NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:495
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Devan hanya memejamkan matanya takut ketika diberi pertanyaan keras oleh Revan. Untuk menatap wajah kakak kembarnya saja, Devan sudah kehilangan nyali. Dia tahu dia salah, namun apakah Revan memang harus sampai semarah ini?

Sementara itu sang kakak kembar sedang menetralkan deruan nafasnya. Dia tidak marah, hanya saja kecewa dengan apa yang telah dilakukan adiknya.

"Kenapa gak jawab Dev?!" Nadanya masih tinggi meski tidak setinggi tadi.

Devan entah mengapa malah menjawab hal yang tidak seharusnya dia ucapkan. "Bisa gak sih lo Rev nggak nganggep gue kayak orang lemah? Nggak kayak orang sakit? Seolah-olah angin aja bisa ngehancurin badan gue! Gue juga pengen bebas Rev! Selama gue masih bisa jalan, gue masih bisa jaga diri! Capek gue Rev, gue bukan bayi yang harus dalam pengawasan 24 jam lo! Semenjak Papa sama Mama meninggal lo udah terlalu protektif Rev! Ditambah lagi penyakit sialan ini! Kenapa juga harus gue yang nerima penyakit ini!"

Revan tercengang mendengar semua penuturan adiknya. "Jadi, itu yang lo mau Dev?"

"Gue juga cuma manusia biasa Rev, gue butuh hal yang bikin gue seneng." Sekali lagi, Devan tidak pernah ingin mengeluarkan kalimat ini.

Revan meninggalkan Devan sendiri tanpa membalas semua kata-kata menyakitkan Devan. "Kali ini, semua terserah lo Dev."

'BLAM'

Revan menutup pintu rumah mereka dengan keras. Pria pendiam itu memilih untuk berangkat kerja lebih awal. Sementara itu, Devan menundukkan kepalanya dalam. Lengannya meraba dada kirinya, merasakan sakit hati yang diderita Revan karena dirinya.

Pemuda berekspresi dingin itu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Tidak ada hal yang ingin dia pikirkan selain cepat sampai di tempat kerjanya.

Tidak lama, Revan sudah tiba di pekerjaannya. Dia langsung mengganti pakaiannya dengan seragam. Meski telah berusaha menyembunyikan  masalahnya, ekspresi datarnya tidak mampu menutupi segalanya.

"Eh Rev, tumben jam segini lo udah di tempat kerja?" Raka yang tidak sengaja berkunjug menyapa Revan.

Revan menjawab tanpa ekspresi. "Gue  lagi pengen dateng lebih awal, pesen apa?"

"Oh. Ini 3 menu ini, kebetulan gue juga lagi hangout bareng Ardli, Fitra, Kristan, Alfi sama Sasha. Gue telpon lo buat ikut, tapi lo gak bales." Raka menjelaskan.

Revan hanya mengangguk singkat. "Maaf, gak keangkat."

"Tumben lo minta maaf, angin apa ini?" Raka mencoba bercanda, tapi dia yakin sahabatnya itu sedang mengalami masalah.

Revan tidak menjawab ejekan Raka. "Ini pesenannya."

Raka hanya bisa menghela nafasnya. "Daripada lo badmood dan malah bikin pelanggan takut, mending gabung sama kita Rev. Si Kian juga mau video call kebetulan, reunian juga kita bertiga, gimana?"

"Gabung aja Rev, biar saya yang ganti jaga." Arkan memberikan izinnya.

Raka mengiyakan. "Tuh udah dikasih izin juga lo Rev."

"Terserah." Balas Revan singkat.

Revan mengikuti tarikan Raka yang menyuruhnya untuk bergabung dengan yang lain. Alfi dan yang lain terkecuali Ardli cukup terkejut dengan kehadiran Revan di tengah mereka.

Disana juga Revan sudah melihat video call Kian yang sudah tersambung.

"Lah Ka, tuh si Revan kenapa? Ekspresi lo kecut amat Rev. Pada belok tar cewek gak akan kesemsem lagi sama lo nanti." Kian langsung menyapa dengan 'ramah'.

Raka memakan kentang gorengnya. "Gue juga bingung, cemberut mulu kayak orang yang diputusin."

"Bibir lo Ka." Revan mendengus.

