NovelToon NovelToon
Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:19.8k
Nilai: 5
Nama Author: Shaa_27

“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”

Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.

Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.

Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.

Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tak kapok

Terik matahari siang itu membakar kulit, membuat udara di depan pabrik terasa panas dan pengap. Namun semua mata kini tertuju pada satu sosok perempuan tua yang tengah berdiri di depan gerbang dengan wajah merah padam dan rambut acak-acakan—Bu Marni.

Ia datang dengan langkah terburu, berteriak lantang hingga membuat para karyawan pabrik keluar untuk melihat apa yang terjadi.

“Rani! Rani keluar! Aku mau bicara!” seru Bu Marni sambil memukul-mukul gerbang besi pabrik.

Pak Seno, satpam yang berjaga, segera menegurnya.

“Bu, tolong tenang. Ini area kerja, nggak bisa asal masuk.”

Tapi Bu Marni malah menepis tangan satpam itu dengan kasar.

“Aku nggak mau tenang! Aku mau ketemu Rani sekarang juga! Suruh dia keluar! Anak itu punya tanggung jawab sama keluarga mantan suaminya!”

Kerumunan mulai terbentuk. Para buruh yang baru selesai makan siang saling berbisik, beberapa diam-diam menyalakan kamera ponsel.

Tak lama, Rani muncul dari arah dalam pabrik, didampingi oleh Nadia. Wajahnya tampak tegas meski matanya menunjukkan kelelahan.

“Bu Marni? Ada apa datang ke sini? Ini tempat kerja saya, bukan rumah.”

Bu Marni langsung menunjuk tajam ke arah Rani.

“Kamu pikir aku mau ke sini kalau nggak penting?! Kamu harus tanggung jawab! Gara-gara kamu keluarga aku jatuh miskin, rumah hampir disita, dan sekarang kami kelaparan! Kamu harus bantu kami!”

Rani menatapnya datar.

“Maaf, Bu. Saya sudah bukan bagian dari keluarga itu. Semua hubungan kita sudah selesai.”

Bu Marni mendengus keras, matanya melotot.

“Kamu kejam, Rani! Kamu lupa waktu masih serumah, siapa yang ngasih kamu makan? Sekarang kamu hidup enak, kerja di pabrik besar, sedangkan kami sengsara! Kamu pikir Tuhan nggak lihat kelakuan kamu?!”

Rani menarik napas dalam.

“Saya kerja untuk diri saya, Bu. Saya nggak punya kewajiban menanggung hidup orang yang pernah menghancurkan hidup saya.”

Mendengar itu, Bu Marni langsung berteriak histeris.

“Enak aja kamu ngomong begitu! Keluarga Andi itu tanggung jawab kamu! Kamu pernah jadi istrinya, berarti kamu harus bantu kami! Kalau nggak, aku nggak akan pergi dari sini!”

Pak Seno mencoba menengahi.

“Bu, tolong jangan bikin keributan. Banyak karyawan lagi kerja.”

Namun tiba-tiba, Bu Marni menjatuhkan diri ke tanah dan duduk di tengah jalan depan pabrik, tepat di bawah terik matahari. Ia menangis keras sambil menghantam dadanya, tantrum seperti anak kecil.

“Aku nggak akan pergi! Aku mau uangku sekarang! Aku mau Rani kasih uang! Aku lapar! Keluarga aku lapar!” teriaknya sambil menangis tersedu.

Para pekerja yang lewat berhenti menonton, beberapa saling berbisik.

“Ya ampun, itu ibunya mantan suaminya Rani, ya?”

“Kok bisa segitunya?”

“Parah banget, sampai duduk di jalan.”

Rani menatapnya tak percaya. Antara iba dan marah bercampur jadi satu di dadanya.

“Bu, tolong jangan bikin malu diri sendiri. Berdirilah, ini bukan tempatnya.”

Bu Marni menatapnya dengan air mata berlinang, tapi suaranya tetap lantang.

“Aku nggak peduli! Aku mau uang! Kamu pikir aku malu? Kamu yang harus malu, Rani! Dulu kamu hidup dari keluarga kami, sekarang kamu sombong karena punya kerjaan bagus!”

Nadia akhirnya melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas.

“Bu, cukup. Ibu udah ganggu aktivitas pabrik. Kalau Ibu terus begini, kami akan panggil keamanan komplek.”

Namun Bu Marni tak menggubris. Ia malah menendang sandal dan menggedor aspal.

“Panggil aja! Aku nggak takut! Aku mau Rani kasih uang hari ini juga! Kami nggak punya apa-apa lagi di rumah!”

