Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Maka Berhati-hatilah Dengan Hayaning
Adakah yang akan menunggu di depan sana?Barangkali aku ini sedang ditunggu seseorang.
Seseorang yang mengenal namaku tanpa perlu kusebut,
yang tahu arah langkahku meski tanpa jejak tertinggal.
Barangkali ia berdiri di antara cahaya lampu kota,
atau terselip di bayang-bayang senja yang enggan tenggelam.
Mungkin ia menggenggam rindu di ujung jemarinya,
menjadikan sabar sebagai selimut di dadanya.
Atau mungkin ia hanya bayang semu,
sosok yang kuciptakan dari harap yang samar, dan aku ini hanya pengembara dalam ilusi,
berjalan mencari sesuatu yang tak pernah menunggu.
~Hayaning
•••
"Saya ngga sengaja baca, waktu menyusup ke kamar Nona Hayaning. Saya menemukan selembar tulisan yang jatuh dilantai dari buku novel yang Nona baca."
Hayaning langsung menoleh, memasang wajah cemberut bercampur malu.
"Terus kenapa dibaca? Sampai dihafal lagi, Ben, Ih..." gerutunya, kesal.
Ben terkekeh pelan, tapi tatapannya tetap fokus ke jalan. Malam itu, mereka sedang dalam perjalanan menuju Hotel X, tempat Hayaning akan tampil bermain piano.
"Apa boleh buat? Puisinya menarik," sahut Ben santai.
Hayaning mendesah panjang, menyandarkan kepala ke kaca jendela, membiarkan pandangannya tersapu cahaya jalanan yang berkelebat.
"Kalau boleh tahu, siapa inspirasinya sampai bisa membuat puisi sebagus itu?" tanyan Ben penasaran.
Hayaning menoleh dengan ekspresi setengah kesal. "Inspirasi?" Ia diam sejenak lalu tak lama menjawab. "Ya kamu lah."
Ben melirik sekilas, keningnya berkerut samar. "Saya?"
"Ya, kamu."
Ben tampak mencoba memahami maksudnya. "Kenapa harus saya?"
Hayaning menahan tawa, matanya berbinar geli dan menyedihkan diwaktu yang sama. Bahkan pria ini saja tidak bisa menangkap makna di balik puisinya, apalagi memahami pesan tersirat yang ia sampaikan di dalamnya.
"Bodoh," gumamnya sembari mendengus.
"Lho, kok saya bodoh?" Ben menoleh lebih lama kali ini, seakan benar-benar tak mengerti.
"Ya, inspirasinya kamu aja. Udah, itu aja."
Jawaban itu terdengar ringan, santai, seolah tak bermakna apa-apa. Hayaning kembali menatap ke luar jendela, membiarkan Ben memproses kata-katanya.
Tapi Ben tidak sebodoh itu. Sebenarnya Ia peka selama ini, apalagi ketika Hayaning pernah menawarkannya sebuah pernikahan. Ben tahu bahwa Hayaning menaruh rasa. Tapi ia tidak bisa membiarkan dirinya terjebak di dalam keputusan yang sejak lama tak mungkin bisa direalisasikan.
Ia tak mau memberikan harapan yang sia-sia.
Jadi, tidak salah kan? Jika ia memilih untuk tetap di jalur ini?
Ben meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ini yang terbaik.
•••
"Huft..."
Benjamin menghela napas panjang, berdiri bersandar di sudut ruangan dengan tangan terlipat di dada. Pandangannya tak lepas dari Hayaning, yang baru saja menyelesaikan penampilannya di atas panggung.
Ia membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam momen itu—kilauan cahaya lampu yang lembut membingkai wajah Hayaning, sementara binar di matanya memancarkan kepuasan setelah mempersembahkan alunan piano yang begitu indah.
Namun, momen itu tak bertahan lama.
Seperti biasa, beberapa pria mulai mendekat.
"Cari perhatian saja!" Gumamnya mendesis.
Ditengah waktu yang menunggu, Ben mendapatkan pesan dari Sean, seketika itu ekspresi wajahnya mengeras.
Mas Sean
Bara mendatangi kantor kita pukul delapan malam tadi, tapi sekarang dia sudah pergi. Dia membawa banyak orang-orang nya dan membuat keributan demi mencari adiknya, saran Mas, bawa Hayaning ketempat lain, rumah Mas tidak bisa menjadi aman untuknya, juga istri dan anakku.
Benjamin
Ya Mas, aku mengerti.
"Ben, aku sudah selesai." Ucap Hayaning begitu ia menyelesaikan pembicaraannya dengan beberapa orang.
