Alur cerita ringan...
Dan novel ini berisi beberapa cerita dengan karakter yang berbeda-beda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arran Lim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Hari-hari terus berlalu dengan berat.
Keluarga Nicholas akhirnya benar-benar memutuskan segala bentuk hubungan kekeluargaan dengan keluarga Angelina. Tak hanya mereka, para kerabat lainnya pun ikut menjauh. Tak ada seorang pun yang mau lagi terikat dengan keluarga yang anaknya tega ingin membunuh orang lain hanya karena obsesi.
Orang tua Angelina pun merasakan imbasnya. Mereka dikucilkan, dipandang hina, bahkan dijauhi tetangga. Akhirnya mereka memutuskan pindah dari Jakarta, memilih hidup menyendiri jauh dari keramaian. Hanya sesekali saja mereka datang kembali ke Jakarta, itu pun untuk menjenguk Angelina di penjara.
Sementara itu, keluarga Aditama masih menjalani hari-hari penuh duka. Putri satu-satunya, Anna, belum juga membuka mata dari koma panjangnya. Nicholas pun ikut menanggung pilu yang sama. Setiap hari terasa hampa, seakan waktu berhenti menunggu Anna kembali membuka mata.
Pukul 09.00 malam
Lampu-lampu gedung perkantoran mulai redup satu per satu, tapi di ruangan kerja Nicholas, cahaya lampu masih terang benderang. Lelaki itu duduk di balik meja kerjanya, menatap layar komputer yang penuh laporan.
Sudah beberapa bulan terakhir, ia sengaja membenamkan diri dalam pekerjaan. Baginya, hanya dengan begitu pikirannya bisa sedikit teralihkan. Namun, setiap kali selesai mengetik, wajah Anna selalu kembali hadir di pelupuk matanya—mengingatkan bahwa sekeras apa pun ia berusaha, hatinya tetap hampa tanpa sang kekasih.
Tiba-tiba ponselnya berdering kencang, memecah kesunyian. Nicholas terlonjak kaget. Ia meraih ponselnya dan melihat nama Jason terpampang di layar. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengangkatnya.
“Halo, Jee?” suara Nicholas terdengar lelah.
Namun di seberang sana, suara Jason justru bergetar namun penuh haru.
“Nich... Anna sadar, Nich. Adek gue sadar!”
DEG!
Nicholas terpaku. Kata-kata itu seakan menghantam jantungnya langsung. Sesaat ia tak mampu berkata apa-apa. Namun hanya butuh beberapa detik, ia langsung berdiri terburu-buru, meraih barang-barang penting, lalu berlari keluar dari ruangannya.
“Sayaang... Baby...” batin Nicholas, matanya berkaca-kaca.
Tangannya bergetar saat menyalakan mesin mobil, air matanya jatuh begitu saja. Rasa haru menyeruak, membanjiri dadanya. Semua rasa—sedih, lega, bahagia—bercampur menjadi satu.
Malam itu, Nicholas hanya punya satu tujuan: menemui Anna. Menatap langsung mata kekasihnya yang akhirnya kembali dari kegelapan panjang.
********
Sesampainya di rumah sakit, langkah Nicholas terhenti sejenak ketika matanya menangkap sosok Mami Tania, Papi Aditama, dan Jason yang berdiri di depan ruang rawat Anna. Ketiganya tampak dengan wajah penuh air mata, tetapi senyuman haru tetap merekah di bibir mereka.
Begitu mendengar derap kaki tergesa mendekat, mereka serempak menoleh.
“Nich...” suara Jason lirih, diiringi senyum yang bergetar meski air matanya tak berhenti jatuh.
“Anna gimana?” tanya Nicholas cepat, nadanya terburu-buru, seolah tak sanggup lagi menahan gejolak dalam dadanya.
“Dokter masih periksa. Kita belum boleh masuk dulu, harus nunggu sekitar tiga jam atau lebih,” jawab Jason dengan suara bergetar. Matanya yang sembab menatap Nicholas penuh makna. “Tapi... gue lihat sendiri, mata Anna... mata adek gue itu terbuka, Nich.” Tangis Jason pecah lagi, kali ini bercampur bahagia.
Mendengar itu, dada Nicholas seolah diremas. Isak haru langsung menyeruak, membuat tenggorokannya tercekat. Ia melangkah maju, mendekat ke pintu kaca yang memisahkan mereka dari Anna.
Dari balik kaca bening itu, matanya menangkap sosok perempuan yang begitu ia cintai, terbaring lemah dengan tubuh yang masih dipenuhi selang dan kabel medis. Dokter tengah memeriksa, memastikan kondisi Anna, tetapi perhatian Nicholas hanya tertuju pada satu hal—mata indah itu.
Mata yang selama enam bulan tertutup rapat, kini mulai terbuka, meski hanya sedikit, berkedip pelan seakan berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitarnya.
Hati Nicholas seketika menghangat, air matanya kembali mengalir dengan derasnya. “Sayang... aku di sini,” batinnya lirih. “Makasih... makasih udah bertahan sejauh ini.”
Kali ini air matanya jatuh, bukan lagi karena kesedihan, melainkan karena rasa syukur dan bahagia yang begitu dalam.