Kian menyelamatkan diri setelah mendengar nada ancaman itu. "Nggak kok Rev, canda doang gue sama Raka. Idih nambah temen kalian ternyata setelah gue di Palembang. Gue acungi jempol ke lo juga Rev, akhirnya lo bisa juga buat bersosialisasi."

"Ka, izinin gue buat banting laptop lo?" Revan berekspresi datar.

Yang lainnya hanya menelan ludah.

Raka segera menggeleng. "Ya mana gue izinin Rev! Ya lo mintanya emang sopan sih, tapi bukan buat lo banting juga."

"Manusia yang di dalem laptop lo cari gara-gara." Jelas Revan dengan ekspresi datarnya.

Kian mendengus. "Masih aja kejem, nih anak satu."

"Dah daripada berantem, kenalin temen-temen baru kita. Alfi, Fitra, Kristan, Sasha." Raka mengalihkan.

Kian langsung melirik Sasha. "Halo Sasha."

"Oi, cewek doang lo sapa dasar playboy cap kampak." Ardli memasang ekspresi ingin menoyor.

Kian mencibir. "Yakali gue sapa cowok juga, emangnya gue gak normal apa."

"Makan dulu lah, ntar keburu dingin."  Peringat Sasha.

Mereka memakan makanan yang mereka pesan tadi. Semua memakannya dengan lahap terkecuali Revan, dia terlihat tidak mempunyai nafsu makan sama sekali.

Raka menotis semua sikap Revan. Termasuk Kian yang berada di seberang pulau sana. Sampai semuanya pulang terkecuali Raka dan Ardli, ekspresi Revan masih tetap sama. Alfi dan yang lainnya pamit terlebih dahulu karena ada urusan lain.

Raka menghela nafasnya, dia tidak tahan melihat ekspresi Revan yang masih sama. "Rev, lo ada masalah? Meski ekspresi lo datar kayak gituh, lo gak bisa nyembunyiinnya Rev."

"Iya dan makan lo tadi gak bener." Kian juga menangkapnya.

Revan tersenyum sendu. "Gue berantem lagi sama Devan."

"Kenapa?" Tanya Raka.

Revan hanya tersenyum sendu kembali. "Apa bener gue memperlakukan Devan terlalu kayak orang sakit? Apa bener gue terlalu protektif? Apa hal yang gue lakuin itu salah?"

"Nggak Rev, lo kenapa kayak gituh karena lo emang sayang sama Devan." Hibur Kian.

Revan tertawa datar. "Bener, gue sayang banget. Tapi Devan bilang gue nganggap dia kayak orang lemah. Seolah-olah semua hal yang lakuin ini emang salah."

Raka hanya bisa mengusap punggung sahabatnya itu.

Kian dan Raka terkejut saat melihat Revan mulai meneteskan air mata.

"Semenjak Papa sama Mama meninggal, jujur gue ngerasa hidup gue udah ancur Ka, Yan. Gue ngerasa gak bisa berbuat apa-apa. Apa yang bisa dilakuin anak seumur gue waktu itu buat ngelanjutin hidup. Gue cuma anak yang cengeng, mental gue gak sekuat mentalnya Devan. Seolah-olah tujuan dan impian yang udah pengen gua bangun hilang seketika. Gue gakan munafik, gue iri sama kalian berdua yang masih punya orang tua. Kadang gue mikir kenapa harus gua yang kehilangan orang tua? Kenapa harus gua yang harus mandiri disaat anak seusia gua masih harus memiliki masa mudanya? Tapi disana gue inget, gue masih punya Devan. Adek gue satu-satunya yang harus gue jaga. Devan juga yang selalu ngasih semangat supaya gue gak nyerah dalam hidup. Terus kenapa? Disaat semangat gue udah mulai lagi, ada lagi masalah dan itu malah harus nimpa Devan." Revan meneruskan. "Gue lari tanpa arah sekenceng-kencengnya setelah tahu itu semua. Gue capek, tapi kalau gue berhenti siapa yang harus jaga Devan? Disana gue ngerasa jadi kakak yang gak berguna, karena gak tahu tanda-tanda penyakit di adek kembar gua sendiri.  Dan Devan? Dia cuma senyum dan nerima keadaannya, dia bilang dia gakan menyerah asalkan gue juga gak sefrustasi ini. Disitu gua bangkit lagi, supaya kuat buat adek gua sendiri. Tapi gue gakan memungkiri tiap kali Devan kambuh rasanya gue pengen nyerah aja. Gue orang yang terlalu takut buat kehilangan lagi, gue takut buat ditinggalin Devan. Makanya gue selalu ngejagain dia, gue sama sekali gak bermaksud buat ngelakuin Devan kayak orang yang lemah. Gue gak mau lagi ditinggal sama orang yang gue sayang. Gue sayang banget sama Devan. Dia satu-satunya keluarga gue, makanya meskipun gue kadang lelah karena harus jadi kepala keluarga, demi Devan gue rela. Tiap kali gue mikir mau nyerah, gue selalu inget Devan. Maaf Ka, Yan gue malah ngeluh ke kalian."