Rani menatapnya lelah, lalu berkata pelan namun penuh ketegasan,

“Bu, saya sudah bukan istri Andi, bukan bagian dari keluarga Anda, dan saya tidak punya kewajiban menanggung beban yang Anda buat sendiri. Kalau Ibu masih tidak mau pergi, saya akan lapor polisi atas tuduhan mengganggu tempat kerja dan pencemaran nama baik.”

Kerumunan terdiam. Bahkan Bu Marni ikut membeku, tapi hanya sesaat. Ia kemudian berdiri perlahan, wajahnya penuh amarah dan rasa malu, lalu menunjuk Rani sambil gemetar.

“Kamu akan menyesal, Rani. Kamu pikir bisa lepas dari kami? Kamu bakal tahu rasanya jadi orang yang dibenci Tuhan!”

Rani hanya menatapnya datar.

“Kalau Tuhan benci saya, mungkin saya nggak akan diberi kekuatan untuk bertahan sampai sekarang.”

Hening sesaat, sebelum Bu Marni akhirnya pergi sambil menendang sandal dan disusul tatapan heran dari para pekerja. Nadia memegang tangan Rani dengan lembut.

“Kamu kuat banget, Ran… aku nggak tahu gimana kamu bisa tetap sabar menghadapi semua ini.”

Rani tersenyum pahit.

“Kalau aku marah, aku cuma akan jadi seperti mereka. Dan aku nggak mau jadi seperti itu.”

Keributan di depan pabrik akhirnya mulai reda, tapi suasananya masih panas.

Bu Marni baru saja pergi dengan wajah merah padam, meninggalkan tatapan heran dari semua orang. Begitu gerbang pabrik tertutup, Rani hanya bisa berdiri mematung, menahan napas panjang.

Nadia menepuk bahunya pelan.

“Rani… kamu nggak apa-apa?”

Rani menggeleng lemah.

“Aku baik-baik aja. Cuma capek.”

Namun suara-suara pelan mulai terdengar dari arah para karyawan yang menonton dari tadi.

Beberapa langsung bergosip tanpa menurunkan nada suara mereka sama sekali.

“Astaga, itu beneran mantan ibu mertuanya Rani?”

“Iya, katanya dulu Rani tinggal serumah sama mereka.”

“Ya Tuhan… aku aja baru lihat langsung orang setega itu. Sampai duduk di jalan cuma buat minta uang.”

Seorang teman mereka, Wulan, menggeleng keras sambil memegang kepala.

“Aku tuh nggak habis pikir, Ran. Dulu kamu bisa betah hidup di rumah kayak gitu? Aku nonton aja tadi rasanya pengin tarik tuh orang biar sadar diri!”

Rani menunduk, tersenyum kecut.

“Waktu itu aku masih mikir semua orang bisa berubah kalau dikasih kasih sayang.”

Nadia menghela napas panjang.

“Kasih sayang? Dia tadi duduk di jalan sambil nangis kayak anak kecil. Itu bukan kasih sayang, Ran… itu manipulasi.”

Lina, karyawan lain yang juga ikut menyaksikan, menyahut dengan nada kesal.

“Udah gila tuh, Bu Marni. Masa minta uang ke mantan menantu dan bilang tanggung jawab keluarga? Nggak malu apa?”

Reno, salah satu karyawan laki-laki yang biasa sopan, bahkan ikut bersuara.

“Baru kali ini gue lihat orang tua lebih nggak punya malu daripada anak muda. Udah jelas Rani kerja keras, masih aja dibilang sombong. Keterlaluan banget.”

Beberapa karyawan perempuan lain ikut berkomentar sambil tertawa sinis.

“Tadi aku kira ibu-ibu itu mau minta maaf, eh malah ngamuk-ngamuk.”

“Katanya lapar, tapi kok masih kuat drama di jalan.”

“Untung Rani sabar, kalau aku udah aku siram air galon tuh orang.”

Nadia sampai memukul lengannya sambil tertawa kecil,

“Ya ampun, jangan gitu, Lin. Tapi serius, aku juga heran. Kalau aku di posisi Rani dulu, baru seminggu tinggal bareng orang kayak gitu udah minggat.”

Rani tersenyum hambar mendengar mereka.

“Dulu aku nggak punya pilihan, Nad. Aku pikir menikah itu jalan keluar. Ternyata malah jebakan.”

Wulan menggeleng lagi.

“Ibu mertuamu tuh, Ran, bukan cuma jahat, tapi juga nggak tahu malu. Orang waras mana yang nekat duduk di jalan depan pabrik cuma buat minta uang dari mantan menantu?”

