Kehidupan Aira yang mulanya penuh bahagia tiba-tiba mulai terbalik sejak papanya menikah lagi.
Lukanya diiris kian dalam dari orang terkasihnya. Malvino Algara, pacarnya itu ternyata palsu.
" Pa ... Aira butuh papa. "
" Angel juga butuh papa. Dia ngga punya papa yang menyayanginya, Aira. "
****
" Vin ... Aku sakit liat kamu sama dia. "
" Ngga usah lebai. Dulu lo udah dapat semuanya. Jangan berpikir kalo semuanya harus berpusat ke lo, Ra. "
" Kenapa kamu berubah? "
" Berubah? Gue ngga berubah. Ini gue yang sesungguhnya. Ekspetasi lo aja yang berlebihan. "
****
" Ra ... Apapun yang terjadi. Gue tetap ada disamping lo. "
" Makasih, Alin. "
****
" Putusin. Jangan paksain hubungan kalian. Malvino itu brengsek. Lupain. Banyak cowok yang tulus suka sama lo. Gue bakal lindungin lo."
" Makasih, Rean. "
****
" Alvin ... Aku cape. Kalau aku pergi dari kamu. Kamu bakal kehilangan ngga? "
" Engga sama sekali. "
" Termasuk kalo aku mati? "
" Hm. Itu lebih bagus. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sutia Pristika Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membangun secerah asa lagi
Setelah dirasa sekian lama pria itu merenung, berdoa, bahkan bercerita disana. Perlahan ia beranjak. Karena cuaca mendadak gelap. Awan pun menggumpal hitam.
Bukan pilihan bijak, jika ia tetap bertahan disana lebih lama lagi. Sebab, sekarang ada makhluk mungil dalam gendongannya. Mereka berdua bisa basah kuyup nanti.
Langkah kaki Abimanyu makin cepat menuju mobil yang terparkir diluar are tempat pemakaman umum. Rintik-rintik air kecil turun ke bumi. Semakin lama semakin deras. Untunglah saat mereka sudah masuk ke dalam mobil, hujan baru turun selebat-lebatnya.
Abimanyu menunduk sejenak ke arah bayinya.
Aneh sekali, si kecil bahkan tak menangis saat ini. Padahal dia sendiri, sang ayah hampir gila dibuatnya. Tak mau larut dalam kesedihan. Abimanyu letakkan putrinya di boks bayi di samping kursi penumpang.
Mobil meluncur pelan-pelan. Hujan membuat penglihatan di kaca mobil jadi buram. Jalanan juga bertambah licin. Berbahaya untuk nya dan sang anak jika dia ngebut.
Di perjalanan yang hanya ditemani suara hujan, lelaki satu anak itu tak sengaja menoleh ke arah kanan tepatnya di sebuah warung di pinggir sana. Tertulis "Nasi uduk Bu Ijah" di dinding warung. Matanya menatap lama ke arah sana.
Kembali menyeruak di ingatan. Nasi uduk itu kesukaan Inaya. Dulu dia sampai terheran-heran. Apa istimewanya makanan itu? Hanya sekedar nasi dicampur santan dengan rempah-rempah sederhana. Tapi, tetap saja Inaya sangat menyukainya. Ia jadi penasaran.
Tekadnya pelan namun pasti. Mobilnya berhenti di depan warung Ibu Ijah. Bergegas Abimanyu masuk, dan keluar lagi setelah beberapa menit dengan plastik yang terlihat seperti nasi bungkus di genggaman.
Diletakkannya gumpalan plastik itu di kursi penumpang belakang, seraya melanjutkan perjalanan pulang yang sempat terhenti.
***
Kedatangannya dengan bayi dalam gendongan itu disambut hangat oleh Bi Darmi. Asisten rumah tangga itu menimang-nimang si bayi sebentar.
Sempat ingin mencubit pipi gembul itu. Ya, gemas sekali rasanya. Begitulah mungkin yang dikatakan si Bibi dalam hati. Terkenang jua kepada anaknya yang sekarang sudah melepas masa lajangnya di kampung halaman.
Melihat putrinya sedang di pegang Bi Darmi, Abimanyu naik ke kamar atas. Untuk mengganti bajunya mungkin. Kalau dilihat-lihat lagi, memang pakaiannya sedikit basah.
Selang kemudian, Abimanyu sudah turun kembali dengan pakaian rumahan yang lebih santai. Dia berencana akan menghabiskan waktu bersama putri semata wayangnya ini.
Akan tetapi, sebelum itu dia menuju ke arah dapur untuk menyantap nasi uduk yang dibelinya tadi. Ya, betul. Nasi bungkus dalam plastik itu adalah makanan kesukaan mendiang sang istri.
Ia menyajikan nasi uduk di atas piring. Menyendokkan makanan lemak manis itu ke dalam mulut. Menelan pelan-pelan untuk menikmati rasanya.