Ini adalah kali pertama bagi Kian bahkan untuk Raka mendengar Revan mengungkapkan semua keluh kesahnya. Mereka berdua tidak menyangka bahwa Revan serapuh ini.

Raka ikut meneteskan air matanya mendengarkan semua keluh kesah Revan.  "Gapapa, gue yang malah sorry Rev. Gue gak tahu bahwa lo pernah ngalamin semua masa sulit itu. Gue seneng, lo udah mau terbuka gini sama gue, sama Kian."

"Lo juga manusia Rev, wajar kalau lo ngerasain itu semua." Kian menambahkan.

Revan menghapus air matanya. Dia tersenyum miris. "Iya, ternyata terlalu lama memendam bikin dada gua sesak."

Raka menatap Revan yang tertunduk dengan sendu. "Maka dari itu gue minta, bagi beban lo itu sama kita berdua."

"Bukan cuma Revan, tapi lo juga Ka." Sambung Kian dari sambungan telepon. "Kadang gua bingung, kalian itu dua entitas yang punya sifat introvert dan mendem segalanya sendiri, bisa banget sahabatan." 

"Untung lo datang Yan, ngasih warna cerah selain kelabu dan hitam dari kita berdua." Balas Raka tersenyum.

Kian berpikir. "Bentar kalau kalian abu-abu dan hitam, gua warna apa? "

"Polkadot." Celetuk Revan.

Kian mendengus. "Asem! "

.

.

.

.

.

Revan memasuki rumahnya dengan pelan, takut membangunkan sang adik yang mungkin sedang tidur. Pandangannya teralih saat melihat Devan tidur tertelungkup dengan kepala di atas meja. Dia yakin adik kembarnya menunggu dia pulang.

Dengan lembut Revan memasangkan jaket yang tadi dipakainya untuk menyelimuti sang adik. Saat ini Revan tidak berniat untuk membersihkan diri. Dia tertidur di atas sofa di samping Devan. Satu lengan dia letakkan di atas kepala. Perlahan matanya mulai memejam.

Ketika pagi tiba, pemuda yang tertidur di meja itu mengerjapkan matanya. Dia menatap sekeliling. Sebuah jaket jatuh dari punggungnya kemudian dia mengambilnya. Devan mengenali pemiliknya, dia bisa melihat kakak kembarnya yang masih terlelap. Ada guratan lelah yang tercetak disana.

Suara Revan yang serak karena bangun tidur terdengar. "Udah bangun Dev? Kenapa lo gak tidur di kamar?"

"Gua nungguin lo Rev. Apa lo masih ma.. " Pertanyaan Devan terpotong oleh kalimat Revan.

"Maafin gue Dev. Sekarang lo mau sarapan apa?" Tanya sekaligus permintaan maaf Revan. Dengan senyum lembut yang hanya dia perlihatkan pada sang adik.

Devan merasa sesak. Kakak kembarnya benar-benar berhati malaikat. Dia selalu meminta maaf terlebih dahulu, meski itu bukan salahnya. "Apa aja asal lo yang buat Rev."

-Lagi kalimat, maafin gue juga Rev tidak pernah bisa Devan ucapkan dari mulutnya-

"Oke, Chef Revan beraksi." Jawab Revan dengan konyol.

Devan berpikir suatu saat istri yang akan mendampingi hidup Revan adalah wanita yang paling beruntung di muka bumi ini.

.

.

.

.

.

