Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Hidup?
Malam telah menggulung seluruh sudut langit dengan kelamnya. Bintang-bintang enggan menampakkan diri, seolah memahami bahwa malam itu tidak layak untuk dihiasi cahaya. Udara di sekitar mansion Andreas terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang dan membekukan kebisuan yang menyelimuti bangunan megah bergaya gotik itu.
Mansion Andreas berdiri kokoh di tengah-tengah pekarangan luas, terisolasi dari pemukiman lain. Dinding-dindingnya yang tinggi dan jendela-jendela berbingkai hitam menambah kesan angker pada rumah itu, terlebih saat cahaya bulan yang samar menyentuh bagian atap yang basah oleh embun malam.
Di dalam kamar utama di lantai dua, Andreas sedang berdiri di depan cermin besar yang menempel di dinding. Pria berusia 32 tahun itu mengenakan kemeja putih dengan kancing atas yang terbuka. Rambutnya yang hitam legam terlihat acak-acakan, namun tetap menambah kesan misterius pada wajahnya yang tajam dan berwibawa. Ia menyisir rambutnya dengan tangan, tanpa cermin pun ia tahu penampilannya selalu memikat.
Sejak pagi, rumah itu telah diselimuti oleh keheningan mencekam. Tidak ada tawa, tidak ada percakapan. Bahkan, samar-samar, ia tidak lagi mendengar suara dari gudang belakang—tempat ia menyembunyikan Mistiza.
Teriakan-teriakan lirih, tangisan putus asa, dan dentuman kecil dari dalam gudang, yang sejak sore menjadi semacam latar suara di telinganya, kini benar-benar hilang. Dan entah kenapa, justru itulah yang membuatnya gelisah.
Ia turun dari kamarnya dengan langkah perlahan. Tangga spiral dari kayu tua berderit pelan di bawah berat tubuhnya. Ia menyusuri lorong gelap menuju ruang makan, di mana lampu gantung berwarna kuning temaram telah dinyalakan. Di atas meja panjang berlapis taplak bordir, telah tersaji makan malam untuk satu orang.
Seorang pelayan lelaki paruh baya yang mengenakan seragam abu-abu tua membungkuk dengan sopan saat melihat tuannya datang. Ia berdiri diam di dekat meja makan, matanya tidak berani menatap langsung ke wajah Andreas.
"Selamat malam, Tuan," ucap pelayan itu pelan.
Andreas hanya mengangguk tipis dan duduk di kursi ujung meja. Ia menyentuh pisau dan garpu perak di hadapannya, lalu makan dengan tenang sampai piringnya bersih tak tersisa.
Dirasa tuannya sudah menikmati makan malam, sang pelayan lantas berujar.
“Tuan, apakah anda ingin saya memberi makan untuk tamu yang di gudang?” tanya pelayan itu dengan hati-hati, setelah beberapa saat hening membentang di antara mereka.
Andreas berhenti sejenak. Pertanyaan itu sederhana, namun mengganggu pikirannya lebih dari yang ia bayangkan. Dia bahkan tidak kepikiran soal memberi makan satu manusia tersebut, dia bisa saja tidak memberi Mistiza makanan apapun, tapi rasanya kurang asik kalau dia membiarkan wanita tersebut cepat m*ti.
Ia menatap pelayannya dengan pandangan datar. “Apakah ia masih hidup?”
Pelayan itu tampak terkejut, namun segera menjawab dengan sopan. “Saya rasa terlalu cepat kalau beliau m•ti hanya dalam waktu kurang dari sehari.”
Andreas menghela napas panjang. Ia tidak merasa kasihan, tidak merasa bersalah, dan tentu saja tidak merasa harus bertanggung jawab. Namun ia sadar, akan menjadi sia-sia jika Mistiza mati terlalu cepat. Ia belum selesai bermain-main dengannya. Masih banyak yang ingin ia lihat dari reaksi gadis itu—ketakutannya, keputusasaannya, dan terutama... tekadnya untuk tetap bertahan hidup.
Ia akhirnya mengangguk.
“Beri dia makan malam,” ujarnya tenang. “Tapi… jangan beri sesuatu yang enak.”
Pelayan itu menunduk.
“Buatkan semangkuk bubur hambar. Jangan beri bumbu, jangan beri rasa. Jangan pula beri pilihan lain. Aku ingin dia makan, tapi bukan karena ia menginginkannya—melainkan karena dia tidak punya pilihan.”
“Baik, Tuan.”
Pelayan itu bergegas meninggalkan ruangan. Sementara Andreas tetapi diam sambil memikirkan beberapa hal. Sejak ia menyusun rencana menculik Mistiza—gadis yang selama ini hanya dilihatnya sebagai pion dalam permainan keluarga Wilton—Andreas tak pernah benar-benar merasa bersalah. Ia membenci keluarga Wilton. Seluruh kekuasaan, kesombongan, dan cara mereka memperlakukan orang lain seperti barang, telah membuatnya muak selama bertahun-tahun.
Mistiza adalah simbol dari semua itu. Gadis dari kalangan bawah yang tiba-tiba saja diangkat dan dimasukkan ke dalam lingkaran para bangsawan—seperti boneka yang mereka dandani dan pamerkan. Andreas melihat peluang di sana. Dan ia bertindak.
