Ketua OSIS yang baik hati, lemah lembut, anggun, dan selalu patuh dengan peraturan (X)
Ketua OSIS yang cantik, seksi, liar, gemar dugem, suka mabuk, hingga main cowok (✓)
Itulah Naresha Ardhani Renaya. Di balik reputasi baiknya sebagai seorang ketua OSIS, dirinya memiliki kehidupan yang sangat tidak biasa. Dunia malam, aroma alkohol, hingga genggaman serta pelukan para cowok menjadi kesenangan tersendiri bagi dirinya.
Akan tetapi, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat dirinya harus dipaksa menikah dengan Kaizen Wiratma Atmaja—ketua geng motor dan juga musuh terbesarnya saat sedang berada di lingkungan sekolah.
Akankah pernikahan itu menjadi jalan kehancuran untuk keduanya ... Atau justru penyelamat bagi hidup Naresha yang sudah terlalu liar dan sangat sulit untuk dikendalikan? Dan juga, apakah keduanya akan bisa saling mencintai ke depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Kakek-Nenek Naresha
Happy reading guys :)
•••
“Gila, beneran lengkap banget … bahkan para sepupu yang biasanya jarang banget buat ikut kumpul ada di sini … sepenasaran itu, kah, mereka sama pernikahanku.”
Naresha mengeratkan pelukan pada lengan kanan Kaizen, saat melihat semua anggota keluarga besarnya telah berkumpul di ruangan tengah rumah sambil asyik mengobrol serta tertawa secara bersama-sama. Ia menggigit bibir bawah cukup kencang—entah kenapa merasa sedikit gugup serta deg-degan ketika melihat hal itu—padahal dari dulu dirinya biasa saja bila harus terjebak di pertemuan keluarga besar.
Kaizen sedikit mengerutkan kening ketika merasakan pelukan Naresha semakin bertambah erat. Ia sedikit menundukkan kepala, melirik ke arah Naresha melalui sudut matanya sebelum membuka suara dengan begitu sangat pelan.
“Lu gugup?” tanya Kaizen, menghentikan langkah kaki di ambang pintu masuk ruangan tengah rumah.
“Sedikit … Gue nggak terlalu terbiasa sama beberapa orang … soalnya mereka dulu nggak pernah ikut kumpul kalau soal pertemuan keluarga besar kayak gini,” jelas Naresha, suaranya tidak kalah pelannya, sembari mata indahnya masih terus melihat ke arah beberapa saudara sepupu yang tengah asyik di dalam ruangan tengah sana.
Kaizen hanya mengangguk-angguk kepala pelan sebagai respons, tidak ingin melanjutkan obrolan yang kemungkinan besar akan membuat suasana hati Naresha semakin bertambah buruk.
Beberapa menit berlalu, Naresha dan Kaizen spontan mengalihkan pandangan ke arah tempat sofa berada ketika tiba-tiba saja mendengar suara Gayatri memanggil nama mereka dengan begitu sangat bersemangat.
“Eh … anak-anak kesayangan Mama ternyata udah datang,” kata Gayatri dengan penuh semangat, bangun dari atas tempat duduknya, lantas berjalan mendekati tempat Naresha dan Kaizen berada sambil mengukir senyuman manis penuh kebahagiaan.
Naresha dan Kaizen refleks mengukir senyuman manis—senyuman yang mereka buat dengan kepura-puraan—ketika melihat para anggota keluarga besar mulai mengalihkan pandangan ke arah mereka dengan waktu sangat lama.
“Dimulai sekarang, Kai,” bisik Naresha, sedikit mencubit lengan kanan Kaizen yang sedang dirinya peluk untuk memberikan kode kepada suaminya itu.
Kaizen mengangguk paham. “Oke.”
Gayatri menghentikan langkah kaki tepat di hadapan Naresha dan Kaizen, kemudian menggerakkan tangan untuk memberikan elusan lembut di pipi putih kedua anaknya itu. “Kalian berdua semakin serasi dan mesra aja, ya … Mama bangga banget sama senang banget.”
Naresha sedikit merekahkan senyumannya, menyandarkan kepala di lengan Kaizen sebelum mulai membuka suara. “Iya, Ma … soalnya aku sekarang udah mulai belajar buat jadi istri yang baik buat Kaizen. Walaupun kadang masih suka keras kepala, sih.”
Kaizen sedikit menundukkan kepala, lantas memberikan beberapa ciuman di puncak kepala Naresha. “Itu justru yang bikin kamu unik, Sayang … Aku malah suka sama sifat keras kepala kamu itu.”
Gayatri merekahkan senyumannya saat melihat keromantisan yang sedang ditunjukkan oleh Naresha dan Kaizen. Di dalam hati dirinya benar-benar mengucapkan rasa syukur serta terima kasih kepada sang pencipta, karena telah membantu kedua anaknya itu bisa saling mencintai setelah menjalin pernikahan yang sebenarnya tidak mereka berdua harapkan.
“Syukurlah … Mama senang dengarnya.” Gayatri menurunkan kedua tangan dari wajah Naresha dan Kaizen, kemudian menoleh ke belakang beberapa saat—menatap para anggota keluarga besar yang masih melihat ke arah kedua anaknya—sebelum kembali membuka suara. “Ayo, ikut Mama … semuanya udah nungguin kalian … Mereka nggak sabar mau lihat suamimu yang ganteng ini, Sayang.”
