Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyiksaan Untuk Alif
Alif menggeleng-gelengkan kepala, berharap sang ayah menghentikan perbuatannya. Namun apa daya, walau berapapun banyak air mata yang di keluarkan, Haris tetap mengoleskan cabai ke mulut Alif.
Alif hendak memanggil Neli untuk membantunya. Namun sayang, Neli tidak akan bisa mendengarkannya, akibat mulutnya yang masih di sumpal celana dalam milik sang nenek.
Di dalam kamar, Neli terus saja menggedor-gedor pintu, berharap agar Haris segera membuka nya. Dia amat sangat takut, jika Haris melakukan sesuatu pada Alif, apalagi dia tidak mendengar suara Alif di luar sana.
Haris semakin gila, apalagi melihat Alif semakin melawannya. Amarahnya tak kunjung hilang, dia berharap dengan begini Alif bisa lebih tahu sopan santun, terhadap orang tua.
Saat Alif tidak lagi melawan, akibat tubuhnya lemah. Baru lah, Haris melepaskan tangannya.
Begitu tangannya dilepaskan, Alif mengeluarkan kain yang disumpal ke mulutnya. Kemudian ia bangkit seraya meraba-raba dinding menuju pintu sumur, untuk mencuci matanya yang terasa sangat perih. Bahkan, seluruh mukanya, terasa sangat-sangat lah, panas.
Haris menarik napas, melihat Alif yang meraba-raba. Dia bahkan, enggan membantu anak kandungnya itu. Karena Haris berpikir, itu merupakan pelajaran yang pantas di dapatkan Alif.
Begitu sampai sumur, Alif mencari ember cat, yang biasanya sudah di isi airnya oleh Neli. Dia langsung memasukkan kepalanya ke dalam sana.
Setelah merasa napasnya habis, baru lah, Alif bangkit. Alif meraup napas sebanyak mungkin, dan lagi ia memasukan kepalanya.
"Kamu ayah terjahat."
Merasa matanya sudah bisa untuk dibuka sedikit, Alif mengambil sabun mandi batang, dia membaluri mukanya dengan sabun, berharap panas yang dirasakannya sedikit berkurang.
"Aku akan mengingatnya ayah." isak Alif dengan terbata-bata.
Haris yang merasakan panas di tangannya pun, langsung mengambil air minum untuk merendam tangannya. Dia bersandar di kursi plastik karena lelah yang dideranya.
Haris memejamkan matanya, tangannya tetap dalam rendaman, agar rasa panas yang menjalar sedikit berkurang.
Andai Haris punya hati, mungkin dia akan merasa khawatir pada Alif. Apalagi, Alif tak kunjung keluar dari kamar mandi.
Kala rasa perih di matanya sedikit berkurang, Alif menuju ke kamar neneknya, dia membuka kunci dari tali yang terlilit ke paku.
Begitu melihat Alif, Neli langsung memeluknya erat. Apalagi, seluruh badan Alif basah kuyup. Dan Neli menduga jika Haris menyiksa Alif dengan cara menyiram air.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Neli kembali memeluk erat Alif.
"A-ayah ,,, mengolesi cabai di mukaku, terutama bagian mulut. Dia, dia mau mengajariku." adu Alif tersedu-sedu.
Neli melepaskan pelukannya, dia melihat wajah Alif dengan seksama. Ya, wajah cucunya terlihat memerah. Bahkan bengkak di bagian bibir.
"Kurang ajar." desis Neli geram, bercampur emosi.
"Aku takut nenek, aku gak mau di ajari oleh ayah." isak Alif semakin erat memeluk neneknya.
Neli langsung menyuruh Alif untuk mengunci pintu kamar dari dalam, dia akan segera ke warung untuk membeli susu sachet, karena menurut sepengetahuannya, susu dapat mengurangi rasa panas dari cabai.
"Tumben bu Neli beli susu. Ini pasti karena Haris udah pulang ya?" tanya penjaga warung.
"I-ini, Alif minta minum susu, mungkin dia memang udah lama pinginnya." sahut Neli.
"Terus mata bu Neli kenapa? Kok sembam, habis nangis?" penjaga warung bertanya penuh selidik.
"Hanya kelilipan. Mana susunya?"
Setelah mendapatkan satu sachet susu, Neli pun pulang tergesa-gesa. Dia amat takut, jika sewaktu-waktu Haris bangun, dan kembali menyiksa Alif.
