NovelToon NovelToon
Tua Dalam Luka

Tua Dalam Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Beda Usia / Pelakor / Suami Tak Berguna
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB

Wulan kembali berteriak, suaranya melengking hingga terdengar ke luar rumah.

“Aku malu, Ramli! Malu!” bentaknya sambil menghentakkan kaki.

“Semua keluargaku sudah tahu kalau calon suamiku itu orang kaya, punya tanah berhektar-hektar, jadi bos toko material! Tapi apa ini?! Akad nikah di balai desa, mahar recehan, dan nggak ada satu pun hidangan layak?!”

Ramli berdiri terpaku, menunduk dalam. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

“Aku sudah bilang dari awal, Wulan. Harta itu bukan untukmu lagi.”

Wulan mendesis, matanya berkaca-kaca bukan karena haru, tapi karena rasa kecewa dan amarah yang membuncah.

“Kamu tahu, Mas. Aku sampai sewa baju baru, dan bilang aku akan menikah dengan pengusaha sukses! Sekarang aku ditertawakan mereka karena pernikahan ini bahkan nggak pantas disebut layak!”

Ramli mendekat, berusaha menenangkan, tapi Wulan menepis tangannya.

“Jangan sentuh aku! Jangan kira aku bodoh, Mas. Kamu janji akan bahagiakan aku! Katamu aku bakal hidup tenang, tinggal di rumah baru, punya uang bulanan. Mana semuanya?!”

Aku yang mendengar semua dari balik pintu kamar, hanya tersenyum miring.

Apa yang kau alami sekarang, Wulan… adalah buah dari keserakahanmu sendiri.

Ramli berkata lirih,

“Aku hanya bisa beri kebersamaan, bukan kemewahan. Dan semua yang aku miliki, tidak bisa seenaknya kamu nikmati. Ada perjanjian. Ada batas.”

Wulan mengangkat dagunya, bergetar oleh kemarahan.

“Kalau begitu, buat apa aku menikah sama lelaki tua sepertimu?!”

Aku keluar dari kamar, berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan tangan.

“Satu hal yang mungkin belum kau sadari, Wulan,” kataku tenang, “suami tua itu pernah punya istri yang rela hidup dari nol, makan nasi dan garam, tidur beralas tikar. Tapi sekarang... kau datang saat semuanya sudah jadi, dan merasa berhak atas semuanya?”

Wulan terdiam. Untuk sesaat, tidak ada suara selain tarikan napas kasar dari mulutnya.

Walaupun aku sudah berkata demikian, Wulan tetap tidak terima.

Wajahnya memerah karena amarah, matanya menatapku penuh kebencian.

Tanpa malu, ia mendekatiku dan melontarkan kata-kata yang menusuk.

“Dasar wanita tua serakah! Kamu udah tua, tapi masih aja rakus soal harta!” katanya dengan nada tinggi. "Harusnya kamu tahu diri. Sudah cukup kamu nikmati semua itu selama bertahun-tahun. Sekarang bagi giliran!”

Aku mendongak, menatap matanya lekat-lekat. Tapi bukan karena takut—melainkan karena geli.

“Kamu pikir aku serakah, Wulan?” aku tertawa kecil, hambar.

“Selama ini aku cuma menjaga apa yang kami bangun dari nol. Saat kamu masih sibuk mengejar lelaki beristri, aku dan suamiku tidur beralaskan karung beras, makan dari hasil utang.”

Wulan mendengus, “Itu cerita lama! Sekarang kalian punya semuanya, dan kamu tetap pelit!”

Aku maju selangkah, suaraku tetap datar.

“Pelit? Serakah? Aku hanya tidak bodoh. Kamu bukan istrinya saat dia jatuh, kamu cuma datang saat dia naik. Tapi maaf, aku bukan tipe perempuan yang akan duduk diam melihat benalu menempel di pohon yang kutanam sendiri.”

Wulan melotot. “Aku juga punya harga diri!”

Aku mengangguk pelan. “Bagus kalau masih punya. Maka pakailah itu untuk hidup tanpa berharap dari harta orang lain.”

Suamiku—Ramli—hanya menunduk. Tubuhnya diam, tak berani menyela.

Hari itu, aku tahu satu hal:

Wulan bukan hanya tamu di hidupku, tapi juga ujian terakhir bagi kesabaranku.

Dan aku tidak akan kalah.

Di saat aku dan Wulan masih beradu mulut, suasana balai desa mendadak riuh.

Pintu terbuka lebar, dan beberapa orang masuk dengan langkah tergesa.

Raut wajah mereka bingung, cemas, dan penuh tanda tanya.

Ternyata mereka adalah keluarga besar Wulan—adik, paman, dan dua sepupunya.

