🖤 Ini adalah novel pertamaku
🖤 Beberapa bab awal agak boring (maklum, baru nulis)
🖤 Sabar melewati bab awal dijamin bakal ketagihan bacanya (Ciee pede boleh dong)
🖤 Alurnya limited edition, no plagiat, gak ada duanya (Kalau ada, aq dong yang duluan buat..🤪)
🖤 Yang udah sabar baca sampe akhir, semuanya pada baper parah dan gagal move on (Kenyataan nih, no hoax)
🖤 Season 2 bakal bikin baper dan gagal move on makin akut
🖤 Season 2 berkisah tentang duda playboy beranak satu, dengan ibu sambung yang keras kepala
🖤 Alurnya original, makin fresh from panci, romantisnya makin dapet, konfliknya makin greget (Seriusan nih..)
🖤 Novel ini punya spin off berjudul PASUTRI yang ceritanya tentang anak-anak mereka dan disitu ceritanya bagusss banget, meskipun gak booming karena authornya hanya remahan (Gak percaya, buktiin sendiri)
🖤 Masih bilang gak suka juga? bohong banget.. karena itu gak mungkin..!! (maksa🤣)
Bissmillahirramanirrahim.. 😇
Ini adalah karya pertamaku 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIDIA KAY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGGANGGU
Tian baru saja memasuki lobby apartemen saat menangkap keributan didepan lift. Beberapa orang satpam dan beberapa sekuriti pribadi yang memang sengaja ia tugaskan di unit apartemennya ini nampak sedang menahan seorang wanita yang sedang histeris.
“Lepaskan aku! Aku bilang lepassss!! Aku akan mengadukan kalian semua pada Pak Tian. Sialaaaann kalian ... Aku bilang lepaskan akkuu ...!!” wanita itu masih berusaha memberontak.
Mendengar teriakan itu dengan pikiran bertanya-tanya Tian bergegas mendekati pusat terjadinya keributan dan ia terhenyak saat mengenali wanita yang sedang histeris itu adalah Lusi.
Yah, itu Lusi Permatasari, model yang belum lama di endorse Indotama Group untuk sebuah brand produk kecantikan terbaru.
“Ada apa ini?” Tian berucap dingin.
“Pak Tiaan sayangkuuu .... Akhirnya kamu datang juga sayaaangg. Lihat ... Lihat apa yang sedang mereka lakukan kepadaku ...” wanita itu menangis sambil meronta-ronta, karena ingin segera menghambur kearah Tian namun segala usahanya tidak membuahkan hasil.
Barisan para sekuriti bertubuh kekar tentu saja tidak akan membiarkan pengacau kecil itu menyentuh sang bos besar.
Tian memicingkan matanya, langsung menyadari bahwa saat ini Lusi sedang dalam kondisi mabuk berat. Tanpa kata ia memberi kode kepada anak buahnya yang memang ditugaskan khusus untuk keamanan apartemennya agar segera membereskan pengacau itu, tak peduli dengan teriakan histeris Lusi yang semakin menggila.
Tian memijit keningnya beberapa kali saat Lusi hilang dari pandanganya. Entah kenapa aksi gila Lusi yang terjadi diluar dugaannya itu tiba-tiba saja membuat Tian panik.
“Maafkan atas keteledoran saya ini, Pak Tian.”
Haris, kepala keamanan yang bertugas khusus di lingkungan apartemen Tian berucap sambil menundukkan kepalanya, sama sekali tidak memiliki keberanian mengangkat wajahnya dihadapan Tian. Ia benar-benar merasa bersalah karena telah membiarkan kejadian yang tidak menyenangkan seperti tadi bisa disaksikan langsung oleh sang bos besar.
“Bagaimana mungkin kalian memberikan kesempatan kepada wanita itu membuat keributan begitu rupa?” meskipun suara Tian terdengar datar, tapi aura kemarahan yang tersirat didalamnya sangat kentara. Belum juga dengan ekspresi wajahnya yang mengeras.
