NovelToon NovelToon
Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ayusekarrahayu

Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.

Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.

Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35 Perhatian Kecil

Maya duduk lemas di kursinya, menatap pergelangan tangannya yang masih memerah bekas cengkeraman Nadia. “Astaga ya Allah,” gumamnya pelan, “tangan gue bukan dipake mukul malah digencet kayak adonan roti.”

Zahra tersenyum kecil, “Udah tuh, kasih minyak kayu putih aja, siapa tau bisa reda.”

Maya mendelik, “Reda? Ra, ini bukan pegel, ini kayak bekas disetrika low watt! liat nih merahnya bukan main.”

Sinta yang duduk di seberang mereka mendesah, “Udah sabar May, nanti juga ilang. Jangan diomelin terus, bisa-bisa tanganmu baper juga.”

Maya ngelirik dengan ekspresi serius pura-pura dramatis, “Kalo tangan gue baper, gimana Sin? bisa-bisa besok dia mogok nulis. Gue mau makan aja ditinggal, parah lo.”

Dewi langsung terkekeh pelan, “Ih sumpah, lo emang gak bisa diem ya. Barusan dimarahin Kiai, masih aja nyengir.”

Maya tersenyum tipis, “Ya abis gimana, daripada nangis, mending gue ketawain aja hidup gue. Kan kata pepatah, kalau gak bisa lawan badai, minimal joget dikit biar gak kehempas.”

Rara menepuk keningnya, “Kamu nih kocak banget sih, tapi ya lumayan sih suasananya jadi gak tegang.”

Belum sempat mereka lanjut bercanda, suara langkah sepatu terdengar mendekat.

Ustadz Azzam muncul lagi, membawa segelas air putih dan semangkuk air hangat,dan sepotong handuk kecil. Wajahnya masih tenang tapi ada sedikit gurat khawatir. “Maya.”

Maya langsung tegak, hampir menjatuhkan sendok di tangannya. “Iya, Ustadz! saya gak marah lagi kok, udah tobat. Sungguh.”

Ustadz Azzam sedikit menahan senyum melihat tingkahnya. “Saya tahu. Tapi sini, coba liat tangan kamu.”

Maya langsung menyembunyikan tangannya di belakang punggung. “Hah? Tangan saya baik-baik aja kok, Ustadz. Cuma sedikit… hangat aja. Kayak tahu goreng baru diangkat.”

Ustadz Azzam menaikkan satu alis. “Maya.”

Nada suaranya lembut tapi tegas, membuat Maya langsung pasrah. Ia perlahan mengulurkan tangannya.

Begitu dilihat, warna merahnya masih jelas, bahkan ada sedikit bekas jari.

Ustadz Azzam menarik napas panjang. “Ini hasil dari ‘tidak bisa menahan diri’, ya?”

Maya garuk kepala, “Eh… iya sih, tapi bukan saya yang mulai, tangannya Kak Nadia kayak penjepit jemuran raksasa, Ustadz. Saya aja hampir minta tolong ke Allah langsung waktu itu.”

Zahra sampai menahan tawa keras-keras di sampingnya.

Ustadz Azzam memijit pelipis, antara ingin marah namun malah geli. “Maya, kamu tuh… ya Allah. Sudah tahu lagi dimarahin, masih bisa bercanda.”

“Biar gak stress, Ustadz,” Maya nyengir. “Saya tuh orangnya realistis, kalau gak bisa menang debat, ya minimal menang gaya bicara.”

Ustadz Azzam geleng-geleng sambil menyerahkan gelas air putih itu. “Minum dulu."

Maya menatap gelas air putih itu, lalu menerima dengan dua tangan. “Makasih, Ustadz,” ucapnya pelan. Suaranya mendadak berubah lembut, berbeda dari awalnya yang ceplas-ceplos.

Ustadz Azzam duduk di bangku kosong di seberang Maya. Ia merendam handuk kecil itu ke dalam air hangat, lalu memerasnya perlahan. “Sini,” katanya pelan, nada suaranya nyaris seperti bisikan.