Setiap kunyahannya menyalurkan cita rasa yang sangat lezat di ujung lidah. Satu suapan lezat rasanya. Satu suapan, lagi, lagi dan lagi hingga nasi di atas piring tak tersisa.Pantas saja, Inaya suka sekali. Rasanya memang seenak itu.
Tangannya menyeka tisu ke area mulut selesai makan. Setelahnya, bangkit menuju tempat mencuci piring. Air terdengar mengalir dari kran. Dicucinya piring-piring kotor itu ternyata. Tadi, si Bibi tuh belum sempat mencucinya. Tak apalah, fikir Abimanyu. Bi Darmi sudah membantunya menjaga anaknya. Tak masalah jika dia juga ikut membantu meringankan pekerjaan nya beliau bukan?
Ini adalah pemandangan yang langka. Pesona Abimanyu sulit di tolak. Apakah ini karena setiap cowok yang katanya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat mencuci piring atau karena memang Abimanyu lah yang memang sudah tampan?
Sudah hentikan. Hentikan fikiran mengarut ini. Selesai sudah Abimanyu mencuci piring. Ia pun berlenggang pergi ke arah kamarnya.
Sampai ia di depan pintu yang setengah terbuka, tampak olehnya Bi Darmi yang sedang memberikan ASI formula ke bayinya.
Seharusnya, Inaya yang sedang bersama mereka sekarang. Memberikan ASI kepada bayi itu, memandikan dan menidurkan nya. Kemudian setelahnya, mengurus suaminya itu lagi.
Sudah cukup. Ini semua hanyalah khayalan semata. Rasa sakit kembali menghantam relung hatinya. Perasannya dibantai habis-habisan oleh kepergian Inaya. Secepatnya ia tepis perasaan melo itu. Sekarang ia adalah seorang papa. Tidak boleh lemah.
Inaya saja sewatu di masa hidupnya, tak pernah mengeluh akan rasa sakit yang di deritanya. Inaya sekuat itu. Dan dia juga harus kuat demi anaknya.
Jari manis nya mengetuk pelan daun pintu membuat si Bibi menoleh ke arahnya.
" Bi, putri saya sudah tidur?" tanya Abimanyu pelan seperti berbisik. Bi Darmi mengangguk.
" Iya Tuan. Non sudah tidur. Kekenyangan di beri Asi kayaknya. Hehehe." Si Asisten Rumah Tangga itu menjawab dengan kekehan gemas.
" Biarkan saya aja yang menjaganya Bi. Bibi bisa melanjutkan aktivitasnya." Kata Abimanyu terdengar santun.
" Iya Tuan. Baik. Kalau begitu, saya permisi. Kalau Ada apa-apa, atau membutuhkan apapun. Segera panggil saya." Ucap Bi Darmi lagi seraya beranjak menuju pintu keluar.
Namun, langkahnya sempat terhenti. Ia Membalikkan badan hingga sepenuhnya menghadap ke Abimanyu. Si majikan menaikkan alisnya sedikit seolah bertanya 'ada apa?'
" Mm ... Siapa nama putri Tuan?"
Ah, benar. Nama. Baru ia sadari jika dari lahir putrinya itu belum dikasi nama. Sejenak berfikir. Seperti ada bola lampu kuning muncul di kepalanya tiba-tiba.
" Aira, namanya Aira Kaisara."
" Aira? Wah namanya cantik, seperti orangnya. Nama itu cocok sekali. Mm ... Kalau begitu saya permisi, Tuan! "
Abimanyu hanya mengangguk. Menatap dalam ke arah Aira. Putrinya terlelap dengan damai. Dimasa-masa ini rasa rindunya ke Inaya datang lagi.
Sembari ikut merebahkan dirinya di samping Aira. Tangannya sesekali mengelus pipi sang anak. Sayu matanya. Sayup-sayup suara anak-anak terdengar di tetangga sebelah membuat rasa kantuk. Sampai akhirnya ia ikut tertidur bersama putrinya.
***
Tepat pukul 17.10 sore. Abimanyu pun terbangun. Suara tangisan putrinya terdengar sampai ke luar. Kakinya bergerak-gerak seolah tak nyaman. Ternyata popok nya penuh. Memang sudah saatnya untuk diganti. Berbekal belajar dari video-video yang dilihatnya dulu di YouTube. Tentang cara mengganti popok bayi sampai cara merawat dan menidurkan bayi. Semuanya telah dipelajari. Awalnya hanya sekadar iseng saja, tapi tak sangka berguna untuk sekarang.
Semuanya telah selesai. Aira juga sudah langsung sekalian dimandikan olehnya tadi.
Meninggalkan Aira sebentar di kamar tak masalah.
Sosok jangkung itu menuruni anak tangga satu-satu. Melihat Bi Darmi dan beberapa kerabat lainnya sibuk sekali.
Seketika ia terperangah, gawat ini kan hari pertama kematian Inaya. Hampir saja dia lupa.
