"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Riko terdiam sejenak, lalu perlahan berbalik menghadap Doni.
"Apa syaratnya?" tanyanya, menatap tajam ke arah pria itu.
Doni menatap balik tanpa gentar.
"Lepaskan Melati. Serahkan dia padaku," ucapnya datar.
Bughh!
Tanpa pikir panjang, Riko langsung melayangkan pukulan ke wajah Doni.
“Dasar bajingan! Itu anakmu! Kenapa kamu malah memberi syarat?” teriak Riko penuh amarah.
“Niatmu menyelamatkan nyawa Melati pakai syarat? Berarti kamu punya niat buruk terhadap anak itu! Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi!” ucap Riko dengan nada tajam, penuh emosi.
“Riko, golongan darah aku juga AB,” ucap seseorang dari belakang.
Riko menoleh cepat ke arah suara itu. Ternyata Ferdi—mantan mertuanya—berdiri di sana.
“Pak... ayo cepat! Selamatkan cucu Anda!” seru Riko dengan nada panik dan penuh harap.
“Lepaskan Melati. Serahkan dia padaku,” ucap Ferdi, dengan kata-kata yang terdengar persis seperti Doni.
Riko menatapnya dengan mata membelalak. Amarahnya meledak.
“Dasar brengsek! Kamu kakeknya, Ferdi! Setega itu kamu mempermainkan nyawa cucumu sendiri!” teriak Riko, suaranya bergetar karena emosi.
Ferdi menatap Riko tanpa ekspresi, dingin.
“Sudahlah... lepaskan Melati. Toh dia juga bukan darah dagingmu,” ucapnya datar.
Seandainya mereka mendonorkan darah terlebih dahulu untuk Melati, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menyerahkan Melati kepada mereka.
Tapi ini? Mereka justru memberi syarat sebelum donor. Jelas ada niat buruk di balik semua ini, pikir Riko
Tidak akan!" teriak Doni.
"Percaya atau tidak, kamu tidak akan pernah mendapatkan pendonor," ancam Ferdi dengan dingin.
"Kamu gila! Artinya... kamu rela Melati mati?" ucap Riko, matanya membelalak tak percaya.
"Dasar kejam! Hidupmu tidak akan pernah bahagia!" lanjut Riko, suaranya penuh amarah, mengumpat dengan napas memburu.
Kemudian Riko berlari. Ia terus bertanya kepada setiap orang, mencari siapa saja yang memiliki golongan darah AB.
Namun hari itu, dunia seolah tak berpihak padanya.
Langkahnya terhenti di depan musala. Ia menghela napas panjang, matanya menerawang, seolah berharap keajaiban turun dari langit.
Riko melangkah menuju tempat wudu. Dengan gerakan perlahan, ia membasuh wajah dan anggota tubuhnya, mencoba menenangkan diri.
Setelah itu, ia masuk ke dalam musala, lalu menunaikan salat dua rakaat. Dalam sujudnya, ia memohon pertolongan dengan sepenuh hati—memohon keajaiban untuk menyelamatkan Melati.
Doanya lirih, tapi penuh harap.
Hatinya yang semula gelisah kini terasa lebih tenang.
Setelah salam terakhir, Riko menghela napas panjang, lalu bangkit dan keluar dari musala dengan langkah mantap.
“Mas...” ucap seseorang dari belakang.
Riko menoleh. Ternyata perempuan berjilbab yang ia tolong tadi pagi.
“Maaf, Dek... aku sedang buru-buru,” ucap Riko cepat.
“Memangnya ada apa, Mas?” tanya perempuan itu heran.
“Anakku kecelakaan. Sekarang dia butuh darah AB. Tapi tak ada seorang pun yang mau menyumbang,” jawab Riko dengan wajah gusar dan panik.
Perempuan itu menatapnya serius.
“Aku golongan darah AB, Mas. Ambil darahku... cepat!”
Riko menatap perempuan itu dengan mata membelalak, seolah tak percaya.
“Benarkah?” tanyanya, suaranya bergetar, ingin memastikan.
“Iya... ayo, Mas. Kita tidak punya banyak waktu,” ucap perempuan itu tegas namun lembut, mengingatkan.
Riko mengangguk cepat, matanya mulai basah.
“Terima kasih...” ucapnya lirih, penuh haru.
Riko dan perempuan berjilbab itu setengah berlari melintasi lorong rumah sakit. Napas mereka tersengal, namun langkah tak berhenti. Setibanya di ruang IGD, Riko langsung menghampiri petugas.
“Dia... dia punya golongan darah AB! Tolong, anak saya butuh darahnya sekarang!” ucap Riko tergesa, menunjuk perempuan di sampingnya.