“Saya benar-benar menyesal, karena saya terlambat mengantisipasinya, Pak Tian." Haris yang merasa telah membuat kesalahan besar kali ini hanya bisa tertunduk pasrah menunggu keputusan apa yang akan menjadi
hadiah dari keteledorannya.
Tian terdiam sejenak sebelum akhirnya membuang nafasnya berat. “Baiklah. Kali ini kamu saya maafkan."
Masih dalam keadaan menunduk Haris menarik napasnya lega.
“Tapi saya tidak ingin kejadian ini terulang kembali.”
“Saya mengerti, Pak Tian.” kali ini Haris berucap penuh keyakinan sambil mengangkat wajahnya, menatap Tian dengan sorot mata bersungguh-sungguh.
“Bereskan semuanya dan pastikan tidak ada awak media yang terlibat. Jangan biarkan kejadian tadi sampai diketahui publik.”
“Saya mengerti, Pak Tian.” angguk Haris lagi.
“Haris ...”
“Iya, pak?”
Tian menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kepala keamanan itu agar lebih mendekat.
Melihat isyarat itu Haris pun otomatis maju mendekati sang bos.
“Kalau sampai ada orang yang mengetahui tentang keberadaan istri saya di apartemen ini, maka pekerjaan kamu taruhannya.” bisik Tian dengan intonasi suara dingin, sanggup mengubah raut wajah Haris yang memang sejak tadi sudah pucat menjadi semakin pias, tapi lelaki berbadan kekar itu toh tetap mengangguk takjim.
“Saya mengerti, Pak Tian. Dan sekali lagi saya berjanji, jika hal semacam ini tidak akan pernah terjadi lagi.”
“Bagus. Kamu boleh kembali.”
Haris mengangguk, menundukkan kepala sejenak sebelum berlalu dari hadapan Tian.
Tian memijit keningnya lagi, tiba-tiba ia merasa ngeri sendiri saat membayangkan bagaimana jika tadi Lusi yang begitu nekat menghampiri apartemennya itu berhasil menerobos masuk kelantai lima dan bertemu Arini.
“Menarik ...”
Suara yang tidak asing terdengar memecah lamunan Tian.
Tian refleks mendongak, dan ia mendapati sosok Rico, sedang bersandar santai di pilar, menatap Tian lekat sambil mengacungkan sebuah ponsel.
Tian meraba kedua saku celananya sebelum akhirnya mengumpat perlahan.
“**** ...”
Benar saja, Tian yang tidak menemukan benda tersebut di kedua saku celananya telah membuatnya sadar bahwa sepertinya ia memang telah meninggalkan ponselnya itu diatas meja, sebelum ia beranjak dari café tadi.
Tian melangkahkan kakinya mendekati Rico yang sedang tersenyum aneh penuh misteri, saat menyerahkan ponsel Tian yang tertinggal diatas meja café.
Tian pun langsung mengambil alih benda pipih tersebut.
“Thanks, Co, ini pasti ketinggalan diatas meja tadi kan ...”
“Hemm."
Tian menatap Rico lekat saat menyadari lelaki itu belum juga beranjak sedikitpun dari posisinya.
“Mau apalagi?” tanyanya acuh.
Rico masih tidak bergeming.
“Pulang sana. Lila pasti sedang menunggumu..” usir Tian to the point, padahal baru sedetik yang lalu dirinya sedikit bermuka manis.
“Tadi aku melihat beberapa orang anak buahmu menyeret Lusi keluar. Apa dia baru saja membuat keributan?” Rico malah mengabaikan perkataan Tian.
“Hemm."
“Apa yang membuatnya melakukan semua itu?”
“Mana aku tahu?” ujar Tian seraya mengedikkan bahunya dengan acuh.
Tian merasa malas untuk menerangkan panjang lebar kepada Rico, bahwa sebenarnya sudah beberapa hari ini Lusi bak perempuan kehilangan akal yang terus menerus mengejar Tian tanpa henti.