Sesegera mungkin langkahnya membawa kembali ke kamarnya. Meraih handuk yang tergantung di ujung meja rias. Secepat kilat masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari keringat seharian. Air dari shower memancar membasahi seluruh tubuhnya. Mengambil shampo kemudian mengaplikasikannya di rambut indah itu. Dingin menerpa kulit kepala. Tak lupa menggosok-gosok badannya juga. Kemudian membilasnya.
Beberapa saat, Abimanyu muncul dengan tampang yang lebih bugar dan fresh. Sore ini dia mengenakan pakaian serba biru tua. Peci hitam melekat di kepala. Sedangkan Aira, mengenakan sepasang baju warna merah muda lengkap bendo dikepalanya dengan warna senada.
Kedua ayah dan bayinya itu terlihat indah dan menenangkan hati para insan yang sudah terlihat mulai berkumpul di ruang tamu lantai bawah.
Gutama, papa Abimanyu alias kakek kandung dari Aira mengambil alih cucunya ke dalam gendongan. Sementara Abimanyu menuju depan pintu untuk menyambut tamu.
Saling bersalaman sebelum masuk. Ibu-ibu dan bapak-bapak semakin ramai. Ada yang membawa Al-Qur'an atau surat Yasin dari rumah masing-masing.
Acra ini, dimulai oleh bapak ustadz yang Pak Rahman jemput atas suruhan Abimanyu tadi. Tahlilan berlangsung dengan khidmat dan tertib. Semua yang hadir tampak serius memanjatkan doa. Berdzikir dan membaca Yasin.
Hingga sampailah pada penghujung acara. Para tamu dipersilakan makan makanan yang sudah terhidang. Bukan apa-apa. Ini bukan imbalan karena sudah datang berdoa atau membaca yasin. Hanya saja Abimanyu memang berniat untuk berbagi dengan mereka sebelumnya.
Adzan maghrib pun berkumandang. Masing-masing berpamitan ke Abimanyu dan keluarganya. Sebagian langsung menuju masjid. Sebagian lagi pulang kerumahnya.
Seperti biasa, Bi Darmi sibuk membawa bekas piring dan gelas-gelas kotor ke belakang. Tak tinggal diam, Abimanyu ikut membantu membawakannya.
Terkenang Aira yang tadi sedang bersama Papanya. Pria anak satu itu mencari keberadaan mereka. Kepalanya tertoleh ke ruang outdoor samping rumah.
Ruang outdoor? Lagi-lagi mengingatkannya pada Inaya. Tak habis pikir. Semua tempat, bagian-bagian ruangan dirumah ini memiliki banyak kenangan tentang Inaya. Kenangan dari awal pertemuan, pendekatan, hingga mereka menikah.
Abimanyu tersenyum tipis, berusaha mengusir rasa sesak yang kian datang setiap kali mengingat mendiang Inaya. Mengalihkan fikiran berjalan santai ke dua kakek dan cucunya.
" Paa, tadi Abim cari kalian dimana-mana. Eh, ternyata disini." Ujarnya membuka obrolan.
Seperti ada magnet, Aira yang sejak tadi bercengkrama dengan kakeknya kini melihat ke arah papanya. Memang darah itu lebih kental daripada air. Menggemaskan. Ia cuil sedikit hidung mancung Aira. Tertawa pula dia.
" Papa sengaja membawa Aira kesini. Di dalam gerah sekali. Disini suasananya lebih sejuk. Lihatlah dia, betah kan?" Ujar lelaki tua itu.
" Memang betul Pa. Ini adalah tempat yang paling kami suka. Aku ... dan Inaya." Kata Abimanyu tersenyum kecut.
Kerongkongannya terasa serak. Sebegitu kuat cinta nya pada Inaya ini. Sampai setiap keadaan, di fikirnya hanya muncul nama Inaya, sosok Inaya.
" Nak ,,, Papa berharap kamu segera ikhlas. Menerima semua ini dengan hati lapang. Lihatlah putrimu! Besarkan dia dengan cinta. Jangan memukulnya, jangan menyakitinya. Dia harta paling berharga untukmu. Papa juga berharap, kamu bisa melanjutkan hidupmu. Boleh saja berkabung. Tapi, tetap gunakan akal sehatmu."
Persis sekali dengan pesan Inaya padanya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Artinya, ada dua janji yang harus dirinya tepati.
" Iya, pa. Abim juga berharap begitu. Dan Abim janji, akan membesarkan Aira dengan penuh kasih sayang. Putri nya Abim. Cintanya Abim." Sahut Abimanyu yakin.
Mata Gutama berkaca-kaca. Tak ingin sang putra melihatnya. Ia menunduk menekan jari tangan ke bola matanya.
" Maaf ... Mata papa kelilipan."
Abimanyu tau. Papanya berbohong. Tapi, dia berpura-pura tidak tau dan memilih percaya saja. Tiga orang itu benar- benar menghabiskan waktu bersama. Apalagi Gutama sudah lama tidak bersua dengan putranya.