Revan mengernyit saat tidak melihat keberadaan Erik di ruang mahasiswa. Disana malah berdiri Nathan yang sedang membereskan barang-barang milik Erik.

"Oh elo Rev." Nathan hampir mengumpat karena terkejut apabila dia tidak menahannya. Kedatangan Revan sama sekali tidak terdengar.

Revan membungkuk hormat. "Kak Nathan, barang-barang ini mau lo apain?"

"Simpen ke gudang, perintah si Erik." Jawab Nathan apa adanya.

Revan bertanya. "Kenapa?"

"2 Minggu ini dia dirawat di rumah sakit,  ada pesen biar lo yang nyiapin yang lainnya selama dia kagak ada. Tapi lo tenang aja hampir 90℅ dokumen udah dia kerjain, lo tinggal terusin akhirnya aja. Jelas Nathan.

Revan. "Dimana dia dirawat?"

"RS HXXS. Kamar 306." Nathan mendengus. "Gue rasa lo adalah orang dingin yang hobi masukkin masalah ke dalam hidup lo sendiri Rev."

Revan menghentikan langkahnya, saat kalimat pedas Nathan itu terdengar. "Gua cuma gasuka dipuji dibalik pekerjaan orang lain."

Nathan menghembuskan nafasnya. "Keras kepala. Gak semua orang suka dicampuri urusan hidupnya."

Revan tidak mempedulikan peringatan Nathan tersebut. Di tengah jam istirahat itu, Revan bergegas untuk mengendarai sepeda motornya. Saking tergesa-gesanya dia menabrak salah satu mahasiswi.

"Bisa gak sih lo kagak... " Gadis itu terperangah.

Revan mengulurkan tangannya. "Maaf, gue lagi buru-buru. Lo gapapa? Kalau lo kenapa-kenapa jangan segan buat datengin gue."

Gadis itu menggeleng.

Setelah memastikan gadis itu tidak apa-apa, Revan kembali bergegas. Wajah gadis itu memerah. Dia bisa melihat bagaimana mata yang tajam itu menatap penuh khawatir.

"Woy Ly, kenapa lo kesambet entar!" Sapa rekannya, Sasha.

Lily segera menormalkan dirinya. "Gak, tadi gua tabrakan sama Revan kayaknya dia buru-buru."

"Beruntung banget lo Ly di tabrak si Ice Prince, gua kapan." Sendu Sasha.

Lily menggumam pelan. "Beruntung?"

Gadis itu bisa merasakan bahwa jantungnya masih berdegup dengan kencang.

"Jangan-jangan lo suka ya sama Revan?" Curiga Sasha.

Lily segera menggeleng. "Gak, gue gasuka dan gak peduli sama cowok populer."

Sasha menghela nafas lega. "Syukurlah, gue gak mau saingan sama sahabat sendiri soalnya haha."

Di sisi lain Revan sudah tiba di rumah sakit yang tadi diberi tahu Nathan. Langkahnya membawa Revan menuju kamar yang ia tuju.

"Ah bocah kepala batu, bener kata si Nathan." Erik bisa langsung menyadari kehadirannya.

Revan masuk ke dalam ruangan. "Lo tetep gak akan mundur Kak?"

"Gue bukan orang yang kalah sebelum berperang." Jawab Erik seadanya.

Revan mengepalkan tangannya erat. "Dengan cara ngunain gue sebagai pion lo?"

Erik berbalik dan menatap wajah Revan. "Itu bukan licik tapi trik. Setidaknya izinin gue buat jadi orang yang berguna buat orang. Dengan nyiapin semua data itu gue udah berguna buat lo."

"Kalau itu yang lo mau Kak, gue lakuin." Revan menyodorkan satu kantung buah-buahan pada Erik. "Seenggaknya lo harus punya persiapan penuh waktu perang."

Erik terkekeh. "Devan adalah orang yang paling beruntung karena punya kakak kembar kayak lo. Andaikan lo terlahir sebagai kakak gue. Hidup gue gakan sesengsara gini."

Setelah Revan pergi meninggalkan rumah sakit tersebut, lutut Erik melemas. Setidaknya hari ini dia dapat tertawa kembali.

.

.

.

.

.

.

Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini sudah mencapi hari pemungutan suara untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden BEM. Dua kandidat bersaing keras dalam memperebutkan suara.