Aksi nekad Lusi itu dikarenakan Lusi merasa diacuhkan, karena selama ini tidak secuil pun Tian merespon segala usaha gigihnya dalam mendekati Tian.
Tapi memang bukan Rico namanya jika ia bisa berhenti menahan rasa penasarannya.
“Sejak kejadian yang lalu itu, memangnya kalian masih berhubungan ...?”
“Apa aku pernah mengatakannya?” pungkas Tian dongkol.
Rico mengangkat bahu acuh. “Who knows? Bukankah sudah menjadi kebiasaan burukmu usai bercocok tanam langsung minggat ...?” usai berucap demikian tawa Rico pecah berderai, tanpa peduli dengan mimik wajah masam milik Tian yang langsung menatapnya kesal.
“Sialan, kamu sendiri bahkan tau bahwa saat itu aku belum sempat melakukan apa-apa dengannya karena nenek keburu datang ...”
Rico sontak terdiam mendengar kalimat Tian. Ingatan Rico seolah kembali pada kejadian kira-kira dua bulan yang lalu.
Saat itu Rico yang sedang berada di apartemen Tian diam-diam nekad mengundang beberapa orang wanita, yang salah seorang diantara mereka adalah Lusi Permatasari, model cantik yang sedang naik daun karena baru saja di endorse Indotama Group di salah satu brand kecantikan yang baru saja launching.
Seperti biasa mereka minum-minum, dan bersenang-senang.
Kala Itu Rico sendiri bisa melihat betapa tertariknya Lusi kepada Tian.
Lusi bahkan tidak segan terus-menerus menempel pada Ceo Indotama Group itu sepanjang malam.
Tapi sayangnya, belum juga usaha Lusi untuk mendapatkan perhatian Tian membuahkan hasil maksimal, ponsel Tian sudah lebih dulu berdering membawa kabar dari Rudi bahwa Saraswati yang tidak lain adalah neneknya Tian yang super woman itu sedang dalam perjalanan menuju apartemen Tian, guna menciduk perbuatan cucu kesayangannya itu.
Sontak saja party di malam itu langsung bubar, sehingga Lusi yang belum sempat mewujudkan keinginannya bisa jadi diliputi rasa penasaran sehingga membuahkan aksi nekadnya.
‘Jadi mereka belum sempat bercocok tanam ...?’
Rico membathin.
“Pasti karena kamu sudah membuang Lusi sebelum terjadi apa-apa diantara kalian. So, wajar saja jika Lusi merasa penasaran sehingga ingin menagih sesuatu yang belum ia dapatkan dari dirimu ...” imbuh Rico.
Tian terdiam, tidak berselera untuk menanggapi, apalagi repot-repot memikirkan Lusi, wanita gila itu.
Benaknya saat ini hanya memikirkan bagaimana caranya ia bisa secepatnya bertemu Arini yang tadi ia tinggalkan begitu saja, setelah terlebih dahulu Tian pun harus memikirkan cara untuk menyingkirkan manusia usil yang ada dihadapannya.
'Apa yang harus aku lakukan?'
Tian berpikir keras, karena Tian tau persis sifat Rico yang gemar mengacak-ngacak apartemennya bahkan tak jarang sampai berhari-hari menginap.
“lagipula kenapa tadi Lusi sudah buru-buru kamu enyahkan?” bukan Rico namanya kalau ia bisa menyerah begitu saja dalam hal merecoki hidup Tian.
“Karena aku sudah tidak ingin.”
“Tidak ingin?” ulang Rico takjub mendengar kalimat yang terucap tegas itu. Rico bahkan nyaris tertawa mendengarnya. “Luar biasa, belum juga sempat diicip sudah bilang tidak ingin ...? ” Rico berdecak sangsi.
Tian menatap Rico kesal. “Kamu ini sebenarnya sedang apa? Mau menginterogasiku lagi? Apa tadi belum cukup ...?”
