Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.
Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?
Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa mereka?
"Kenapa bisa tahu kalau yang ke sini itu Pak Ardi?"
"Dia adalah pamanku, tapi kita tidak terlalu dekat, selalu ada problem diantara kita apalagi soal karir, mungkin bisa dibilang dia iri."
"Apa sih yang harus diirikan kalau sama kurir?"
"Namanya juga manusia, takut banget kesaingan gitu kan?"
"Tapi lamarannya kamu terima apa enggak?"
"Aku menolak, tapi orang tuaku menerima," jawabku lirih.
Aku mendengar suara embusan napas Alva yang berat.
"Tapi aku tidak cinta, kok!" tambahku.
"Iya, lalu?"
"Ya aku gak mau, aku gak mau sama dia," tangisku pecah dan Alva hanya diam saja, entah dia berpikir atau dia kecewa.
"Mau dilanjut sama dia?" Dia kembali bertanya.
"Enggak mau," jawabku sembari menangis.
"Tapi, Al. Boleh gak aku tahu satu hal tentang Aal?"
"Boleh, apa yang mau ditanyakan?"
"Bisa gak jelaskan dulu siapa Pak Ardi atau bahkan A Alva, terus nanti kasih bukti ke orang tuaku."
"Kenapa ingin tahu?"
"Cepatlah jelasin, kalau engga mau yaudah!" Aku marah tapi tidak ingin dibiarkan.
"Ya sudah aku jelaskan."
Alva pun menjelaskan semuanya dengan rinci tentang Pak Ardi yang ternyata masih saudaranya juga, tetapi tidak ada ikatan saudara dengan uwa-ku.
Begitu mendengar penjelasan Alva, aku begitu terkejut dengan status dan latar belakangnya Pak Ardi, tetapi kenapa bisa semua orang menutupi hal ini? Atau bahkan memang mereka yang di lingkungan sekolah tidak ada yang tahu kecuali keluarganya.
Aku pun semakin yakin dan benar-benar tidak mau hidup bersamanya sekalipun wajahnya dan senyumnya manis, tapi itu semua bisa saja palsu dikarenakan hanya untuk menangkap mangsa.
"Stop stop stop!" Aku menghentikan penjelasannya.
"Kenapa, Neng?"
"Gak mood! Kesel aku jadinya!"
"Kenapa emangnya?" Alva bertanya sambil berseloroh.
"Aal kenapa gak ngomong kalau Aal sudah tahu semuanya, kenapa sih harus pake nanti juga kamu tahu atau ikuti saja nanti juga kamu akan tahu, kenapa gak bilang aja gitu maksudnya apa, kan jadinya gini!"
"Ya kalau dikasih tahu nanti gak seru dong, biarin aja anak bebal dan bandel ini tahu sendiri, kan emang gitu Neng mah orangnya penasaran dan ingin buktikan sendiri kan?"
"Tapi ya gak gitu juga kali!" Aku meninggikan suara membentaknya.
"Ya sudah, terus sekarang mau gimana? Masih mau gak dilamar Aal?"
"Sebenernya Aal sayang sama aku apa enggak sih?"
"Lah, kok nanyanya gitu?"
"Lah, Aal sendiri ngebiarin aku dipermalukan di hadapan semua orang, orang-orang mungkin nganggap aku gila, gak hormat, gak patuh, dan pembangkang!"
Aku langsung menutup teleponnya karena kesal, lama-lama pembicaraannya semakin panas, apalagi ketika pembahasan tadi. Aku merasa seperti dipermainkan juga oleh Alva, sebenernya dia itu suka atau enggak? Lalu kenapa gak bilang aja masalahnya apa sampai dia ngebet ingin menikah?
Alva terus menghubungiku berkali-kali, tapi tidak satu pun panggilan yang aku angkat, dia mengirimkan spam chat meminta maaf, tetapi aku tidak menggubrisnya.
Alva terlalu menyebalkan, kenapa dia bisa setenang itu sampai aku dibiarkan masuk ke dalam perangkap orang lain.
***
Gian menemuiku di kosan setelah dua hari aku pulang, dia duduk bersila di depanku dan siap untuk mendengar ceritaku.
"Jadi gimana kemarin?" tanya Gian.
"Menyebalkan!"
"Apa?"
"Dilamar orang yang gak disukai, bener-bener menyebalkan."
"Dilamar siapa?"
"Pak Ardi!"
