Bukankah kita semua sama?
Sama-sama makhluk ciptaan Tuhan dan hanya dibedakan oleh amal ibadah saja.
Naura benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran ibu mertuanya itu.
Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan perhatian Naura, terlihat Azriel yang melangkah masuk dengan senyum lebar.
Pria itu membawa piring yang tadi belum sempat disentuh oleh sang istri.
"Sayang, makan dulu, ya! Kamu tadi belum sempat makan ya?" pinta Azriel seraya bersimpuh di hadapan sang istri.
Naura mengukir senyum saat melihat sikap sang suami yang ternyata sangat peduli terhadapnya.
"Memangnya Mas Rio dan Mas Rangga sudah pulang?" tanya Naura yang dibalas dengan anggukan pelan.
Azriel menarik lengan istrinya untuk duduk di tepi ranjang.
"Semuanya sudah pulang, jadi Mas langsung bawa makanan yang tidak belum sempat kamu makan. Mau Mas yang suapin atau mau makan sendiri?" tanya pria itu yang membuat Naura tersenyum senang.
Rasa sakit akibat ucapan mertuanya seolah menguap begitu saja setelah melihat perhatian sang suami terhadapnya.
"Aku makan sendiri saja, Mas. Terima kasih ya, aku memang belum sempat makan," dengan senyum mengembang Naura mengambil alih piring dari tangan Azriel dan mulai menyuapkan nasi ke mulut.
Entah kenapa rasanya terasa lebih enak jika dinikmati di hadapan orang yang kita sayang.
"Naura, maafkan Mama ya. Jangan masukan ke hati semua omongan Mama tadi. Aku yakin Mama bicara seperti itu karena dia dipojokkan oleh Tante Gina dan keluarga yang lain. Selama ini sikap Mama ke kamu baik-baik saja, kan? Aku harap kamu bisa maafkan Mama," Azriel menatap istrinya penuh harap.
Naura menghentikan kunyahannya sejenak, sedetik kemudian ia langsung mengangguk meskipun diiringi dengan senyum yang ia paksakan.
"Iya, Mas. Kamu tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja, kok. Apalagi hanya masalah baju saja, yang penting kita datang ke sana dan memberikan amplop yang tebal," jawab Naura yang sertai dengan candaan demi mencairkan suasana.
"Iya, Naura. Kamu benar, aku hanya ingin menjaga perasaan kamu dan Mama. Karena kalian berdua adalah orang yang paling aku sayangi di dunia ini," lirih Azriel seraya mendaratkan kecupan di kening sang istri.
***********
***********