“Tentu saja ini berbeda, Tian ...”
“Cih."
“Kalau tipe seperti Lusi saja sudah membuatmu tidak ingin, sepertinya saat ini seleramu terhadap wanita sudah berganti ...”
“Apa maksudmu?” Tian menatap dongkol Rico yang lagi-lagi tersenyum penuh misteri dan sialnya Tian gagal menebak entah apa yang sedang bersemayam dibenak usil Rico saat ini.
“Jangan-jangan ... Seleramu saat ini seperti karyawan yang ada disalah satu kubikel di luar ruanganmu kemarin ..."
Tian melotot begitu menyadari kemana arah kalimat Rico.
“Kemarin kamu bahkan menatapnya sampai tidak berkedip dengan sangat intens.”
“Kamu ini bicara apa?” ujar Tian yang berusaha menyembunyikan rasa panik.
“Tipe wanita baik-baik. Tapi ... Jujur wanita itu lumayan juga sih. Lumayan manis, kelihatan polos, dan ...”
“Sudah! Diam!!”
Rico sontak terdiam. Jujur ia terhenyak mendengar bentakan keras Tian kepadanya, padahal sesungguhnya ia hanya berniat menggoda.
Wanita di kubikel itu tentu saja tidak mungkin mampu membuat seorang Sebastian Putra Djenar tergoda, tapi Rico bahkan tidak menyangka kalau Tian akan bereaksi seserius itu.
“Hhuuhff ... Sorry ...” Tian menghembuskan napasnya perlahan, kemudian tangannya refleks terangkat memijat kedua alisnya.
Tian sadar bahwa reaksinya barusan memang berlebihan.
Tapi mendengar seseorang sedang berusaha memuji Arini yang notabene merupakan istrinya, tak urung hati Tian merasa panas juga, tidak peduli jika yang memujinya itu Rico, sahabatnya sendiri.
Mendapati pemandangan itu Rico semakin merasa kalau Tian memang sedang merahasiakan sesuatu. Sahabatnya itu benar-benar sedang berada dalam masalah yang tidak sepele, hanya saja bukan Tian namanya jika ia mau duduk berbagi cerita dengan begitu mudah.
“Keep calm down, bro..” Rico malah nyengir menanggapi ucapan penyesalan Tian.
“Sorry, Co ... Kayaknya aku kelewat tegang.”
“Don’t worry ...” imbuh Rico santai.
“Aku ... Aku ... Yah kamu pasti tau sendiri kan, sebrengsek-brengseknya aku, sejauh ini aku tidak pernah ingin memiliki skandal dengan karyawanku sendiri.” Tian mencoba mengelak dengan sebuah asumsi.
“Seloww ... Lagian tadi aku sengaja bercanda, karena sepertinya akhir-akhir ini hidupmu selalu diliputi ketegangan.”
Tian menghembuskan napasnya berat. Tentu saja Rico bisa membaca kegalauan hatinya namun Tian masih belum bisa berterus terang.
“Tian ..."
“Hemm."
“Kamu sedang tidak bersama wanita seminggu terakhir ini. Sebenarnya ... Apa yang sedang kamu rencanakan?”
“Apanya yang aneh? Kamu sendiri mengatakan sudah tidak ingin bermain-main lagi dengan wanita, lalu mengapa aku tidak boleh?”
“Aku tidak percaya."
“Cihh."
“Apa kamu sedang menyukai seseorang?”
“Apa itu juga berarti kamu menyukai Lila?"
“Kenapa sekarang malah membahas Lila?” Rico balik bertanya dengan raut wajah kesal.
“Aku hanya menggunakan asumsi seperti yang kamu katakan, ‘kalau sudah tidak ingin bermain-main dengan seorang wanita apakah itu artinya sedang menyukai seseorang'. Itukan pendapatmu barusan ...?”
Rico mendengus. “Dalam kasusku dengan Lila, asumsiku itu tidak berlaku karena aku sedang dalam kondisi tidak menyukai Lila.“
“Kalau tidak menyukai lalu apa namanya?”