Di sebuah meja sebelum acara pemilihan dimulai terlihat sekumpulan para mahasiswa dan mahasiswi.

"Revan yang kagak mau terlibat sama banyak orang akhirnya terjun juga dia." Celetuk Ardli membuka pembicaraan.

Raka mengungkapkan syukurnya. "Akhirnya gue kagak jadi korban ketua lagi."

"Korban?" Lily bertanya bingung.

Devan kini yang menjawab. "Jadi waktu SMA, semua guru bahkan komite sekolah udah setuju jadiin Revan ketua OSIS tanpa melalui pemilihan tapi si Revan nolak. Udah ditawarin banyak hadiah dan keringanan tugas tuh bocah satu tetep nolak, alhasil dia bikin penawaran bahwa dia ngerekomendasiin Raka orang kepercayaannya buat jadi Ketos."

"Orang kayak gini jadi Ketua? Ngakak." Ejek Jesslyn.

"Berisik jomblo." Raka membungkamnya.

Kristan ikut bicara. "Revan berubah dong kalau sampai mau terlibat di hal ribet kayak gini."

"Iya dong, idola gue gitu. Apa sih yang nggak dia bisa." Alfi bangga.

Sasha mendesis. "Enak aja Revan tuh idola gua no. 1."

"Bukannya kalau dia jadi Wakil Presiden BEM dia bakal lebih sibuk. Terus lo gimana Dev?" Lily ingin sekali menepuk mulutnya sendiri karena bertanya begitu.

Devan tertawa canggung. "Lah emang kenapa? Gue bisa jaga diri gue sendiri. Lagian gue seneng dengan Revan kayak gini. Seenggaknya dia mulai mikirin diri dia sendiri. Dia itu sering lupa kalau dia juga punya badan sendiri."

Ardli mengangguk setuju. "Dia tuh kayak roh yang pinjem badan orang."

"Mulut lo Dli, kalau tuh anak denger abis lo. Bakal disuruh milih antara piso atau gunting." Canda Raka.

Lily menggumam. "Tapi Revan itu lembut gak sesadis yang kalian kira."

"Tumben lo peduli Ly?" Tanya Devan iseng.

Fitra yang dari tadi diam ikut bicara. "Pandangan Lily itu, gue setuju."

Obrolan itu berakhir sampai waktu pemilihan tiba. Di atas sana ada Haris dengan wakilnya dan juga Revan yang sendiri tanpa ditemani calon ketuanya. Masing-masing calon memberikan pidato. Kedua bakal calon menyampaikan semua pesannya dengan baik.

Revan meski sendiri dia berhasil menyampaikan semua hal yang ingin Erik sampaikan. Semua tegang saat detik-detik penguman siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden BEM.

"Kita berikan selamat kepada Erik Pradipta dan Revano Ardian Pratama!"

Devan dari kursi penonton mahasiswa bisa melihat Revan yang begitu bersinar saat berpidato. Kakak kembarnya itu telah menjadi orang yang berbeda. Kakak kembar yang selalu menangis karena terjatuh sedikit saja berubah menjadi tegas dan berwibawa.

Devan menjadi mengingat masa lalu.

Saat itu mereka tengah melakukan piknik keluarga bersama kedua orang tua mereka. Disana ada dua anak kembar yang sedang berlari-larian.

"Tunggu dulu Dev, jangan kesana Levan takut." Kalimat sang kakak.

Devan menggeleng. "Jangan takut Rev, soalnya kan ada Devan. Nanti kalau udah kita bisa naik peswat terbang."

"Pesawat telbang?" Tanya Revan lucu dengan aksen cadelnya.

Devan mengangguk. "Iya yang mirip burung besaaaaaarrrrrr."

Mereka kemudian berlari menuju terowongan mainan, saat tiba-tiba kaki Revan tersandung dan terjatuh.

Tangisan kencang terdengar. "HUWEEEEEEEEEEEEE."

Devan segera berlari dan menghampiri kakak kembarnya. Dia mengusap-ngusap pundak Revan. "Revano, sakit-sakit pergi. Udah ya jangan nangis lagi, kan ada Devan."

Revan mengangguk. "Iya, Levan gak nangis lagi. Levan mau jadi doktel bial nyembuhin semua yang sakit!"