Maya tertegun. “Hah? Ustadz mau ngapain?”

“Tenangin tangan kamu,” jawabnya sambil menunduk, menatap merah di pergelangan tangan Maya. “Kalau di diamin nanti malah bengkak.”

Maya gelagapan, pipinya memanas entah kenapa. “E....eh, gak usah repot Ustadz, saya bisa sendiri kok.”

Tapi Azzam sudah lebih dulu meraih tangannya, hanya sebentar, sangat hati-hati. Sentuhan itu ringan, tapi cukup untuk membuat jantung Maya berdetak lebih cepat.

Air hangat dari handuk menyentuh kulitnya, memberikan rasa nyaman yang kontras dengan panas yang tadi terasa.

“Masih sakit?” tanya Azzam tanpa menatap wajahnya.

Maya berusaha menahan degupnya. “Sedikit… tapi udah mendingan.”

Ustadz Azzam mengangguk kecil, lalu akhirnya menatap Maya sekilas. Ada sesuatu di tatapan itu, bukan sekadar perhatian seorang guru, tapi juga kekhawatiran yang lebih dalam, yang sulit dijelaskan.

“Maya,” katanya pelan, “kamu tuh keras kepala, tapi… saya khawatir kalau kamu terus begini, kamu malah nyakitin diri sendiri.”

Maya langsung terpaku. “U-ustadz… khawatir?”

Begitu sadar apa yang baru saja ia ucapkan, Azzam cepat-cepat mengalihkan pandangan, batuk kecil, dan berusaha menormalkan nada suaranya. “Maksud saya...khawatir sebagai pembimbing, ya. Kamu itu santriwati yang… banyak potensi, sayang kalau rusak gara-gara emosi.”

Tapi suaranya sedikit terbata, dan Maya bisa melihat jelas rona samar di wajahnya yang biasanya tenang itu.

Zahra dan yang lain saling lirik sambil pura-pura sibuk mengaduk teh, menahan senyum lebar.

Maya menatap tangannya yang kini dibalut handuk hangat, lalu pelan berkata, “Makasih, Ustadz. Biarpun caranya agak… bikin deg-degan.”

Azzam mengangkat alis, menatapnya dengan bingung. “Deg-degan?”

Maya langsung mengibaskan tangan. “E-enggak! Maksud saya anget, ya, handuknya itu… anget banget. Kayak… hati yang abis dikasih nasihat.”

Azzam menahan senyum, matanya menunduk lagi, tapi ada bayangan tawa kecil di wajahnya. “Kamu ini, Maya… bisa aja ngomongnya.”

Maya cuma nyengir malu, sementara dalam hatinya bergemuruh hebat. Entah karena tangannya sudah gak terlalu sakit… atau karena nada lembut Azzam tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Dan ketika Azzam berdiri hendak pergi, ia sempat menatap Maya sekali lagi, tatapan singkat, tapi cukup membuat Maya menunduk cepat-cepat, pura-pura sibuk menggenggam gelasnya.

“Jangan lupa ke kantor pengurus nanti, ya,” katanya tenang. “Dan jangan terlalu dipikirin… semuanya bisa diselesaikan dengan baik.”

“Siap, Ustadz,” jawab Maya pelan. Tapi begitu Azzam berbalik, Maya menatap punggungnya sambil menahan senyum kecil.

“Eh, Ra,” bisiknya pelan ke Zahra, “kalau Ustadz Azzam ngomong ‘khawatir’ lagi, tolong langsung seret gue ke UKS ya, takut tekanan darah gue naik.”

Zahra nyaris menyemburkan minumannya, sementara Sinta langsung menepuk bahu Maya pelan. “Udah May, tahan dulu baper-nya. Kamu baru juga tobat, jangan relapse.”

Maya nyengir, menatap tangannya yang kini hangat bukan hanya karena handuk… tapi karena satu kalimat kecil yang masih berputar di kepalanya.

“Saya khawatir sama kamu.”