Lina menimpali cepat,

“Dan bilang kebutuhan keluarganya tanggung jawab kamu pula. Itu lucu banget, kayak hidupnya numpang di moral orang lain.”

Beberapa karyawan di sekitar mereka tertawa getir.

“Kalau dipikir-pikir, nggak heran sih anaknya kayak Andi. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.”

Rani menunduk, suaranya tenang tapi getir.

“Aku udah terbiasa denger kata-kata mereka, teman-teman. Tapi tadi aku cuma takut satu hal.”

Nadia menatapnya penasaran.

“Takut apa?”

Rani menghela napas.

“Takut kalau aku marah, aku bakal jadi kayak mereka.”

Semua terdiam sesaat.

Wulan akhirnya menepuk pundak Rani pelan.

“Tapi kamu nggak bakal jadi kayak mereka, Ran. Kamu udah buktiin kalau kamu jauh lebih kuat dan berkelas. Lihat aja, yang duduk nangis di jalan bukan kamu.”

Nadia menambahkan dengan senyum bangga.

“Betul. Yang kalah bukan yang nggak punya uang, tapi yang kehilangan harga diri. Dan jelas, Bu Marni tadi kehilangan itu semua di depan orang sekampung.”

Rani hanya menatap ke arah jalan tempat Bu Marni tadi duduk dan berteriak.

Senyumnya tipis, tapi matanya penuh luka yang berusaha ia sembunyikan.

“Kadang Tuhan nunjukin siapa orang sebenarnya, bukan biar aku marah… tapi biar aku berhenti berharap.”

Nadia menggenggam tangan Rani erat,

“Dan sekarang kamu udah di tempat yang benar. Kami semua di sini dukung kamu.”

Suasana yang sempat tegang perlahan mencair jadi hangat—meski di sudut hati Rani, luka lama itu masih terasa perih.

1
Nur Hafidah
kasihan sekali,makanya jadi orangg jangan sombong,jaga ucapan
Nur Hafidah
Bu marni tidak tahu malu
Tini Uje
gila..gila sekalian aja buk marni nya thor kasian juga anak nya 😄..masukin rsj aja bukmar nya
penulis_pena: 🤣 masalahnya RSJ nya penuh 🤣
total 1 replies
Ayudya
terima Rani dari pada ntar kamu di nganggu terus ma nenek lampir🤣🤣🤣🤣
riya chan
Kok aneh ya awalnya si rani nggak ada anak tiba" ada anak aja thor nggak nyambung deh trus si rani nabungnya di kaleng kok tiba" ada di buku tabungan sih sebenarnya yg mana yg benar ,, thor maaf semoga bisa di rev
penulis_pena: 😭kak maaf kayaknya aku lupa deh
total 1 replies
Ayudya
lah emak nya Andi Uda gila tu
Ayudya
hancur hancur deh kamu andy
Aether
awokawok sampai tukang cilok pun kaget
Ayudya
lah mang urat malunya keluarga Andi Uda putus ya
penulis_pena: 😭 keluarga kek gitu gak pernah ada malunya kak
total 1 replies
Ma Em
Semoga Rani selalu bahagia dan Dion benar2 tulus mencintai Rani dan segera kan niat baiknya jgn ditunda tunda .
Ayudya
bahagialah kamu rani
Ma Em
Rani terima saja lamaran Dion dan setelah lepas masa idah bisa langsung nikah .
Sulfia Nuriawati
tenag hdup mu Rani drpd bela cinta batin tersiksa, lbh baik buang cinta beracun jd bs hdup tenang
Ayudya
nikmati kehancuran mu andi
Nur Hafidah
capek bgt punya suami dan mertua yang bisanya nuntut
Ayudya
semangat kak.cerita buat kita bisa belajar akan arti sebuah keluarga
penulis_pena: 🥹huaaa makasih kak 😍
total 1 replies
Ma Em
Semoga Rani semakin sukses serta Andi dan keluarga benalunya semakin terpuruk .
Ma Em
Bagus Rani kenapa tdk dari dulu kamu pergi dari Andi si mokondo dan keluarga benalu , semoga Rani bisa bertemu dgn lelaki yg baik yg tulus mencintai Rani bkn dijadikan ATM berjalan untuk suami dan keluarganya .
AlikaSyahrani
semoga memdapatkan jodo sang bisa menerima kamu apa adanya
bukan ada apanya🤲🤲🤲
Wanita Aries
Semangat membuka lembaran baru rani
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!