NovelToon NovelToon
Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Beda Dunia / Wanita Karir
Popularitas:653
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.

Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.

Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 05 (Patah di Awal)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Flashback

Zidan Ardiansyah lahir dari keluarga sederhana di sebuah kota kecil. Ayahnya, Hardi, adalah tukang kayu yang dikenal tekun, sementara ibunya, Puspa, hanya seorang ibu rumah tangga yang mengelola warung kecil di depan rumah mereka.

Sejak kecil, Zidan tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkannya arti kerja keras dan kesederhanaan — nilai-nilai itulah yang kemudian ia pegang erat hingga dewasa.

Nasib baik berpihak kepadanya saat ia diterima di salah satu sekolah elit di kota besar, berkat prestasi akademiknya yang gemilang.

Beasiswa penuh yang diperolehnya bak tiket emas—membuka lebar jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Namun untuk mendapatkan kesuksesan tentu harus ada pengorbanan.

Meninggalkan rumah dan keluarganya memang bukan perkara mudah, namun Zidan tak pernah ragu. Ia tahu betul, setiap langkah yang diambil adalah bentuk pengorbanan demi membanggakan kedua orang tuanya.

Di sekolah barunya itulah takdir mempertemukannya dengan Claretta Fredelina Beryl — atau yang lebih akrab disapa Letta.

Letta, dengan segala kemewahan, keceriaan, dan pesonanya, selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.

Namun anehnya, di tengah gemerlap dunia elit yang mengelilinginya, justru sosok Zidan—siswa dengan latar belakang sederhana—yang berhasil mencuri perhatiannya.

Ada sesuatu dalam diri Zidan yang berbeda. Aura tenang dan keteguhannya terasa menonjol di antara kebisingan ambisi dan pamer status. Sejak saat itu, Letta mulai sulit mengalihkan pandangannya.

Awalnya, Letta hanya memperhatikan Zidan dari kejauhan. Ia mengamati bagaimana Zidan selalu serius di kelas, tak pernah terlibat dalam gosip atau keributan remaja lainnya.

Bahkan saat istirahat, Zidan lebih sering menyendiri di sudut perpustakaan atau duduk di taman sekolah, membaca buku bekas yang lusuh namun dijaga dengan penuh cinta.

Pesona itu perlahan berubah menjadi rasa penasaran. Dan rasa penasaran itu, pada akhirnya, tumbuh menjadi keberanian kecil untuk mulai mendekat.

Letta mulai sering mencari-cari alasan untuk berada di sekitar Zidan. Ia pura-pura membutuhkan bantuan tugas, atau sengaja duduk di meja perpustakaan yang berdekatan dengan Zidan, bahkan terkadang Letta akan menggoda Zidan dengan candaan kecil.

Dan suatu hari, saat Zidan tengah membaca buku di taman belakang sekolah, Letta mendekat sambil membawa dua botol minuman.

"Buat kamu," ucap Letta sambil menyodorkan salah satu minuman yang ia bawa.

Zidan sempat menatap heran kearah Letta, sebelum akhirnya menerima dengan ragu. "Terima kasih," ucapnya singkat.

Senyuman Letta mengembang, puas karena Zidan setidaknya menerima pemberiannya, meski ekspresi canggung di wajah laki-laki itu tak luput dari matanya.

Hari-hari terus berlalu, dan Letta semakin berani. Kadang ia muncul tiba-tiba di hadapan Zidan dan terang-terangan menggoda Zidan.

"Hai," sapa Letta siang itu saat jam istirahat, sambil menyodorkan sebatang cokelat. "Katanya cokelat bisa bikin semangat belajar, loh" Ucapnya pada Zidan.

Zidan menatapnya bingung, sebelum menggeleng pelan. "Terima kasih, Letta. Tapi aku nggak suka cokelat."

Letta cemberut, tak menyerah. "Kenapa sih kamu dingin banget sama aku?" gerutunya sedikit kesal karena ini bukan lah penolakan pertama dari Zidan, tapi sudah kesekian kalinya.

Namun Zidan hanya menghela napas pendek, kembali fokus pada makanannya tanpa banyak bicara. Dan bagi Letta, sikap itu bukannya memadamkan rasa penasarannya, malah membuatnya semakin tertantang.

Ia mulai muncul lebih sering di sekitar Zidan, tak peduli seberapa kaku dan canggung suasana yang tercipta. Letta merasa, semakin ia mengenal Zidan, semakin yakin bahwa perasaannya bukan sekadar kagum sesaat.

Tapi bagi Zidan, perhatian Letta terasa aneh. Bukan karena ia membenci Letta — tidak, sama sekali tidak. Tapi dunia mereka terlalu berbeda. Setiap tatapan dan perhatian Letta membuat Zidan merasa seolah-olah berada di bawah sorotan lampu yang terlalu menyilaukan.