Dan entah kenapa, kata itu terasa lebih menyembuhkan daripada air hangat sekalipun.

......................

Suasana masjid tampak masih ramai, sholat dhuha berjamaah telah selesai dikerjakan. Para santri dan santriwati tampak bersiap menuju kelas masing-masing.

Sementara itu di ruangan tertutup suasana tengah tegang, dari balik meja besar Ustadz Azzam dan beberapa Ustadz dan ustadzah lainnya tampak duduk bersama.

Di depan mereka beberapa santriwati tengah berdiri sembari menunduk. Maya dan Nadia berdiri bersebelahan, sementara Sarah dan dua teman lainnya juga berdiri di sisi mereka.

Ustadzah Amira berdiri di depan mereka semua, tangan terlipat rapi di depan dada. “Baik, semuanya duduk. Kiai Bahar sudah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kami. Jadi tolong jawab dengan jujur dan tenang.”

Maya dan Nadia duduk bersisian. Dari luar, keduanya terlihat tenang. Tapi di bawah meja, Maya memainkan jari-jarinya, sementara Nadia duduk tegak dengan postur anggun khasnya, wajahnya datar tanpa emosi.

Ustadzah Amira menatap ke arah Sarah. “Kamu yang memulai gosip, benar?”

Sarah menelan ludah, “Saya... cuma ngomong apa yang saya dengar, Ustadzah...”

“Dengar dari siapa?” potong Ustadz Azzam pelan, tapi nadanya cukup membuat Sarah menunduk makin dalam.

“E-enggak tau, Ustadz... cuma omongan lewat aja...”

“Omongan lewat bisa jadi fitnah kalau gak jelas sumbernya,” ujar Ustadz Azzam tenang, tapi tajam. “Dan itu dosa.”

Sarah menggigit bibir, wajahnya memucat.

Maya duduk di samping Nadia sambil melirik sekilas. Dalam hati, dia bergumam pelan,

'Heh, baru juga gosip dikit udah keringetan. Kalo gue sih udah biasa difitnah tiap minggu, tinggal nunggu versi gosip terbaru aja.'

Azzam menatap Maya sebentar lalu beralih menatap tangannya, handuk kecil itu masih digenggam oleh Maya. Membuatnya sedikit menahan senyum entah kenapa.

Sementara itu, Nadia tetap diam. Tapi matanya sempat melirik ke arah Azzam, sekejap saja, namun sorotnya jelas bukan sekadar kagum, melainkan... cemburu.

Ustadzah Amira lalu menatap ke arah Nadia. “Nadia, kamu ini senior. Seharusnya bisa jadi penengah, bukan malah ikut memperkeruh suasana.”

Nadia menunduk sopan, suaranya lembut. “Saya paham, Ustadzah. Saya hanya tidak ingin Maya mempermalukan dirinya sendiri. Sebagai senior, saya merasa bertanggung jawab.”

Nada suaranya begitu tenang, tapi Maya bisa mendengar samar, ada getar kecil yang bukan karena takut, tapi... karena menahan sesuatu.

Maya melirik curiga, lalu dalam hati bergumam,

'Ih, kok gaya bicaranya jadi kayak iklan sabun muka, lembut tapi nyelekit, tadi aja kayak orang punya dendam pribadi. Emang dia gak capek apa ngomong sok kalem mulu? '

Ustadz Azzam mengangguk perlahan. “Baik, kalau kamu merasa bertanggung jawab, seharusnya tanggung jawab itu juga mencakup cara menahan emosi.”

“Siap, Ustadz,” jawab Nadia pelan, tapi pandangannya sempat menatap Azzam agak lama. Terlalu lama.

Maya memperhatikan interaksi itu dengan mata menyipit, 'tatapan apaan nih?,Tatapan ala drama Turki itu barusan.'

Ustadzah Amira menarik napas. “Baiklah. Untuk sekarang, kalian semua dapat hukuman masing-masing, nanti setelah kelas semuanya berkumpul di masjid. Dan ingat kalau hal seperti ini terulang lagi, konsekuensinya akan lebih berat. Mengerti?”

