Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22.00
..."Tuhan, aku lelah."...
...____________...
Malam larut, kini telah hadir. Seulas cahaya bulan telah menerangi sosok indah yang berdiri dalam kegelapan. Angin berhembus kencang membawa dedaunan yang menerpa sosok itu, seolah memberi pelukan kasih padanya.
***
Suara dering ponsel terdengar nyaring di atas tempat tidur. Mengundang kekesalan seorang pria tua yang tengah menghirup cerutunya dengan tenang. Ia berdiri dengan malas untuk meraih ponselnya yang berada di atas ranjang. Keningnya mengerut, melihat nomor tak dikenal menelponnya beberapa kali. Ia segera memencet tombol hijau di layar, lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Hallo, ini dengan pak Hendra? Selaku ayah dari ananda Jihan Alessa?" Suara di seberang telpon mengejutkan Hendra dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut.
Hendra menghembuskan asap dari cerutunya dengan ahli. "Ya, ada perlu apa menelpon saya malam hari seperti ini?" Sahut Hendra santai, namun tetap formal.
“Begini, Pak… saya barusan dapat laporan dari guru piket. Jihan tidak hadir di jam pelajaran sejak pagi. Kami sudah cek, dia juga tidak mengajukan izin.”
Hendra terdiam sejenak, menatap meja. "Maksud bapak... Jihan bolos?" Pria itu melirik tirai jendelanya dengan tatapan menajam.
“Iya, Pak… sepertinya begitu. Saya selaku wali kelas Jihan, sangat khawatir karena tidak tahu dia ke mana. Teman-temannya juga tidak melihat dia di sekitar sekolah,” katanya menjelaskan.
Hendra mempererat cengkraman tangannya pada ponsel. “Baik, Pak. Saya akan coba cari dia. Kalau ada kabar dari pihak sekolah, tolong segera hubungi saya," balas Hendra menahan amarah yang hampir meledak.
“Siap, Pak Hendra. Kami juga akan terus mencari informasi.”
Telepon itu segera berakhir. Lalu, tiba-tiba Hendra membanting ponselnya ke lantai ubin dengan keras, hingga layar hpnya pecah berserakan.
"Anak kurang ajar!" Setelah Hendra melihat nilai Jihan dari link grup kelas Ganesa. Kini ia harus mendengar putrinya juga tengah membolos sekolah?
Sepertinya, Jihan tidak tahu jika perilakunya mengundang masalah lebih besar dari pada sekedar nilai akademiknya yang buruk.
Mira yang baru saja datang ke dalam kamar terkejut melihat kemarahan suaminya. Ia segera mendekat dengan raut panik. "Kamu kenapa, mas?" Tanya wanita tua itu melihat kepingan ponsel yang sudah hancur di lantai.
Hendra mendengus, mengambilnya kunci mobilnya di meja dengan gerakan kasar. "Anakmu menyusahkan! Jika saja aku bisa bertindak kejam, mungkin waktu itu aku memilih untuk menceraikanmu dan menelantarkan anak haram itu!!" Sahutnya membentak, membuat Mira kaget.
"Apa maksudmu, mas? Apa kamu masih gak percaya sama aku? Jihan itu anak kamu mas!" Ujar Mira mencoba menjelaskan dengan jujur.
"Anak?"
Pyar!
Suara pecahan kaca terdengar nyaring di dalam kamar sepasang suami istri itu. Tak kala Hendra mengehembaskan tangannya di atas meja, sehingga barang-barang yang berada di meja banyak yang terjatuh di lantai.
Mira menutup matanya terkejut sekaligus takut.
"KAU MASIH BISA BERBICARA SEPERTI ITU? SETELAH AKU MELIHATMU BERPELUKAN DENGAN LELAKI LAIN DI BELAKANGKU?!! LALU ESOKNYA, KAU HAMIL ANAK ITU!! BAGAIMANA BISA KAU MENYURUHKU PERCAYA BAHWA ITU BENAR-BENAR ANAKKU, HAHHH!!?" teriak Hendra murka. Wajahnya sudah memerah dengan urat yang menonjol di rahang.