Naresha dan Kaizen mengangguk pelan sebagai jawaban, lalu mulai berjalan mengikuti langkah kaki Gayatri dari arah belakang. Mereka berdua beberapa kali berbisik kecil di setiap langkah yang diambil, menyusun beberapa skenario yang kemungkinan besar akan dilakukan di depan keluarga besar Naresha.
“Kalau mereka tanya apa-apa … jawab seperlunya aja. Jangan macem-macem, Kai,” bisik Naresha penuh akan ancaman, setelah berdiskusi tentang skenario.
Kaizen mengukir senyuman samar, sambil menatap ke arah para sepupu Naresha yang terlihat sedang berbisik ria. “Lu tenang aja … gue pastiin malam ini mereka kagum sama kita berdua.”
Gayatri menghentikan langkah kaki tepat di hadapan sepasang suami-isteri paruh baya, mengalihkan pandangan ke arah belakang sejenak, kemudian menyentuh punggung Kaizen dan Naresha dengan penuh rasa bangga. “Ibu, Bapak … ini Kaizen … suami cucu kalian.”
Bapak dan Ibu Ardhan—pasangan berwibawa dengan raut wajah yang masih menyimpan garis keras khas bangsawan Jawa—seketika mengalihkan pandangan ke arah Kaizen dan Naresha, sembari sedikit mengukir senyuman tipis penuh rasa sopan di wajah masing-masing.
Kaizen dengan sangat tenang menundukkan kepala, meriah tangan kanan sepasang suami-isteri itu dan mulai menciuminya dengan penuh rasa hormat. “Assalamualaikum, Kakek … Nenek … saya Kaizen Wiratma Atmaja … suami dari cucu kalian yang paling cantik.”
Ayahanda dari Ardhan seketika sedikit merekahkan senyuman tipis di wajahnya, sembari mengangguk-anggukkan kepala dan menatap ke arah Kaizen. “Waalaikumsalam … bagus, bagus … sopan sekali kamu, Anak Muda.”
Ibunda dari Ardhan sedikit mulai merubah senyumannya menjadi penuh kehangatan—meskipun masih ada sorot mata tajam khas seorang wanita bangsawan tua yang tengah memberikan penilaian—sebelum bergerak memberikan tepukan lembut di lengan kanan Kaizen. “Pantes aja Ardhan sama Gayatri bangga dan rela ngelepas anak semata wayang mereka … ternyata cucu baru Nenek ini benar-benar tahu tata krama, tapi … muka kamu kenapa? Banyak banget perban sama plester luka.”
Kaizen spontan terkekeh kecil, berusaha sedikit mencairkan suasana meskipun pertanyaan dari nenek Naresha itu terasa menusuk. Ia sempat melirik sekilas ke arah Naresha—yang langsung menegakkan tubuh, seolah takut kalau dirinya salah memberikan jawaban.
“Oh … ini, Nek? Kebetulan kemarin saya jatuh waktu lagi latihan basket sama teman-teman … jadi sedikit lecet. Nggak perlu khawatir, cuma luka kecil aja, kok … nggak sakit sama sekali,” jawab Kaizen dengan sangat tenang, sembari merendahkan suaranya agar terdengar sangat lembut dan tulus.
Naresha dengan sangat cepat menambahkan, seraya mengangguk mantap agar memperkuat alibi dari Kaizen. “Iya, Nek … Kaizen memang orangnya aktif banget … suka olahraga. Jadi, kadang dia nggak sadar kalau udah kebawa terlalu semangat.”
Ayunda Renaya—nama ibunda Ardhan—sedikit menyipitkan mata beberapa saat, berusaha menilai dengan tatapan khas seorang wanita tua yang sudah sangat terbiasanya membaca gerak-gerik dari seseorang. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena beberapa detik kemudian senyumannya kembali merekah—kali ini lebih lembut dari sebelumnya.
“Hmm … kalau gitu syukurlah. Yang penting jangan bikin cucu Nenek ini ikut repot ngurusin kamu terus, ya,” pinta Ayunda.
Kaizen mengangguk paham. “Siap, Nek … saya pastiin Naresha bahagia hidup sama saya.”
Para sepupu masih terus berbisik ria, membahas berbagai macam hal tentang Naresha dan Kaizen—mulai dari hal positif dan juga ada beberapa hal negatif—tetapi itu semua berusaha susah payah untuk Naresha abaikan, karena tidak ingin mengacaukan semuanya
Gayatri mengembuskan napas lega saat kedua mertuanya terlihat nyaman mengobrol bersama Kaizen, lantas mulai kembali membuka suara seraya melihat ke arah sekeliling ruangan—menatap para anggota keluarga besarnya. “Semuanya udah kumpul … Sekarang … Ayo kita ke ruang … aku sama Ardhan udah nyiapin banyak banget makanan kesukaan kalian.”
Para anggota keluarga besar mengangguk pelan, lantas mulai beranjak dari tempat masing-masing dan melangkahkan kaki menuju ruangan makan, mengikuti langkah kaki Gayatri.
Berbeda dengan Naresha dan Kaizen. Mereka berdua memilih untuk diam beberapa saat di tempat semula, kembali membahas tentang beberapa skenario, sebelum pada akhirnya menyusul ke ruangan makan.
“Sampai sekarang berjalan lancar … aku harap ini berlanjut sampai acaranya selesai.”
To be continued:)