“Siap, Ustadzah,” jawab mereka hampir bersamaan.

Namun sebelum mereka bubar, Ustadz Azzam sempat memanggil, “Maya, Nadia, tunggu sebentar.”

Mereka berdua berhenti. Sarah dan teman-temannya buru-buru keluar dengan langkah kecil, takut diminta untuk kembali lagi.

Azzam menatap keduanya, lalu berkata lembut, “Saya harap kalian bisa saling belajar. Maya, kamu belajar menahan diri. Nadia, kamu belajar memahami orang tanpa menghakimi.”

Nadia tersenyum tipis. “Insyaallah, Ustadz.”

Maya juga mengangguk. Tapi begitu Azzam menunduk menulis catatan di mejanya, Maya berbicara pelan, “Ustadz ini handuk tadi, terima kasih atas bantuannya, sekarang tangan saya udah mendingan, jejak merahnya udah menghilang.”

Azzam menatap sekilas, tersenyum tipis ada tatapan canggung dari wajahnya. “Alhamdulillah, kalau sudah membaik. Nanti kompres lagi sampai benar-benar menghilang bekas merahnya.” Ia kembali menulis sesuatu di kertasnya.

Maya mengangguk semangat, "Siap bosss!," tangannya seolah tengah hormat. Membuat Azzam menggeleng kecil,dengan senyum tipis.

Namun di sisi lain, Nadia melirik Maya sekilas, lalu menatap Azzam dengan senyum lembut yang dibuat-buat. “Ustadz memang selalu perhatian pada semua santri-santrinya,” ucapnya pelan, suaranya terdengar manis tapi berlapis makna.

Azzam hanya menanggapi dengan anggukan singkat. “Itu memang kewajiban saya.”

Nadia menunduk, tetap dengan senyum halusnya. Tapi begitu Azzam kembali fokus menulis, matanya berubah dingin sekejap, menatap Maya penuh arti, senyum yang tadi lembut kini menyimpan sesuatu yang lain, seperti peringatan diam-diam.

Maya membalas tatapan itu dengan senyum tipis penuh tantangan. “Iya, Ustadz,” katanya pelan, tapi cukup keras untuk terdengar, “terima kasih ya, udah peduli sama saya... meskipun ada yang mungkin kurang suka.”

Nadia berhenti tersenyum, dagunya menegang halus.

Azzam mendongak, menatap keduanya bergantian tanpa tahu ada ketegangan kecil di balik kata-kata sederhana itu. “Baik, kalian boleh kembali ke kelas.”

Begitu pintu tertutup, Maya berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Pura-pura baik ya, Nad... tapi tenang, gue juga bisa pura-pura gak tahu.”

Dan langkah mereka menjauh dari ruangan itu, dua gadis dengan senyum berbeda makna, dan satu nama di benak mereka yang sama: Ustadz Azzam.

.

.

✨️ Bersambung ✨️

1
Richboy I
semangat ka othor, ditunggu lanjutannya
Ayusekarrahayu: siappp makasihhh kakakk😍
total 1 replies
Hesty
bikin nadia ketauan thoor
Hesty
kalau bisa thoor jangan ada poligami... bikin nadia kena karmanya... dikeluarkandari pesantren
Ayusekarrahayu: siapp kakak masukan diterimaa😍🙏
total 1 replies
Rian Ardiansyah
di tunggu part selanjutnya kak👍
Ayusekarrahayu
Ayooo bacaa di jaminnn seruuu
Rian Ardiansyah
di tunggu kelanjutannya nyaa kak
Tachibana Daisuke
Bikin syantik baca terus, ga sabar nunggu update selanjutnya!
Ayusekarrahayu: sudah up ya kak
total 1 replies
Rian Ardiansyah
wowww amazing
Rian Ardiansyah
ihh keren bngtttt,di tungguu kelanjutan nyaaaa kak😍
Ayusekarrahayu: makasiii😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!