Senyuman terpatri di wajah Devan jika mengingat salah satu kenangan manis itu. Dulu dia sering sekali berkata akan selalu menjaga Revan di keadaan apapun.

Semua bertepuk tangan meriah ketika Revan menyelesaikan pidato kemenangannya. Namun satu hal yang disayangkan adalah Erik tidak muncul hingga acara berakhir.

Revan kini berada di dalam ruangan BEM. Ini akan menjadi ruangan yang akan sering dirinya kunjungi. Disana dia melihat dua orang yang menjabat sebelumnya seperti yang sengaja menunggu kehadirannya disini.

Diantara kedua orang itu, Arjun adalah seseorang yang sulit untuk bicara. Matanya beralih pada Nathan yang siap menngungkapkan sesuatu. Suara petir dan deras hujan mulai terdengar turun membasahi.

"Jam 15.00 tadi Erik sudah berpulang. Tepat waktu pengumuman pemenang Presiden dan Wakil Presiden BEM yang baru." Nathan mengeluarkan kalimatnya.

Revan hanya berkespresi datar. "Oh ya."

"Erik bilang, maaf karena nambahin beban lo." Arjun melanjutkan.

Revan menggeleng dan menunduk. "Gue gapapa."

"Rev, jangan bilang.. " Arjun tahu kalimat tidak apa-apa Revan itu adalah keadaan sebaliknya.

Revan berpamitan. "Gue beresin dulu bangku yang di depan."

"Rev, tunggu." Arjun ingin mencegah namun Nathan menahannya.

Nathan menggeleng. "Dia harus belajar keluar dari traumanya, ini hidup Ar. Akan banyak hal yang gak bisa lo terima."

Revan berlari keluar. Derasnya hujan masih membasahi tanah. Pemuda itu bingung dengan air yang mengaliri wajahnya, apakah itu air hujan yang turun ataukah air matanya yang mengalir.

Devan yang sedang berjalan di luar kelas mencari Ardli teralih saat melihat Revan yang berdiri di bawah derasnya hujan. Dia segera mengambil payung dan menghampiri kakak satu-satunya itu. Devan memayungi mereka berdua.

"Oi Wakil Presiden, ngapain lo berdiri di bawah ujan mau main India-Indian? Mana ceweknya coba." Omel Devan memarahi sang kakak.

Revan memandang sang adik yang sedang mengomel. Dia memeluk Devan dengan erat. "Jangan tinggalin gue Dev, gue takut."

Devan mengerjap. Hatinya sakit saat menyadari bahwa nada permintaan itu diiringi dengan tangisan. "Gak akan Rev, gue gakan kemana-mana."

"Gue benci ditinggal Dev. Gue benci." Jujur Revan ditengah isaknya.

Devan mengangguk. "Iya gue ngerti."

'Kenard_Ribet: Lo udah baca Harian Kampus belum hari ini? Gila ngedadak banget  "Turut berduka atas kepulangan Erik Pradipta pada hari ini dikarenakan Leukimia stadium V yang sudah dia idap selama ini."'

Devan mengerti mengapa Revan sampai seperti ini kepadanya. Orang yang dipercayainya pergi dengan sesuatu yang sama dengan yang dideritanya.

.

.

.

.

.

3 Bulan Kemudian

Saat ini status Revan di kampus Presiden BEM. Hanya saja dia tidak memiliki wakil. Meski orang-orang menganggapnya demikian dia tetap menganggap dirinya sendiri sebagai seorang wakil.

Perlu diingat bahwa pesaingnya juga bekerja sama di dalam organisasi itu. Haris berperan sebagai Sekretaris. Namun nyaris tidak pernah ada pembicaraan di antara keduanya terkecuali menyangkut kegiatan BEM.

Kali ini Revan untuk pertama kali bertanya pada Haris terlebih dahulu. "Gimana keadaannya?"

"Peduli? Pembohong bangsad." Pedas Haris.

Revan tidak akan syok dengan kalimat pedas Haris. "Udah lama gue gak tahu keadaannya."

"Menurut lo? Harusnya lo tahu lebih dari siapapun di dunia ini." Balas Haris.

Revan mengepalkan tangannya erat. "Maaf."