Semua menatap ke arah Wulan yang masih mengenakan pakaian sederhana, duduk di kursi plastik murahan tanpa dekorasi apapun di sekelilingnya.

“Astaghfirullah, Wulan! Apa ini?!” seru salah satu sepupunya sambil menghampiri.

“Beneran kamu nikah di sini?” tanya adiknya dengan mata melotot.

Wulan terdiam. Napasnya tersengal, matanya mulai berkaca-kaca.

Ia mencoba tersenyum, tapi jelas terpancar rasa malu di wajahnya.

“Aku... aku terpaksa nikah, Kak,” jawab Wulan pelan.

“Sama Mas Ramli...”

“Ini yang kamu bilang pengusaha sukses itu?” tanya pamannya, tatapannya tajam menilai Ramli dari kepala sampai kaki.

Ramli hanya berdiri kaku, mencoba tersenyum tapi gagal total.

Sepupunya menatap Wulan dengan suara hampir berbisik.

“Kamu bilang, suamimu akan buat pesta mewah, kirim undangan ke mana-mana, dan kita semua dikasih amplop besar! Tapi ini... ini bahkan lebih buruk dari hajatan warga miskin di ujung desa! Wulan apa kamu tidak salah pilih calon suami? Sepertinya dia lebih pantas jadi Kakek kamu daripada suami."

Wulan akhirnya menangis. Ia merasa dipermalukan di depan keluarganya sendiri.

Adik Wulan ikut menimpali sambil mencibir,

“Katamu suamimu mapan, masih gagah, banyak uang... Tapi ini? Rambutnya sudah lebih banyak putihnya dari hitam, jalannya pun pelan seperti orang masuk panti jompo.”

Wulan tampak murung, wajahnya merah padam menahan malu.

“Bapak ini...,” pamannya angkat bicara, mencoba lebih sopan. “Tolong jangan tersinggung, tapi... Bapak ini umurnya berapa, ya?”

Ramli menunduk, suaranya pelan, nyaris tak terdengar.

“Bapak lima puluh tiga tahun…”

“Hah?!” serentak keluarga Wulan berseru.

Mereka saling pandang, lalu kembali menatap Wulan.

“Ini gila,” kata adiknya. “Bukan cuma pernikahannya mendadak, tapi juga memalukan! Kamu bikin heboh keluarga besar, bilang mau menikah dengan pengusaha kaya yang dermawan... tapi yang kamu bawa pulang justru lelaki setengah abad lebih yang bahkan tak bisa berdiri tegak!”

Wulan mulai menangis. “Aku nggak tahu bakal kayak gini... Aku pikir hidupku bakal berubah…”

Aku melangkah maju, menatap mereka satu per satu.

“Kalian merasa ditipu?” tanyaku tajam. “Bagus. Karena yang merasa ditipu itu aku lebih dulu. Wulan merebut suamiku, berdalih cinta, padahal mengincar harta. Sekarang kalian tahu, hidup nggak semudah harapan. Apalagi kalau dibangun di atas kebohongan.”

Ramli hanya menunduk, diam seribu bahasa.

Mungkin malu, mungkin juga sadar bahwa angan-angan Wulan selama ini memang dibesarkan olehnya sendiri.

Aku menoleh ke Wulan yang terisak.

“Inilah suamimu, Wulan. Bukan bos besar, bukan pangeran tua tajir. Tapi lelaki tua yang dulu hanya bisa makan singkong rebus saat kami masih ngontrak di gang sempit. Kau harusnya tahu, tidak semua kilau itu emas.”

“Siapa Ibu ini?” tanya pamannya lagi, sinis.

“Aku istri sah Ramli. Yang sudah bersamanya lebih dari dua puluh lima tahun. Dan pemilik setengah dari semua harta yang kalian harapkan itu.”

Suasana menjadi tegang. Wulan merunduk. Ia tahu, semua dustanya kini terbuka.

Aku menoleh ke Ramli.

“Bapak, urus istrimu. Juga keluarganya,” kataku dingin. “Aku sudah cukup bersabar. Tapi kalau mereka mulai ikut menginjak harga diriku, aku akan buat surat perjanjian baru. Dan kali ini, tidak ada ampun.”

1
Ninik
Thor kenapa tokoh rukhayah dibikin jd pendendam gitu kayak dah dikuasai iblis jadi manusia tak berhati aku JD g suka
Ninik
tp rukhayah kebablasan hidupnya jd dikuasai dendam kalau kata org Jawa tego warase Ra tego ro larane tego larane ratego ro ngelihe tego ngelihe Ra tego ro patine
Ninik
aku suka perempuan kaya rukayah sepemikiran dgn ku ini
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
laki tua g tau diri
kalea rizuky
kapok
kalea rizuky
laki dajjal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!