"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 | PENUNTASAN BAGIANKU
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
…
Papa baru saja beranjak dari kursinya, hendak membantu hidangkan daging hasil panggangan Mama, tapi seruanku lantas mendudukkan Papa kembali pada kursinya.
Mama juga lekas menyusul, meletakkan dua piring daging di atas meja lipat dan duduk di samping Papa, dengan mereka serius mengamatiku.
“Um ….” Keningku mengernyit bingung dengan reaksi kedua orang tuaku ini.
“Kenapa – Mama dan Papa terlihat begitu serius?”
“Iya, dong. Soalnya tumben Kakak ada yang mau ditanyakan. Biasanya semua Kakak cari tahu sendiri.”
Begitu kata Mama, dan aku hanya mengerjap. Benarkah?
“Kakak mau tanya apa, nih? Papa punya semua jawabannya,” Papa ikut menyahut.
Aku menyengir gaguk dan menyisir asal rambutku yang sepertinya mulai panjang. “Cuma ingin tahu saja, sih. Bagaimana, ya, memunculkan tulisan yang hilang dari kertas, Ma, Pa?”
“Maksud Kakak seperti tulisan rahasia?” tanya Mama, dan aku mengangguk kecil.
“Yah, kalau itu, biasa ditulisnya dengan air perasan lemon. Tinggal disetrika saja, tapi jangan sampai terbakar, nanti tulisannya akan muncul berwarna cokelat,” Mama menerangkan.
“Kenapa, Kak? Memang ada pesan rahasia yang mau Kakak Baca?” Memang Papa si paling ingin tahu.
“Hm, jangan-jangan surat cinta tersirat dari si itu, ya?” tebak Mama sembarangan.
Pipiku memanas, segera kugelengkan kepalaku puluhan kali. Sambil terbata-bata aku membalas, “M – Mama jangan bicara yang aneh-aneh, deh. Bukan itu! Ada praktek Biologi, Ma.”
“Loh, kapan? Bukannya Kakak lusa sudah ujian?”
Oh, benar juga. Sial. Otakku terlambat berproses.
“Mana tahu nanti muncul pertanyaannya di soal ujian.” Sudah terlanjur basah, kukarang saja lah sampai titik darah penghabisan. Untungnya, Mama hanya mengangguk, tak terlalu memusingkan.
“Tapi, Ma, Pa … Mama dan Papa tahu tidak, kenapa kertas yang awalnya ada tulisan, tiba-tiba tulisannya menghilang dalam sekejap?”
“Menghilang dalam sekejap? Itu tidak mungkin, sih,” kata Papa.
Mama mengangguk setuju, “tidak mungkin, kecuali seseorang sengaja menghilangkannya.”
“Mungkin ada teman Kakak yang usil dan menghilangkan tulisan itu saat kalian sedang melihat kertas yang Kakak maksud,” balas Papa lagi.
Telunjukku mengusap dagu, kembali kusandarkan tubuh ke kepala kursi, “begitu, ya?”
∞
pembahasan tentang tulisan tak kasat itu pun berakhir, berganti membahas hal lain, misalnya seperti membicarakan perkembangan kekuatan adikku, dan lain sebagainya.
Sementara aku? Diam-diam masih menekuni pembahasan yang pertama.
Aku dan Zofan, kan, menganalisis kertas itu di kafe. Jika memang disengaja, siapa yang berkemungkinan menghilangkan tulisannya? Dan kenapa?
Apa kerjaan usil dari salah satu di antara teman-temanku dan Zofan? Tapi, bukan kah tidak ada yang memiliki kemampuan itu di antara kami? Aku, Zofan, Nero, Bian, Cika, … Klara?
Apa mungkin, Klara?
Hanya Klara yang belum kuketahui kekuatannya.
Oh, sebentar? Kata Nero, Klara memiliki kekuatan yang sama dengannya, pengendali tumbuhan.
Lagipula, saat membuka gulungan kertas kedua, Klara sudah pulang, kan?
Berarti, bukan Klara?
“Ah, pusing!” seruku sambil menekan kepalaku dengan kedua telapak tangan.
Keluhan yang tak sengaja kusuarakan mengundang kepanikan dan kekhawatiran dari kedua orang tuaku. Mama dan Papa yang sedang asik berbincang sambil mencomot daging panggang otomatis menghentikan kegiatan mereka.
“Kenapa, Kakak? Ada yang sakit?”
Aku mengerlip singkat, kemudian kulambaikan kedua tangan sebagai jawaban. “Tidak, Ma.”
“Kakak kembali ke kamar saja, deh. Tak apa. Biar istirahat dulu di atas, ya?” tawar Mama. Papa setuju-setuju saja kalau sudah Mama yang bicara, tapi aku yang merasa tidak enak.