Ben mengangkat wajahnya lalu menyimpan kembali ponselnya dibalik jas hitamnya nya.
"Nona, saya akan membawa Nona ketempat saya," ujar Ben segera memberitahu.
"Lho ... Kenapa mendadak?" Tanyanya dengan bingung.
"Kakak tertua Nona sedang mencari, saya rasa rumah Mas Sean sudah tidak aman lagi untuk kamu tetap disana."
Hayaning mengangguk mengerti, kalau sudah tentang Bara ia tak mau berkomentar apa-apa.
"Mari kita pergi dari sini."
Hayaning mengangguk lalu berjalan lebih dulu sementara Ben mengawasi dibelakangnya.
Ketika mereka masuk ke dalam mobil dan mulai meninggalkan basement hotel, Hayaning mulai menyadari dengan banyaknya pengawalan motor besar di sisi kiri, kanan, dan belakang mobil mereka.
Ben melirik ke arah spion, memperhatikan iring-iringan motor yang mengikuti mereka. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya mengeras untuk waspada.
"Tadi waktu kita berangkat, ngga gini kan?"
Ben tidak langsung menjawab. Ia menggenggam setir lebih erat, mempercepat laju mobil.
"Situasinya berubah," jawabnya akhirnya, singkat.
Hayaning menoleh, menatap Ben dengan alis bertaut. "Karena Mas Bara?"
Ben mengangguk, masih fokus ke jalan. "Dia mencari kamu dengan cara yang tidak bisa dibilang baik-baik. Dan saya tidak akan mengambil risiko membiarkanmu tetap di rumah Mas Sean."
Hayaning resah, pikirannya berkecamuk. Ia tahu Bara bisa sebrutal itu jika menginginkan sesuatu, tapi mendengar bahwa kakaknya sampai membawa orang-orangnya untuk membuat keributan membuatnya semakin takut akan keselamatan keluarga kakaknya Ben.
"Maaf ya, gara-gara aku kalian—"
"Tidak ada permintaan maaf, saya bekerja untuk ini."
Hayaning diam sejenak sebab gelisah berayun dihatinya, setelah itu ia kembali membuka suara. "Kamu yang meminta pengawalan ku makin ketat Ben?"
"Bukan saya, tapi pak Brata." Respons nya to the point.
"Papa?"
Ben mengangguk. "Beliau yang meminta tambahan pengawalan. Dia juga yang memerintahkan saya untuk membawamu ke tempat yang lebih aman. Karena masalah dengan anak ketiganya, kini Pak Brata tak mempercayai anak-anaknya selain Nona, jadi ia meminta semua ini."
"Benarkah?" Hayaning hampir saja tertawa, geli mendengar pernyataan Ben.
"Baiklah, lakukan saja sesuka kalian, aku hanya mengikut," ujarnya akhirnya dengan nada lelah.
Hayaning sudah terlalu muak, maka ia ingin sekali menyelesaikan semua ini lalu pergi dari kehidupan semua orang yang dikenalnya.
Maka ketika hari itu tiba, ia akan terbebas dari semua kekacauan yang selama ini mengikatnya. Tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi bayangan Bara yang selalu menghantui langkahnya, tidak ada lagi perasaan terperangkap dalam kendali orang lain.
Hayaning menghela napas panjang, menatap keluar jendela dengan mata kosong. Pikirannya melayang jauh, memikirkan kemungkinan hidup di tempat yang tak seorang pun bisa menemukannya.
Hayaning sebenarnya... seorang perempuan yang berencana, yang memanfaatkan situasi berat menjadi peluang besar untuknya melarikan diri. Ia hanya sedang menunggu waktu, menunggu untuk direalisasikan.
Maka dari itu, berhati-hatilah, sebab Hayaning pandai memanipulasi keadaan.
•••
"Ben, kamu sering mengganti mawar di kamar ini?" Tanyanya ketika melihat mawar didalam kamar yang sempat ditempatinya terlihat baru dan segar.
"Ya, saya meminta Mbak untuk selalu mengganti beberapa tangkai mawar di kamar ini dengan yang baru."
Hayaning berjalan mendekat, jemarinya menyentuh kelopak mawar yang masih segar, seolah mencoba merasakan kelembutannya. Aroma khas bunga itu samar tercium, selalu membawa ketenangan untuk dirinya.
"Kenapa? Padahal aku tidak lagi di sini?" gumam Hayaning, suaranya nyaris seperti bisikan.
Ben tidak langsung menjawab. Ia mensejajarkan tubuhnya di samping Hayaning, menatap perempuan ini yang perhatiannya teralih pada bunga Rose.