Mendengar jawaban dariku, Gian langsung tertawa dengan kerasa seakan meledekku.
"Parah, parah parah parah, bisa-bisanya dia senekad itu ha ha, terus-terus?"
"Apanya sih yang lucu?" tanyaku, tetapi dia masih belum menghentikan tawanya.
Ini anak lumayan menyebalkan juga.
"Gini loh, emang teteh ngelakuin apa sih sampai dia datang?"
"Ya gak tau, mungkin dianya udah tergila-gila kali."
"Bisa aja dia juga baper pas teteh nangis terus di sekolah."
Hmm, iya juga. Aku baru ingat kejadian itu di sini, bukankah sebelum aku pulang di sekolah mengadakan perpisahan dan aku menangis, dan di sana orang-orang mengira aku menangisi Pak Ardi. Bisa aja Pak Ardi kegeeran ternyata.
"Hmm, gak tau juga. Tapi, mana mungkin juga. Secara acara perpisahan itu kan baru kemarin, sedangkan Pak Ardi sudah lebih dulu menghubungi orang tuaku."
"Emh iya, ya. Terus darimana mereka kenal dan tau rumah teteh?"
"Dia masih saudaranya uwa teteh."
"Oh gitu, sistem ordal gitu, ya."
"Huum."
"Tahu latar belakangnya dia?"
"Belum, tapi aku tahu sebagian dari Alva."
"Kok bisa, terus Kak Alva?"
Aku pun menjelaskannya secara rinci dari mulai aku menghubungi Alva sampai merajuk, bahkan Alva pun sudah mau nekad datang ke rumah, tetapi aku masih belum mau Alva tahu tentang aku. Aku takut dia minder dan berlabuh ke hati orang lain.
"Jadi, sekarang gimana teteh sama Alva?"
"Ya masih berlanjut seperti biasanya."
"Teteh cinta banget sama Alva?"
"Gak tahu, tapi rasanya gak mau kehilangan dia."
"Adakah ruang untuk orang lain di hati teteh?"
"Gak tahu juga."
"Kalau misal ada orang lain yang dulu teteh cintai tapi tidak kesampaian terus tiba-tiba datang melamar teteh bagaimana?"
"Tolak aja lah, kan itu dulu."
"Yakin?"
"Kenapa kamu ngomongnya gitu, bukannya nenangin malah nambahin pusing," omelku pada Gian marah-marah, mana lapar pula akunya.
"Lapar teh?" tanyanya membuat aku menatap sinis, dia selalu tahu apa yang ada di pikiranku dan isi hatiku, walaupun tidak semuanya mungkin.
"Peka dikit napa!"
"Lah, aku sudah peka teteh," ungkapnya menekan sampai giginya terlihat berjajar rapi.
"Apa peka apa?"
"Yaudah, bentar." Dia membuka tas sambil merogohnya.
"Ini!" Di menyodorkan misting—kotak nasi berwarna merah kepadaku.
"Apa ini?"
"Kalau wadahnya begini pasti tahulah isinya apa. Aku tadi pulang sekolah langsung pulang dulu ke rumah buat ambil ini terus ke sini tanpa ganti baju."
"Segitunya?"
"Ya iya atuh teteh, bukan gak peka dari tadi akunya aja lupa mau ngasih langsungnya, takut udah makan gitu."
"Kan tetehnya aja baru nyampe."
"Ya sudah makan."
"Gak mau, maunya tadi."
"Kok rese banget, sih."
"Makan sekaranglah!"
"Gak mau, pengennya tadi. Sekarang mah pengen keluar, makannya di luar," ucapku sengaja bercanda dengan Gian, maksud hati ingin tahu bagaimana reaksi Gian jika aku semenyebalkan ini.
"Ya sudah, ayo! Mau makan di mana tetehnya?" Dia beranjak dari tempat duduknya dan keluar.
"Eeeh, tunggu. Di sini aja di sini, hehe. Bercanda aja tadi." Aku menghentikan Alva sampai berlari keluar sambil tertawa.
"Lah, apaan sih kok gitu. Serius ini."
"Engga kok, mau makan yang sehat aja ini."
Brum brum brum!"
Suara motor datang ke arah sini, aku menghentikan langkah untuk kembali masuk ke dalam karena ingin tahu siapa yang datang.
"Alva? Ada apa dia datang ke sini, aku kan gak pesan paket."