Dewangga tidak menyangka, perselingkuhan yang akan dia akhiri justru telah terendus oleh sang istri, Maira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Betti Cahaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Proses
"Terus kita ke psikolog kalo perlu ke psikiater, biar kita tahu seberapa parah trauma kamu sama Dewangga, dan kamu harus sembuh!" usul Sila berapi-api.
"Oke, Sil! Makasih, ya udah support aku," ucapku padanya.
"Sama-sama, May."
"Sil, boleh aku numpang tinggal di rumah kamu?" tanyaku memberanikan diri.
"Boleh aja, May. Tapi kenapa?" tanya Sila.
"Itu rumah Bang Dewa, aku ngerasa nggak berhak di sana!" jawabku jujur.
"Hey ... itu rumah kalian, harta bersama, tentu saja ada hakmu di sana, lagian itu rumah impian kamu, kamu sendiri yang desain dari luar sampai ke dalam-dalam, kamu yakin mau pergi dari sana?" tanya Sila.
"Iya, tapi apa artinya kalo rumah itu sepi tanpa anak-anak!" sanggahku.
"Kamu harus mempertahankan yang ada, bukan mentang-mentang Dewa yang kerja semua jadi milik Dewa, kan?" ucap Sila.
"Tapi Sil--"
"Jangan pergi dari sana, emangnya enak apa memulai semuanya dari O? Udah ... jangan tinggalin rumah itu, fasilitas yang ada kamu pakai sesuai kebutuhan," tutur Sila meyakinkanku.
***
Pekerjaan yang Koko Lian padaku kukerjakan dari rumah, meski butuh waktu untuk mengerjakannya karena aku sudah vakum cukup lama, tapi aku berusaha melakukan yang terbaik.
Aku pun mulai menjalani terapi untuk mengatasi kecemasan, ketakutan, dan traumaku. Melawan alam bawah sadarku yang porak poranda penuh luka. Bayangkan saja, sesudah diselingkuhi tiba-tiba dipisahkan dengan anak-anak. Bagaiman pun aku harus memantaskan diri untuk mendapat hak asuh anak-anak. Aku harus bisa.
Hampir setiap malam aku selalu bermimpi buruk. Melihat Guntur menangis namun aku tidak bisa menggendongnya. Sementara Luna dan Lintang berlari di tengah gurun pasir yang terik dan panas, tiba-tiba mereka menghilang dari pandanganku.
Aku terbangun dengan nafas terengah-engah, keringat dingin bercucuran, dan jantung yang berdegup kencang. Aku merindukan mereka setengah mati, tega sekali Bang Dewa merampas nyawa-nyawaku. Setelah itu aku hanya bisa menangis sendiri berharap setelah semua peristiwa pahit yang kulalui, semesta akan berpihak padaku.
Aku harus mengkonsumsi obat penenang dan obat tidur, jika tidak maka aku akan terjaga sepanjang malam karena merindukan anak-anakku. Perlahan ASI-ku pun mengering, karena tidak lagi kupompa untuk Guntur. Kubuang semua persediaan ASIP yang kusimpan, aku kecewa dan sangat marah pada semesta karena ini.
Semua akses komunikasi diputus oleh Bang Dewa, bahkan bik Tuti yang sudah bertahun-tahun ikut denganku juga tidak bisa kuhubungi. Apalagi ibu mertuaku dan ipar-iparku, semua seiya sekata dengan titah Bang Dewa.
Sebagai seorang ibu aku merana, sangat buntu dan putus asa.
Sebulan telah berlalu, emosiku perlahan mulai stabil. Aku sudah bisa ikhlas dan berdamai dengan keadaan. Tidak ada hal buruk yang terjadi, tanpa seijin-NYA, bukan? Semua sudah terjadi, bukan kuasaku dan bukan kuasa Bang Dewa.
Sidang sudah berlangsung 2 kali, aku tidak melawan, hanya memberikan bukti-bukti yang ada. Bang Dewa sangat gigih memperjuangkan hak asuh anak-anak. Menurut sudut pandangnya akulah yang bersalah karena tidak menerima permintaan maafnya.
Penolakanku untuk datang ke psikolog waktu itu dijadikan senjata bahwa akulah yang tidak mau memperbaiki diri dan mempertahankan pernikahan. Entahlah, memang sangat tidak adil untukku, tapi begitulah Bang Dewa, segala cara akan dilakukannya.
Hari ini aku ada janji bertemu dengan Koko Lian di sebuah cafe, desaign yang dia minta sudah rampung kukerjakan.
"Hay May, maaf nunggu lama," ucapnya.
Aku pun berdiri dari kursiku untuk menyambutnya. Koko Lian meletakan kacamata hitamnya di meja, kedua kemejanya dilipat hingga ke lengan, dia tidak memakai jas seperti bos-bos pada umumnya, tampangnya yang oriental cukup lumayan, entah kenapa dia masih betah menyendiri hingga sekarang.
"Nggak papa, Ko. Ini yang Koko minta, maaf aku ngerjainnya lama," ucapku dengan tidak enak hati, Koko Lian sudah begitu baik dengan membayar honorku full di muka.
Koko Lian bahkan tidak melihatnya dan duduk dengan santai sambil meminum jus yang sudah kupesankan sebelumnya.
"Makasih, May," ucapnya.
"Sama-sama, eh Ko, nggak diliat dulu, kali aja ada bagian yang Koko nggak suka?" tanyaku.