Mira menggelengkan kepalanya tak percaya, matanya mulai memerah. "Aku gak pernah peluk lelaki lain, mas!! Waktu itu kamu mabukk!! Kamu—"
"Diam!!" Potong Hendra tak ingin mendengar lebih lanjut.
Setetes air telah jatuh dari pelupuk mata Mira. Tangannya mengepal erat dengan ribuan kebencian yang tertuju pada putrinya sendiri. Jika saja waktu itu Jihan tidak hadir, maka konflik rumah tangga ini tidak akan terjadi. Itulah mengapa Mira sangat membenci Jihan!
****
Udara dingin menusuk kulit gadis yang masih mengenakan seragam putih yang kusut. Ia sedang duduk di atas pembatas jembatan yang di bawahnya terdapat sungai mengalir. Cahaya bulan sabit tampak indah di pandangnya. Rambutnya menarinya pelan mengikuti alunan angin.
Jihan kangen Tuhan. Boleh gak Jihan hidup sama Tuhan aja? Jihan capek jadi orang yang selalu di benci dunia.
Kalimat polos itu terlontar dari hati Jihan yang terdalam. Keindahan parasnya menipu, sesiapapun yang melihatnya akan mengira dia adalah gadis paling bahagia di dunia. Tapi kenyataannya, tidak seindah pandangan orang asing terhadap hidupnya.
Hidup seorang Jihan Alessa.
Perlahan Jihan segera turun dari pembatas, ia mengecek jam dari ponselnya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dalam benaknya sedikit khawatir jika Hendra akan mengetahui jika dirinya membolos. Jihan tidak bisa membayangkan akan semarah apa Hendra nanti.
Perlahan langkah kakinya menelusuri pinggir jalanan yang di terangi oleh beberapa cahaya remam dari tiang lampu jalan.
Namun ketika ia ingin menyeberang, ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya. Sinar putih yang silau membuyarkan pandangan Jihan. Tubuh gadis gemetar saat mengira ajalnya sudah dekat. Tapi...
Wushh!
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan tubuh Jihan, jaraknya hanya beberapa senti, nyaris menyentuhnya.
Kemudian, pintu mobil terbuka kencang. Sosok pria yang ia takutkan telah turun dari mobil itu. Rasanya, jantung Jihan terasa berhenti berdetak. Lututnya lemas. Tangannya gemetar sembari mencengkram erat seragamnya yang kusut.
"Papah..." Lirihnya.
Hendra menatap tajam Jihan dari bawah hingga atas. Aura di sekitar seketika mulai berubah. Tanpa berkata apapun, sebuah tamparan keras mengenai pipi mulus Jihan hingga memerah membentuk tangan.
Sudut bibirnya bahkan mengeluarkan sedikit cairan merah, karena tenaga Hendra yng tak main-main.
"Setelah saya bayarin kamu sekolah mahal-mahal, kamu seenaknya saja membolos?!! MAU JADI KAMU JIHAN?!! GELANDANGAN? IYA?!!" Bentak Hendra berapi-api.
Jihan hanya bisa menunduk takut. Menjawab pun percuma karena ia akan kembali di salahkan.
"JAWABB!! PUNYA MULUT KANN!??" Pria itu mendorong-dorong kepala Jihan dengan jarinya. "OTAK ITU DI PAKE!!"
Maaf.
Maaf.
Hanya itu yang bisa Jihan ucapkan, meskipun hanya di dalam lubuk hati.
"Dasar anak tidak berguna!! Masuk! Anak kayak kamu ini memang perlu di hajar biar tahu rasa!!" Hardik Hendra menarik tubuh Jihan kasar ke dalam mobilnya.
________
Spoiler!
"Lo emang pantes mati."
"Gak ada yang pengen lo lahir. Jadi gak usah ngerasa penting!"
kasihan banget jadi jihan
semangat ubii/Bye-Bye//Applaud/
semangat y nulisnya /Bye-Bye/