Haris berbalik, dia menatap Revan penuh amarah. Ditariknya kerah baju Revan dengan keras. "Cih. Jangan bikin gue ngakak. 7 tahun lamanya, dan lo baru terpikir buat minta maaf sekarang. Semua udah telat." Dia melepaskan kerah Revan keras.

"Gue tahu gue salah." Revan menundukkan kepalanya.

Haris berbalik. "Jika lo tahu lo salah, gue pastiin lo bakal dapet hukuman yang setimpal secepatnya.

Di sebuah rumah sakit, Arjun menatap grafik seorang pasien yang masih belum menunjukkan kemajuan apapun. Dia menghela nafasnya. Pembimbing dokternya yang menangani pasien ini sudah bingung untuk melakukan apa. Hanya saja keluarga pasien bersikeras untuk tetap mempertahankannya.

Melihat jamnya, Arjun merasa bahwa ini sudah saatnya dia pulang dari tempat praktek. Di tengah perjalanan dia tidak lupa membelikan beberapa makanan untuk Raka. Calon dokter muda itu tersenyum saat menemukan makanan yang disukai Raka sejak kecil.

Beberapa menit, akhirnya Arjun tiba di rumah. Dia melihat keadaan rumah yang masih rapi. Disana ada Raka yang tengah membaca buku kuliahnya. Senyuman terpatri di wajah Arjun. Adiknya yang lebih memilih bermain gim sekarang hobi membaca.

"Gue bawain makanan kesukaan lo Ka." Ucap Arjun memecah keheningan.

Raka hanya menjawab singkat. Saat ini dia tidak ingin terlalu bersikap dingin pada kakaknya. "Makasih Bang."

"Gimana Revan? Kerjanya bagus?" Tanya Arjun basa-basi.

-Bisa gak sih lo gak bahas soal orang lain ke gua Bang?- "Oh. Bagus kok. Dia dibantu Haris." Balas Raka datar.

"Air dan minyak bisa bersatu juga." Kekeh Arjun.

Raka memejamkan matanya. "Keinget masa lalu, waktu kita bertiga masih akur."

Arjun terdiam beberapa saat dan memandang Raka serius. "Gue rasa gak usah kalian akur lagi. Lo gak tahu sejauh apa diri mereka. Bahkan Revan, mungkin lo cuma sedikit kenal dalemnya."

"Maksud lo apa sih Bang? Bikin gue gak mood." Raka berlalu menuju kamarnya.

Arjun hanya melemaskan badannya di atas sofa. "Gue cuma pengen jaga adek gue."

Keesokan paginya di kampus Devan dan Ardli sedang nongkrong di kantin seperti biasa. Sudut mata Devan menangkap Haris yang duduk sendiri di salah satu meja. Anak itu seperti tidak memiliki teman.

Dengan inisiatif Devan mengahampiri Haris yang tengah duduk. Ardli yang baru sadar segera menyusul Devan.

"Kita ketemu lagi." Sapa Devan pertama.

Haris menatapnya sesaat. "Lo, adek kembar Revan."

"So.... Sorry kita gak maksud buat gangguin lo. Dev dah hayu kita balik ke bangku." Koreksi Ardli dengan cepat.

Devan menolak. "Sebentar, gue mau nanya sesuatu dulu. Waktu kejadian SMA  kemarin, lo belum jelasin apapun tentang kejadian apapun antara lo sama Revan. Emang Revan punya salah apa sama lo? Sampai lo dendam banget sama kakak kembar gue?"

"Oh jadi dia belum nyeritain apa-apa sama lo, adek kesayangannya?" Haris balik bertanya sinis.

Devan mengernyit. "Apa? Karena Revan gak pernah mau cerita makanya gue tanya sama lo."

Ardli makin membujuk Devan. "Dev, jangan diperpanjang. Lo tahu kalau Revan tahu bakal gimana?"

"Tanya aja sama pelakunya sendiri jangan korban seperti gua." Haris mengangkat tubuhnya untuk pergi.

Lengan Devan menahan Haris. Hawa Devan berubah mengintimidasi seperti Revan. "Tunggu dulu, lo belum jawab pertanyaan gue."

"Oh, anak kembar punya aura yang sama. Tapi hal itu gakan bikin gue takut." Haris mencengkram tangan Devan keras.