Terlebih lagi, aku belum mencicipi daging panggang hasil racikan bumbu Mama, padahal sudah berkali-kali ditegur dan ditawari.
“Nih, nih. Sudah Papa pisahkan satu piring daging panggang untuk Kakak. Bawa saja ke kamar.” Bagai mengerti isi hatiku, Papa berujar demikian sambil menyodorkan sepiring penuh daging panggang.
Kurasa mataku sangat berkilauan sekarang, mengalahkan bintang-bintang malam.
Dengan cepat aku berdiri sambil bersikap iseng, membungkuk untuk mengambil piring yang Papa sodorkan – sudah seperti petugas yang menerima piagam penghargaan.
“Terima kasih, Pa, Ma! Kakak kembali ke kamar dulu!” pamitku, tak lupa meninggalkan jejak kasih sayang di kedua pipi Mama dan Papa, sepasang kecupan ringan.
“Iya, iya, sudah pergi sana. Sebelum adikmu komplain.”
Papa tertawa mendengar Mama, kemudian menepuk pelan punggungku, “segera selesaikan masalah Kakak, ya. Jangan sampai mengganggu ujian nanti.”
“Siap, Pa!”
Adikku sudah ancang-ancang melayangkan protes, dan Papa dengan sengaja, jahil, menutup kedua mata adikku. “Kakak curang!” pekik adikku sambil berusaha menyingkirkan tangan papa dari wajahnya.
Aku cekikikan dan berlari memasuki rumah. Oke, akan kutuntaskan tanggung jawabku yang masih tersisa pada urusan Zofan. Bagaimana pun caranya, harus selesai malam ini.
∞
Pikiranku terus berputar seirama kakiku yang berangsur-angsur menaiki tiap anak tangga. Tanganku yang berpegangan pada susur tangga pun ikut mengetuk-ketuk ujung jemari di sana.
Apa saja yang perlu aku lakukan untuk mengakhiri semuanya dengan jelas?
Pintu kamar kubuka, dan kakiku kembali melangkah. Kali ini kubawa diri mendekati kasur di mana kucampakkan ponselku tadi sore, tentu tanpa lupa menutup kembali pintu kamar.
Setelah kusempatkan diri meletakkan piring daging panggang pada nakas, segera kubaringkan tubuhku di atas ranjang dengan tangan yang sudah lebih dulu menyambar ponsel ke dalam genggaman.
Gigiku menggertak-gertak samar, kembali memikirkan sebuah rencana. Aku akan hubungi Zofan, itu urutan pertama dalam rencana. Masalahnya, bagaimana aku meneleponnya tanpa didengar Mama?
Sudah lah, awali dengan pesan biasa saja dulu. Semoga cukup.
Kupandangi dulu jam yang tertera di pojok kanan layar ponsel, kemudian baru kubuka aplikasi pesan dan mulai mengetik beberapa kalimat setelah membuka kotak pesan yang terhubung dengan Zofan: “Ayo selesaikan semuanya malam ini.”
Pesan terkirim.
Ting.
Tak sampai lima menit, Zofan sudah membalas pesanku.
Zfn Angktn : “Bagaimana caranya?”
Dan misi kembali dijalankan. Aksi kali ini kuberi judul: Penuntasan.
Aku : “Apa tulisan di kertas kedua itu sudah muncul lagi?”
Zfn Angktn : “Kutelepon, ya? Aku malas mengetik.”
Aku : “Tidak bisa, nanti orang tuaku dengar.”
Jeda beberapa saat sebelum notifikasi pesan masuk kembali terdengar.
Zfn Angktn : “Merepotkan.”
Sialan. Aku pun malas berlama-lama denganmu, bocah!
Zfn Angktn : “Masih belum muncul. Aku bingung harus bagaimana mengembalikan tulisannya.”
Aku : “Kau sudah coba cari tahu? Seperti menyetrika kertas itu misalnya?”
Zfn Angktn : “Sudah. Aku sudah coba segala cara, mengikuti petunjuk yang kudapat dari internet.”
Aku : “Aku menemukan salah satu penyebab yang paling memungkinkan.”
Zfn Angktn : “Apa? Cepat beri tahu aku.”
Aku : “Tapi kurasa akan memakan waktu, karena kau harus cari tahu dalangnya dulu. Tapi ingat, aku hanya bisa bantu sampai di sini saja. Setelahnya, aku angkat tangan.”
Zfn Angktn : “Mana bisa begitu! Bagaimana aku akan menyelesaikan soal-soal di kertas kedua itu kalau tulisannya sudah kembali?”
Aku : “Kan sudah ada panduan dari kertas pertama yang kubereskan!”
Zfn Angktn : “Bagaimana kalau isinya berbeda?”
Aku : “Kalau memang begitu …”
...
Bersambung