Petugas segera memanggil perawat.
“Nama lengkap, Bu?” tanya perawat cepat.
“Melisa... Melisa Fatmawati,” jawabnya sambil mengatur napas.
Melisa langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Seorang perawat memeriksa tekanan darah dan mengambil sampel darah kecil dari ujung jarinya.
“Sehat, cocok. Siapkan ruang transfusi,” ucap perawat itu pada rekannya.
Beberapa menit kemudian, Melisa sudah berbaring di ranjang transfusi. Selang tipis mengalir dari lengannya ke kantong darah.
Wajah Melisa tenang, meski pucat. Ia tersenyum tipis ke arah Riko.
“Semoga Melati selamat, Mas,” bisiknya lirih.
Riko menunduk, air matanya jatuh diam-diam.
Riko dan Melisa duduk di ruang tunggu operasi, dinding putih di sekeliling mereka terasa makin menyesakkan. Riko tidak bisa diam. Ia berjalan mondar-mandir, matanya terus menatap ke arah pintu ruang operasi yang belum juga terbuka.
Melisa memperhatikan gerak-geriknya dengan tenang. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan sebuah tasbih dari dalam tasnya.
“Mas, ini...” ucap Melisa sambil menyodorkan tasbih.
Riko memandang benda itu, sempat ragu.
“Lebih baik duduk dan banyak berdzikir, daripada mondar-mandir menghalangi orang lewat,” lanjut Melisa, suaranya lembut tapi tegas.
Riko menghela napas berat. Ia menatap Melisa. Wajah muda itu terlihat teduh dan anggun, mungkin usianya belum genap dua puluh tahun. Sedangkan dirinya... sebentar lagi tiga puluh.
Perlahan, Riko duduk. Ia mulai memutar-mutar tasbih di tangannya. Hatinya perlahan terasa lebih tenang.
Setiap detik terasa lebih lambat bagi Riko. Jam dinding tak bersuara, tapi detaknya menghantam dada.
Tiba-tiba, lampu merah di atas ruang operasi berubah hijau—tanda operasi telah selesai.
Riko menelan ludah, tubuhnya menegang.
Menanti dokter keluar terasa lebih mencekam daripada apa pun. Bibirnya terus bergetar, melafalkan dzikir, berharap yang terbaik untuk Melati.
Melisa duduk di sampingnya, memperhatikan dengan tenang. Ia memegang tasbih di tangannya, lalu menoleh ke arah Riko.
“Perbanyak doa, Mas. Tenang saja… Allah tidak tidur,” ucapnya pelan, tapi penuh keyakinan.
Riko hanya mengangguk. Matanya tak berkedip menatap pintu operasi, seperti menanti hidup dan matinya sendiri.
Riko memandang Melisa. Wajah gadis itu terlihat jauh lebih tenang daripada usianya yang masih muda. Riko mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri.
Beberapa menit kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar, masih mengenakan pakaian khusus operasi dan masker menutupi separuh wajahnya.
“Siapa keluarga pasien atas nama Melati?” tanyanya lantang.
Riko ingin berdiri, tapi kakinya terasa lemas. Ia hanya menatap kosong. Melisa cepat tanggap, segera berdiri dan mengangkat tangan.
“Saya, Dok... saya keluarganya,” jawab Melisa tegas, meski agak ragu.
Dokter mengangguk singkat. “Syukurlah. Anak Ibu selamat. Sekarang tinggal masa pemulihan.”
Melisa tersenyum canggung. Dalam hati, ia membatin, menikah saja belum... sekarang malah dipanggil Ibu anak kecil.
Di belakangnya, Riko tertawa kecil dalam air mata haru. Dunia rasanya baru saja diselamatkan.
Begitu dokter pergi, Riko langsung bersimpuh dan bersujud syukur di lantai ruang tunggu. Air matanya jatuh tanpa suara, beban yang menghimpit dadanya selama berjam-jam terasa hilang seketika.
“Alhamdulillah... terima kasih, Ya Allah,” gumamnya lirih.
Ia bangkit perlahan, lalu menatap ke arah dokter yang baru saja memberinya kabar bahagia.
“Terima kasih, Dok,” ucap Riko tulus, suaranya masih bergetar.
Dokter mengangguk sambil membuka maskernya.
“Pasien belum sadar karena pengaruh obat bius. Tunggu beberapa jam lagi, ya.”
“Baik, Dok,” jawab Riko pelan namun lega.
Di sampingnya, Melisa hanya tersenyum, ikut mengusap air mata haru yang tiba-tiba ikut mengalir. Ruang tunggu itu, yang semula dipenuhi ketegangan, kini mulai dipenuhi rasa syukur.