Dari arah lain Revan bersma Raka yang sedang berkeliling melihat Haris dan Devan seperti sedang berdebat. Bahkan tangan Haris mencengkeram kuat tangan Devan.

Revan melepas paksa cengkeraman Haris pasa sang adik. "Lepasin adek gua."

"Dari tadi gue juga mau lepas cuma adek lo yang nahan-nahan gua." Balas Haris.

Revan memandang tajam Devan. "Gue kan udah bilang berapa kali sama lo Devano! Ini gaada urusannya sama lo!"

"Cih. Silahkan drama keluarga kalian. Gue muak nontonnya." Haris berlalu pergi.

Devan mengepalkan tangannya erat. "Emang rahasia apa yang lo pendem Rev? Seberat dan sekejam apa sampai gue gak boleh tahu sama sekali?!"

Revan masih menahan amarahnya. "Iya kejam, dan gue bukan orang yang sebaik lo kira Dev!"

"Revan!" Raka yang terkejut atas ucapan Revan mengingatkannya.

Devan menatap tidak percaya pada Revan yang sudah mengeluarkan kalimat tadi. "Terus kalau lo udah ngaku, ungkapin faktanya sekarang. Jangan-jangan Revano yang udah selama ini tinggal bareng gue cuma Revano palsu dengan semua sifatnya?!"

'PLAK'

"Jaga mulut lo Devano!" Amarah Revan sudah memuncak.

Ardli segera melindungi Devan dari amukan Revan. Sementara Raka sangat marah dengan apa yang dilakukan Revan. "Brengsek , dia adek kembar lo sendiri. Yang selama ini lo jaga. Bisa-bisanya lo Rev?!"

Revan hanya diam. Dia bergetar menatap lengannya sendiri yang tadi menampar sang adik.

"Gue benci sama lo Rev, gue muak!" Devan berlari sekencang mungkin.

Revan masih terdiam di tempatnya berdiri. Ardli menatap benci ke arah Revan. "Gak usah sampai segitunya Rev."

"Sikap sadis lo balik lagi Rev." Raka menggelengkan kepalanya. Dia segera menyusul Devan yang berlari.

Devan berlari tanpa arah. Orang yang selama ini selalu menjaganya berubah hanya dalam beberapa menit. Dia tidak takut atau benci karena tamparan tadi, tapi dia benci dengan kakaknya yang tidak pernah jujur.

Raka menemukan Devan yang masih berlari. Pemuda mantan Ketua Osis itu segera mencegah langkah Devan yang akan pergi kembali. Mereka kini berada di tengah jalan.

"Dev, kalau Revan gakan ngasih tahu semuanya gue bakal jelasin sekarang ke lo. Jangan bikin Revan khawatir sama lo Dev." Raka membujuk Devan.

Devan menggeleng. "Gue pengen dia sendiri yang buka mulut!"

"Gue tahu Revan salah, tapi dia lakuin itu semua demi lo Dev." Jelas Raka.

Devan teguh dengan pendiriannya. "Bagi gue, Revan gak lebih dari seorang pengecut."

"Denger gue dulu, ada kejadian 7 tahun lalu... Yang.. "

Lampu sudah berubah menjadi hijau. Raka tidak bisa fokus untuk menjelaskan. Dia hanya fokus pada Devan yang tidak sadar bahwa lampu sudah hijau. Dengan inisiatif dia mendorong Devan menjauh dan terjatuh ke atas aspal.

Kecepatan mobil saat itu sangatlah cepat,  Raka tidak sempat untuk menghindar.

'BRAK'

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Arjuna, tolong bantu kita di ruang gawat darurat." Teriak salah satu dokter UGD disana.

Arjuna segera beranjak. "Baik dok, korbannya kenapa?"

"Korban mengalami kecelekaan tabrak lari, 10 menit yang lalu. Itu dia pasien baru turun dari ambulance." Jelas dokter tadi.

Arjuna merasakan kakinya melemas dan tidak menapak tanah. Pasien kritis dengan berlumuran darah yang ada dihadapannya saat ini adalah adik kandungnya sendiri.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue...................

Makasih buat semua yang masih nunggu kelanjutan cerita ini. Jangan lupa comment dan vote ya. Sangat berharga bagi author vote apalagi comment kalian. Krisar juga ditunggu loh

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!