"Udah pasti bagus, aku percaya," jawabnya dengan pede, dan aku menjadi salah tingkah karenanya.
"Aku punya kenalan dan dia butuh seorang sepertimu di perusahaannya, kamu mau kerja formal atau tetep freelance kaya gini, May?" ucap Koko Lian.
Aku tidak percaya mendengarnya, sebuah kesempatan besar untuk menjadi mandiri sepenuhnya.
"Mau, Ko, aku mau!" jawabku cepat.
Koko Lian menyodorkan sebuah kartu nama di depanku.
"Datang ke alamat ini jam 7 pagi, bilang saja kamu temannya Julian," ucap Koko Lian lagi.
Benar kata Sila, memulai semua dari nol tidaklah mudah, dan aku beruntung memiliki relasi dari Koko Lian. Aku tersenyum sumringah, kurasa ini adalah jalan bagiku untuk bahagia.
"Nah, gitu kan cantik," ucap Koko Lian seraya memperhatikanku, aku tidak sadar ternyata Koko Lian memperhatikanku sedari tadi.
"Hah?" Wajahku bersemu merah.
"Kamu tau kenapa aku masih sendiri, May?" tanya Koko Lian.
Dulu Koko Lian memang pernah mendekatiku, jangan-jangan Koko Lian masih menyukaiku?
Apa alasan Koko Lian belum menikah karena masih mencintaiku?
Ini mimpi atau bukan?
Oh Tuhan, jangan sekarang!
Aku masih trauma.
"Eng-enggak tau, Ko!" jawabku salah tingkah.
"Karena aku nggak mau kejebak hubungan toxic dan saling mengikat!"
Hah!
Apa?
Ah, aku terlalu pede rupanya.
Ini kehidupan nyata, tidak mungkin jalan kehidupanku sepicisan itu. Bodohnya kamu, May!
Kuraih gelas jus dan langsung menyesapnya, mencoba menyembunyikan diriku yang sudah terlalu kepedean.
"Keputusanmu berpisah dengan Dewangga sudah bagus, masing-masing kalian layak bahagia, meski jalannya harus berbeda," lanjut Koko Lian dengan bijak.
Memang, dewasa ini banyak orang modern, memilih hidup dengan menghindari komitmen. Mereka tidak menikah dan memilih melajang untuk menjalani kehidupan yang minim masalah.
Rupanya Koko Lian pun begitu. Malunya aku telah salah sangka.
"Aku dengar sidang kalian cukup sengit, May? Apa benar, Dewangga melarangmu menemui anak-anak kalian?" tanya Koko Lian.
"Iya, Ko," jawabku seraya mengangguk.
"Orang seperti Dewangga nggak bisa dilawan dengan keras, harusnya kamu memilih cara yang lembut," ucap Koko Lian.
"Maksudnya gimana, Ko?" tanyaku tidak mengerti.
"Cobalah rebut hatinya, semakin kamu keras Dewangga juga keras, dan kamu tahu Dewangga jauh lebih kuat, bisa dipastikan kamu akan kehilangan segalanya."
Aku sedih mendengar ucapan Koko Lian, sedih karena kenyataannya memang begitu.
"Lalu aku harus gimana, Ko?" tanyaku.
"Dekati dia, bicara dari hati ke hati, cari jalan tengah, mengalah, coba ikuti permainan Dewangga, maka kamu akan tahu langkah selanjutnya harus bagaimana," tutur Koko Lian.
"Ndeketin Bang Dewa?" tanyaku terkejut.
"Maira ... laki-laki itu harus ditarik kadang diulur, dan kamu udah ngulur Dewangga terlalu jauh," tuturnya.
"Aku nggak mau rujuk sama Bang Dewa lagi, buat apa aku main tarik ulur!" tolakku.
"Tapi saat ini kamu butuh kebaikan Dewangga untuk bisa ketemu lagi sama anak-anakmu," ucap Koko Lian.
"Oh iya, betul juga," gumamku.
"Kalau Dewangga licik, kamu juga harus bisa memainkan trik!" lanjut Koko Lian.
Bagaimana pun Bang Dewa membawa separuh jiwaku, separuh nafasku. Oh bukan! Bang Dewa membawa semuanya, jiwa dan nafasku, aku seperti mayat hidup yang pura-pura bernafas setelah berpisah dari anak-anak.
"Aku terlalu fokus pada terapi dan pengobatanku, dan lalai pada hal sepenting ini," tuturku.
"Terimakasih, Ko, udah ngingetin," ucapku.
"Sama-sama." Koko Lian kembali meminum minumannya.
"Aku nggak nyangka, Koko Lian tau juga pada hal seperti ini, padahal Koko Lian belum menikah," ungkapku padanya, aku mengagumi kecerdasannya.
"Aku ahli strategi, May, bukan cuma dalam bisnis. Hampir setiap masalah, strategi itu penting. Kamu harus mengamati lawanmu, dekati, baru kamu bisa tahu kelemahannya."
Aku diam mengagumi sisi lain Koko Lian. Ternyata dia luar biasa.
"Ah sudahlah, kamu bisa bertanya padaku jika ada sesuatu yang sulit," tuturnya lagi.
Apa aku terlihat bodoh saat sedang mengaguminya tadi?
"Iya, terimakasih, Ko!"
"Ngomong-ngomong, Koko perhatian juga sama kasus perceraianku, kenapa Ko?" tanyaku.
Koko Lian yang sedang meminum minumannya tiba-tiba tersedak.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk!"
.
.
.
.
.
.
.
.