Maka untuk itu, Zidan mulai menghindar. Ia memilih pulang lebih cepat setelah jam pelajaran selesai, menghindari rute-rute yang biasa dilewati Letta, dan lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan belakang yang jarang dikunjungi.

Meski begitu, Letta tidak menyerah. Ia masih berharap, mungkin pada waktunya, Zidan akan membuka hatinya.

Waktu terus berlalu, namun sayangnya belum ada kemajuan dalam hubungan Letta dan Zidan. Hingga akhirnya tibalah hari yang dinanti sekaligus ditakuti banyak siswa yaitu hari perpisahan.

Saat itu acara berlangsung meriah di aula sekolah, penuh tawa, nostalgia, dan air mata. Setelah semua rangkaian acara selesai, para siswa berpencar ke lapangan belakang untuk berfoto, bercanda, dan mengabadikan momen terakhir bersama teman-teman.

Namun di tengah keramaian itu, Letta hanya fokus pada satu hal — menemukan Zidan.

Dengan gaun putih sederhana dan pita kecil menghiasi rambutnya, Letta akhirnya melihat Zidan yang berdiri di pinggir lapangan, sendirian, menatap langit sore. Ini adalah kesempatan terakhirnya, sebelum hidup mereka benar-benar mengambil jalan masing-masing.

"Zidan," panggil Letta, dengan suara lembutnya.

Zidan menoleh. Wajahnya tetap tenang, nyaris tanpa ekspresi.

"Aku... aku mau ngomong sesuatu," ucap Letta, mencoba tersenyum.

Di tengah riuh suara tawa dan teriakan teman-temannya, Letta mengumpulkan seluruh keberaniannya.

"Aku suka kamu, Zidan," Ucap Letta, menatap mata Zidan dalam-dalam. "Dari dulu. Dari pertama kali aku lihat kamu, aku tahu kamu berbeda. Aku tahu kamu nggak akan pernah sama kayak yang lain."

Dunia seolah membisu sesaat, menyisakan hanya suara napas mereka berdua.

Namun, balasan yang Letta harapkan tidak sesuai dengan ekpetasinya. Yang ia dapatkan justru tatapan dingin, yang seolah memintanya untuk menjauh.

Zidan menarik napas pendek, lalu berkata dengan nada yang terdengar keras dan tegas.

"Aku pikir kamu cukup pintar untuk menilai sikap aku selama ini?" Ucap Zidan, suaranya terdengar menusuk. "Aku nggak pernah ada rasa sama kamu. Dari awal."

Letta terdiam mematung, tanpa sadar ia menahan nafasnya. Ucapan Zidan berhasil membuatnya terkejut, ia tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi.

"Aku di sini buat sekolah, bukan buat main-main soal perasaan," lanjut Zidan.

"Kita beda, Letta. Dunia kita beda jauh. Kamu cuma penasaran, mungkin karena kamu merasa cuma aku yang nggak pernah melihat kearah kamu seperti yang lain dan aku yakin kamu nggak beneran suka sama aku."

Setiap kata Zidan terasa seperti pisau yang perlahan menusuk dada Letta.

"Dan lagi," suara Zidan terdengar lebih dingin, "di tempat aku berasal, aku sudah punya seseorang. Seseorang yang ngerti hidup aku, yang kamu nggak akan pernah ngerti."

Tanpa menunggu respon Letta, Zidan berbalik dan pergi, meninggalkan Letta berdiri sendiri di pinggir lapangan.

Angin sore berhembus pelan, memainkan ujung pita di rambut Letta. Tubuhnya bergetar, matanya memanas, namun ia menahan semua itu. Ia menolak membiarkan air matanya jatuh di hadapan banyak orang.

Di tengah tawa dan keriuhan pesta perpisahan, Letta berdiri sendiri — menelan kepedihan cinta pertama yang tak hanya ditolak, tapi dihancurkan tanpa ampun.

Itulah akhir dari kisah putih abu-abu Letta dan Zidan — kisah yang tidak pernah benar-benar dimulai, namun meninggalkan bekas yang dalam di hati masing-masing.

TBC...

1
Mira Esih
ditunggu terus update terbaru nya thor
Leo Nuna: siap kak🫡
total 1 replies
Mira Esih
sabar ya letta nnti jg ada perubahan sikap Zidan masih menyesuaikan keadaan
Mira Esih
terima aja Zidan mungkin ini takdir kamu
Leo Nuna: omelin kak Zidan-nya, jgn dingin2 sma Letta😆🤭
total 1 replies
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah hidupnya pas²an..
Okto Mulya D.: sama²
Leo Nuna: iya nih kak, makasih loh udh mampir😉
total 2 replies
Okto Mulya D.
Kasihan ya, cintanya ditolak
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah cinta putih abu-abu yaa
Okto Mulya D.
semangat Letta
Okto Mulya D.
udah mentok kalii sudah 28 tahun tak kunjung ada
Okto Mulya D.
Letta coba kabur dari perjodohan.
Okto Mulya D.
jadi pelakor yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!