"Karena mawar adalah tanda khusus nan spesial dari Nona," jawab Ben dengan rahang yang megerat.
Hayaning menoleh, mendapati tatapan dalam dari Ben. Lalu mereka saling berhadapan, bersitatap dan seolah waktu melambat di antara mereka.
"Begitu ya," Hayaning lebih dulu membuyarkan suasana yang dapat mengundang bahaya diantara mereka.
"Kalau begitu, keluarlah. Perempuan ini ingin mandi, berganti pakaian, dan beristirahat," ujarnya ringan.
Nada suaranya terdengar biasa saja, tapi di telinga Ben, ada sesuatu yang terasa berbeda. Mungkin hanya perasaannya—atau mungkin memang Hayaning yang tanpa sadar menciptakan suasana terselubung dalam caranya berbicara.
Cepat-cepat Ben menggelengkan kepalanya.
Ia menarik napas panjang, berusaha meredam pikirannya yang mulai berkelana tak baik.
"Baiklah, saya keluar," ujarnya akhirnya, suaranya terdengar berat.
Tanpa menunggu tanggapan, Ben melangkah ke pintu dan keluar, meninggalkan Hayaning yang hanya menatap punggungnya sesaat sebelum berbalik menuju lemari pakaian.
Ia membuka lemari itu, dan di sana, pakaian-pakaian yang pernah Ben belikan masih tergantung rapi dan utuh, seolah menunggu pemiliknya kembali mengenakannya.
"Aku kira dia akan membuangnya," gumam Hayaning pelan, jemarinya menyentuh salah satu pakaian itu, merasakan lembutnya kain yang masih baru.
"Dasar Benji!" Ia tersenyum tipis.
Tanpa ingin berlama-lama, Hayaning segera mengambil pakaian bersih lalu melangkah masuk ke dalam bilik kamar mandi.
•••
Malam itu, Ben memutuskan untuk minum-minum. Ia amat membutuhkannya untuk meredakan ketegangan yang menggumpal di kepalanya.
Di kamarnya, ia menuangkan cairan amber ke dalam gelas kristal, membiarkan aromanya memenuhi udara sebelum meneguknya perlahan. Alkohol bisa dikatakan salah satu pelariannya, tetapi hanya cara untuk memberi jeda pada pikirannya yang tak henti-henti bekerja.
Namun kesalnya, otaknya malahan terus memikirkan Hayaning, Hayaning, dan Hayaning. Tidak mungkin, kan? Tidak mungkin perempuan itu mampu membuka gembok yang sudah Ben pasang rapat-rapat?
Ben menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi. "Ini konyol," gumamnya, ia kembali menuangkan minuman lagi dan menegak nya.
"Damn!"
Selain itu, ada sesuatu yang mengikat pikirannya, dan kali ini begitu mengganggu ketenangan hatinya. Ben merasa gelisah, pikirannya tak henti berputar, mencoba mencari tahu alasan di balik tawaran Brata. Ia tak bisa menepis pertanyaan yang terus menggema dalam benaknya. Mengapa Brata begitu bersikeras?
Semua ini berawal dari percakapan dengan Brata tempo hari—percakapan yang seharusnya tidak begitu membekas, tetapi justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Brata sempat menawarkan pernikahan kepadanya dengan Hayaning.
Tentu saja Ben tidak bisa memberikan kepastian saat itu. Lebih tepatnya, ia menolak.
Namun, justru setelah ia menolak, Brata malah terlihat kecewa dan kembali bersikeras untuk menikahkan Hayaning dengan Adipta. Padahal dalam percakapan itu, Ben sudah terang-terangan memberitahu kebejatan apa saja yang sudah Adipta lakukan pada putri bungsunya.
Brata tidak mungkin sebodoh itu, bukan? Tidak mungkin ia bisa dikelabui pria semacam Adipta begitu saja. Apalagi dia akan menjadi menantunya.
Atau mungkin, ada sesuatu yang luput dari perhitungannya?
"For fuck sake!" Ben mendengus kasar, jemarinya mencengkeram gelas minumannya dengan erat.
Ia menyadari bahwa pria tua itu sedang merencanakan sesuatu dengan menggunakan pernikahan putri bungsunya.
Ben menerka. Bahwa ada dua kemungkinan—Brata menjodohkan Hayaning dengan Adipta sebab untuk menyelamatkannya dari sesuatu, atau justru menjadikannya kambing hitam demi ambisi dan tujuannya sendiri.
di tunggu bab selanjutnya 💪😊