“Menghargai. Sure.”
Tian tertawa sumbang.
“Lalu kamu pikir apa? Apa kamu lupa kalau aku dan Lila adalah sepasang suami istri yang sah, dan kita bahkan sudah berbagi ranjang. Sudah sepantasnya kan kalau aku berusaha untuk menghargai hubungan kami?"
Lagi-lagi hanya tawa sumbang Tian yang terdengar.
“Tian, aku serius."
“Tentu saja. Hanya menghargai kan?” ulang Tian tersenyum sinis. “Karena hanya sebatas itulah, maka tadi saja kamu sudah menuduhku menyukai Lila-mu itu ..."
“Itu karena kamu memang berlebihan!” Rico masih saja mengelak.
“Apa kamu bilang? Aku berlebihan?”
Rico mengibaskan tangannya acuh. “Aahh ... sudahlah, lebih baik kita ke apartemenmu." putus Rico begitu saja, mengalihkan pembicaraan yang ada.
“Tidak." tepis Tian secepat kilat.
"Kenapa memangnya?"
“Mmm ... Maksudku ... Untuk apa ke apartemenku?” ralat Tian buru-buru.
"Memangnya tidak boleh?"
“B-bukan begitu, Co. Saat ini ... Aku hanya tidak ingin diganggu siapapun karena aku ingin beristirahat secepatnya. Aku sangat lelah dan akhir-akhir ini pekerjaanku juga sedang banyak-banyaknya ...” kilah Tian beralasan.
“Baiklah, kalau begitu aku janji tidak akan mengganggumu, tapi biarkan aku menginap di apartemenmu."
“Tidak."
“Hanya malam ini, Tian."
“Aku bilang tidak.”
Rico menarik napas gemas. "Kenapa tidak sih?“
“Tidak kenapa-kenapa."
“Kamu sedang menyembunyikan wanita di apartemenmu yah?” Rico menaik turunkan alisnya.
“Tidak lagi.” Tian menatap Rico kesal. “Tidak lagi, sejak insiden nenekku yang datang dan menggerebek pesta kita yang terakhir, apa kamu lupa?”
Rico menghela napasnya.
Benar juga. Malam itu Tian memang sudah berjanji pada nenek Saraswati saat insiden terakhir yang melibatkan Lusi di apartemen untuk tidak akan mengulangi hal itu lagi, yakni membawa wanita ke apartemen dan berpesta pora.
“Daripada kamu menjadi pengganggu kehidupanku, kenapa kamu tidak pulang saja ke pangkuan istrimu?”
“Aku sedang tidak ingin pulang."
“Kenapa? Kalian bertengkar?”
“Tidak. Aku hanya ingin bersenang-senang malam ini, agar bisa melupakan semua persoalan yang ada di otakku.”
“Memangnya semua itu bisa membuat masalahmu selesai ...?”
“Sudah. Diamlah, Tian. Sebagai sahabatku saja kamu tidak peduli dengan masalahku, maka biarkanlah alkohol yang akan menemaniku malam ini ...” usai berucap demikian Rico langsung beranjak dengan langkah gontai.
“Eh, Co, mau kemana kamu?”
Bukannya jawaban yang didapat Tian melainkan pemandangan punggung Rico yang semakin menjauh.
“Siall ...” desis Tian geram, sebelum akhirnya dengan terpaksa memutuskan untuk mengejar Rico.
Sungguh, Tian merasa tidak tega membiarkan Rico berlalu dengan perasaan kecewa padanya seperti itu.
‘Cihh ... Rico Chandra Wijaya, kamu ini benar-benar sudah menjadi salah satu kelemahanku selain nenek Saraswati!'
Tian ngedumel dalam hati. Benaknya dipenuhi Arini, tapi disisi lain Tian pun tidak bisa membiarkan Rico, sahabatnya, yang kini sedang berjalan lesu semakin menjauh.
Bersambung ...