Pemilik warung hanya menatap kepergian Neli. Padahal, ada banyak hal yang ingin ditanyakan. Termasuk, kenapa hanya membeli satu sachet. Jika Haris udah pulang.
"Jangan-jangan, bu Neli korupsi uang pemberian Haris untuk Alif." cibirnya, memanyunkan bibirnya yang merah merona, bak cabai.
Begitu sampai rumah, rasa takut yang tadi mendera lenyap sudah, kala melihat Haris masih tertidur dengan posisi bersandar di kursi.
Dia memanggil pelan Alif, agar segera membuka pintu kamar. Beruntung, bocah itu belum tertidur, jadi dia bisa cepat menyambut kedatangan neneknya.
"Nenek balurkan susu ini ke wajahmu ya. Semoga rasa panasnya sedikit berkurang." ujar Neli, berbisik. Tak lupa, dia kembali mengunci pintu kamar, berjaga-jaga agar Haris tidak kembali masuk.
"Bagaimana?"
"Lebih enakan nek, tidak sepanas tadi." ungkap Alif.
"Nek, apa setiap orang tua, mengajari anaknya begini? Berarti, yang dikatakan ibunya Akmal, aku termasuk anak yang beruntung ya? Karena jarang disiksa oleh ibu atau ayah." tanya Alif, kala ia tidur berdampingan dengan Neli.
"Tidak semua orang tua sejahat itu nak. Bahkan, ada orang tua, yang selalu mengedepankan kepentingan anaknya, dari pada dia sendiri." balas Neli.
Neli mengutuk sikap Haris. Andai tenaganya cukup untuk melawan Haris, mungkin dia akan memperlakukan hal yang sama pada anaknya itu.
Namun, tubuh tuanya bukanlah, lawan sepadan untuk Haris.
Haris menggedor-gedor pintu kamar, berharap ibunya segera bangun dan memberikan surat rumah. Supaya, dia bisa segera meninggalkan kediaman itu.
"Aku tidak akan pernah memberikannya untukmu. Keluarlah, mulai sekarang kamu bukan lagi anakku." teriak Neli di balik pintu kamar.
Tadi, Neli dan Alif sempat terlelap sejenak. Namun, terganggu akibat ulahnya Haris.
Di dalam kamar, Alif kembali memeluk erat tubuh Neli. Dia takut, jika Haris nekad dan bisa saja mendobrak pintu kamar, yang sudah reot itu.
"Kalo kamu memang memaksa. Jangan salahkan ibu, berteriak agar orang-orang kampung datang kesini." ancam Neli.
Mendengar ancaman itu, Haris hanya bisa mencak-mencak. Akhirnya dengan terpaksa dia mengambil tas, dan keluar dari rumah masa kecilnya.
"Dasar perempuan tua, tak guna." umpat Haris menendang pintu kamar, sebelum ia melangkah pergi.
Neli memejam matanya, rasanya teramat perih. Hatinya terluka akibat sikap anak semata wayangnya itu.
"Lihatlah, anak yang kamu besarkan dengan kasih sayang itu. Lihatlah, bukan kah kamu sangat senang memanjakannya? Kamu sangat senang menuruti setiap keinginannya? Lihatlah, sekarang. Dia membuatku tersiksa Gani. Dia membuatku terluka. Apakah kamu bahagia?" batin Neli.
Neli sadar, Haris begini akibat dia yang terlalu dimanjakan. Almarhum suaminya selalu saja menuruti setiap keinginan Haris. Bahkan, dia selalu saja memarahi Neli, jika ketahuan Haris melakukan pekerjaan, walaupun hanya membantu, pekerjaan rumah sekalipun.
Bahkan, Haris di larang pergi ke sawah oleh suaminya. Itu semua akibat penantiannya yang panjang, untuk memiliki seorang anak.
Dulu, Neli baru bisa hamil saat usia pernikahan dia dan suaminya hampir sembilan tahun. Dan itu pun, sudah menghabiskan banyak uang, untuk berobat kesana kemari.
Maka dari itulah, Gani sangat menyayangi Haris. Dan ia bertekad akan menuruti setiap keinginan Haris.
Namun siapa sangka, akibat terlalu di manja membuat Haris keras kepala. Bahkan, saat menikah dengan ibunya Alif dulu, Haris termasuk lelaki yang m0
Dan selalu mengandalkan pendapatan istrinya. Dan karena jenuh dengan sifat yang dimiliki Haris, sang mantan istri pun memilih untuk selingkuh.