Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang terucap, Suara yang tersembunyi
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, halaman Adelwyn Academy mulai ramai oleh suara deru motor dan langkah kaki para siswa yang bergegas meninggalkan sekolah. Vano menyandarkan tubuhnya di motor, menatap dua sahabatnya.
"Nongki yuk," ajaknya dengan senyum tipis, berusaha mencairkan suasana yang masih muram.
Arkan sudah berada di atas motornya, helm terpasang rapi. Ia menggeleng pelan. "Gue nggak bisa, Van. Hari ini jadwal nyokap gue cek-up. Gue harus dampingi."
Tatapan Vano beralih pada Xander, berharap ada yang bisa menemaninya.
Xander merapikan jaketnya sebelum memasang helm. "Hari ini gue harus kerja, bro," ucapnya singkat.
Vano menarik napas, lalu menepuk bahu motornya sendiri. "Ya sudah, kapan-kapan aja. Kalau kalian udah nggak sibuk, baru kita nongkrong lagi."
Arkan dan Xander mengangguk bersamaan, memberi janji diam-diam bahwa kebersamaan mereka masih akan berlanjut.
Xander kemudian memacu motornya keluar dari gerbang sekolah, tapi bukannya menuju tempat kerja, roda kendaraannya justru membawanya ke arah lain—menuju pemakaman tempat Ibu Citra beristirahat.
Sesampainya di sana, suasana begitu hening. Hanya desir angin yang menyapu dedaunan, dan aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan semalam. Di depan nisan sederhana bertuliskan nama Ibu Citra, bunga-bunga segar terus bertaburan, tanda bahwa banyak orang yang masih mengingat dan mencintainya.
Xander mematikan motornya, melangkah pelan, lalu berjongkok di depan pusara itu. Tangannya gemetar tipis saat ia meletakkan setangkai bunga putih yang sudah ia bawa sejak tadi.
"Ibu Citra..." ucapnya lirih, suaranya bergetar memahan emosi. "Aku janji... akan ungkap semuanya. Aku nggak sanggup lagi menahan semua bukti yang ada di tangan gue. Semua ini terlalu berat kalau gue harus pendam sendiri.
Ia menunduk dalam, kedua tangannya terlipat erat seakan meminta kekuatan. Hening beberapa saat, hanya doa dalam hati yang mengalir untuk almarhumah.
Perlahan Xander berdiri. Cahaya senja menimpa wajahnya, membentuk bayangan tegas di balik sorot matanya.
"Detektif itu terlalu lama mengambil langkah," gumamnya penuh tekad. "Kalau mereka terus menunda, gue sendiri yang akan turun tangan. Semua harus diungkapkan. Tidak ada satu pun yang belum bolos dari kebenaran."
Dengan langkah mantap, Xander meninggalkan makam, membawa bersama dirinya beban janji yang tak main-main—janji seorang murid untuk menuntaskan misteri kelam yang merenggut sosok yang mereka sayangi.
•○•
Di ruang kerjanya yang remang, Xavier duduk di depan meja penuh kertas dan layar monitor yang berkelip. Wajahnya serius, sorot matanya tajam. Sudah cukup lama ia menunggu aparat dan Detektif Luna bergerak, tapi menurutnya langkah mereka terlalu lambat. Kasus Ibu Citra tidak boleh berlarut—setiap detik berarti semakin jauh dari kebenaran.
Ia meraih sebuah ponsel cadangan, perangkat khusus yang hanya ia gunakan saat menjalankan misi penting. Dengan tenang ia mengetik sebuah nomor, lalu menekan tombol panggil. Nada tunggu terdengar, sekali, dua kali… tidak ada jawaban.
Xavier mencondongkan tubuh, mengetik sebuah pesan singkat:
"Angkat, atau semuanya saya ambil alih."
Beberapa detik kemudian, panggilannya kembali tersambung. Kali ini seseorang mengangkat.
"Halo? Siapa kamu?" suara disebrang terdengar tegas, penuh curiga. Itu suara Detektif Luna. "Apa maksudmu, hah?"
Xavier menarik napas pelan, lalu berbicara dengan suara yang sedah ia ubah melalui moderator khusus. Datar, dingin, dan nyaris tak bisa dikenali.
"Buat rapat dadakan. Hadirkan seluruh timmu–termasuk forensik. Setelah itu... kalian akan tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya."
Tanpa memberi kesempatan Detektif Luna bertanya lebih jauh, Xavier langsung menutup telepon. Ponsel itu ia letakkan kembali, layar padam, menyisakan keheningan yang penuh rahasia.
Di seberang sana, Luna menatap ponselnya lama, keningnya berkerut. Suara misterius barusan masih terngiang di telinganya. Ia bisa merasakan nada ancaman sekaligus keyakinan dalam kalimat itu. Namun, ia tetap diam, tidak langsung bereaksi.
"Siapa dia..." gumam Luna lirih.
Ruangan kerjanya kembali sunyi, hanya suara jarum jam berdetak. Nalurinya semakin kuat: kasus ini bukan sekadar pembunuhan biasa—ada seseorang di balik layar, bergerak lebih cepat dari aparat, dan jelas… tidak bisa diremehkan.