Namun satu hal yang tidak ia duga: Mistiza tidak seperti yang ia bayangkan. Dia tidak menangis sepanjang waktu. Dia tidak meratap. Ia melawan—dengan diam, dengan tatapan tajamnya yang membara. Bahkan dalam kondisi tubuh yang lemah, gadis itu tetap menatapnya seperti ingin berkata: “Kau tidak akan menang.”
Dan mungkin, karena itulah rencana ini akan sangat lama untuk selesai.
*
Pelayan itu berjalan perlahan menyusuri lorong belakang mansion, membawa sebuah nampan kayu berisi semangkuk bubur putih yang nyaris tak berbau, dan sebotol air mineral tanpa label. Langkahnya pelan namun pasti, bergema lembut di antara dinding-dinding tua yang dingin dan sunyi.
Namanya Richard, sudah lebih dari dua tahun ia bekerja di keluarga Wilton sejak ibu kandung Andreas masih hidup, setelah itu dia diberhentikan oleh Olive tanpa alasan yang jelas, setelah Andreas memiliki kediaman sendiri dia kembali dipekerjakan di mansion yang berbeda ini . Ia tahu betul kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan harus membunuh rasa iba demi mempertahankan pekerjaannya. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.
Semenjak pintu gudang itu dikunci hampir setengah haru, Richard tidak lagi mendengar suara-suara dari dalam. Teriakan, bentakan, bahkan sesekali suara benda terjatuh yang sebelumnya menyelinap keluar lewat celah pintu kini lenyap sepenuhnya. Gudang itu mendadak senyap, seperti perut bumi yang menyembunyikan rahasia paling kelam.
Tangannya menggenggam erat nampan ketika ia sampai di depan pintu besi itu. Sebuah gembok tua mengunci palang besi dari luar. Richard menurunkan nampan pelan-pelan, lalu mengambil kunci dari saku kanan rompinya. Ia membuka gembok itu dengan gerakan terlatih, tanpa suara. Saat palang terbuka, pintu besi mengeluarkan bunyi gesekan berat ketika didorong.
Udara di dalam gudang begitu pengap, seolah menyimpan napas penderitaan. Aroma lembab dan darrah kering menyambutnya, menyatu dengan bau besi karat dan debu tua. Richard mengangkat nampan dan melangkah masuk, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kecil yang tergantung miring di langit-langit.
Di sudut ruangan, tubuh Mistiza tampak meringkuk. Gaun pengantin kusut, rambutnya terurai liar, dan wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan. Ia duduk bersandar pada dinding dengan tangan terikat di depan tubuhnya. Ketika mendengar pintu dibuka, kepala Mistiza terangkat pelan, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Richard menghentikan langkahnya dua meter dari tempat gadis itu duduk. Ia menaruh nampan di lantai, tidak mendekat lebih jauh. Ia tidak ingin melihat terlalu dekat, tidak ingin merasakan beban batin yang mungkin akan muncul jika ia bertatapan terlalu lama dengan tatapan putus asa itu.
Mistiza menatapnya dengan mata merah dan lelah, namun masih menyala. Pandangannya bukan sekadar memohon atau marah. Ada percampuran perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata—semacam perlawanan bisu yang menolak tunduk sepenuhnya.
Richard membungkuk perlahan, menyentuh lantai dingin saat menaruh mangkuk dan botol air itu. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, sesuai perintah Andreas.
Mistiza memandangi mangkuk di hadapannya. Bubur itu tampak putih pucat, cair, dan dingin. Tidak ada aroma yang bisa merangsang nafsu makan. Bahkan, tampaknya tidak ada garam di dalamnya.
"Ini yang disebut makanan?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Richard tak menjawab. Ia sudah berdiri kembali dan berbalik menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Mistiza, meskipun lirih dan nyaris hilang tertelan udara.
“Apa mereka akan membuunuhku di sini?”
Richard tidak menoleh. Ia tetap berdiri membelakangi gadis itu, tubuhnya kaku seperti patung.
“Kalau iya… setidaknya katakan. Aku pantas tahu,” lanjut Mistiza, suara seraknya mengandung keberanian yang menggigil.
Ia diam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan namun jelas, “Kalau Tuan Andreas ingin Anda mati, Anda sudah tidak akan bicara sejak menginjak mansion ini.”
Kemudian, ia kembali membuka pintu besi dan melangkah keluar tanpa berkata lagi. Pintu ditutup perlahan, namun tetap mengeluarkan bunyi besi berat yang menyayat suasana. Palang kembali dikunci, dan gembok dipasang kembali dengan klik pelan.
Richard berdiri sejenak di luar gudang, memandangi malam yang semakin pekat. Di dalam dirinya, ada percikan rasa bersalah yang berusaha ia tekan. Ia bukan orang jahat, tapi ia juga bukan orang baik. Ia hanya pelayan. Dan kadang, menjadi pelayan berarti menutup mata.
Di balik pintu besi, Mistiza kembali menunduk. Tubuhnya lemah, perutnya melilit oleh rasa lapar yang tak bisa lagi ia lawan dengan tekad semata. Ia menatap mangkuk di depannya, biarlah dia m*ti, mungkin itu lebih baik dari pada dia hidup dengan penuh kesengsaraan, mungkin dengan begitu dia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya di surga.
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu