Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjuangan
Aldrich sudah menunggu di depan rumah sejak lima menit sebelum jam yang dijanjikan. Begitu Audy keluar rumah dengan wajah kusut—sangat kusut, Aldrich langsung tahu: pagi ini berbahaya.
David muncul dari ruang tamu dengan senyum tipis khas ayah yang sedang memantau calon menantu.
“Pagi, Aldrich,” sapa David ramah.
“Pagi, Pak David,” jawab Aldrich sopan.
“Tetap ingat, masa training masih panjang.”
“Siap, Pak.”
Audy lewat begitu saja, tidak menyapa Aldrich, tidak juga menatapnya.
Gadis dengan rambut curly itu langsung masuk mobil.
Aldrich mengedip beberapa kali. Oke. Ini lebih buruk dari kemarin.
Begitu mobil melaju keluar gerbang, barulah ia membuka suara.
“Pagi yang ben—”
“Jangan mulai,” potong Audy datar, memeluk perutnya.
Aldrich langsung diam.
Detik berikutnya, ia sadar Audy bukan sekadar badmood: wajahnya menegang, bibirnya dikatup rapat.
“Audy?”
“Jangan bicara dulu…”
“Sakit?”
“Perutku… ngghh… Sumpah sakit sekali.”
Aldrich langsung panik—yang untuk ukuran CEO kelas dunia, hal seperti ini tidak terjadi.
Mobil berhenti sesaat karena kepadatan lalu lintas, padat merayap tapi tidak total macet.
Audy menunduk, tangannya memegangi perut lagi.
Sekali dua kali ia meringis.
“Aku mau berhenti dulu… Al, tolong… pom bensin apa saja… toilet…”
“Oke, oke, aku cari—”
Tapi menepikan mobil dalam situasi itu tidaklah mudah.
Sisi kiri penuh.
Sisi kanan penuh.
Semua kendaraan menyalakan klakson seperti sedang adu suara paling menyebalkan di dunia.
Audy mulai naik pitam.
“YA AMPUN KENAPA HARI INI ORANG-ORANG SUKA SEKALI MENGKLAKSON?!”
Aldrich mencoba menahan senyum meski cemas.
“Kau ini sedang sakit atau sedang marah pada dunia?”
“DUA-DUANYA!!”
Aldrich tidak berani menanggapi.
Ia fokus mencari celah.
Mobil di depan maju sedikit, Aldrich segera mengambil kesempatan itu. Ia belok cepat ke kiri, lalu menyalip sebuah truk yang berjalan lamban, masuk ke lajur kiri menuju area SPBU yang terlihat di kejauhan.
“Enghhh—sshhh—CEPAT ALDRICH! POM BENSIN ITU! CEPETTT!”
“Tenang, sayang, aku sudah melihatnya,” jawab Aldrich sambil mempercepat laju.
Begitu roda mobil menyentuh area SPBU, Audy langsung cosplay jadi kondektur bus.
“STOP!”
Belum sempat mobil berhenti sempurna, Audy sudah membukakan pintu dan lari.
Benar-benar lari.
Padahal heels 5 cm itu masih melekat di kakinya yang berukuran 38 itu.
Aldrich kaget.
“Audyyy! Eh—tunggu! Jangan lari begitu!”
Tapi gadis itu sudah menghilang masuk ke bangunan toilet umum SPBU.
Aldrich turun sambil mengacak rambutnya.
Ia berjalan cepat, setengah ikut berlari menyusul.
“Audy! Astaga… kenapa pacarku selalu drama pagi-pagi…”
Tapi ia tetap mengejar. Karena sekalipun drama, itu dramanya Audy—dan dia sudah jatuh cinta pada semua paket lengkapnya, termasuk badmood level dewa.
Ia berhenti tepat di depan pintu toilet wanita, tidak bisa masuk. Tentu.
“Audy? Kau oke?”
Dari dalam terdengar suara Audy mengerang, “AAAAAAAAKHH! Sakit sekali sumpah! ALDRICH, JANGAN TANYA APA-APA DULU!!”
Aldrich langsung berdiri tegak seperti prajurit ditegur jenderal.
“O-oke… aku berdiri saja di sini. Tarik napas. Pelan-pelan.”
Seorang ibu-ibu petugas kebersihan lewat dan menatap Aldrich yang berdiri kaku di depan toilet wanita.
“Adiknya, Mas?”
“Bukan. Calon istri.”
“Oh pantas gelagatnya panik.”
“Iya Bu…”
Aldrich berdiri setia, wajahnya tegang tapi bertekad.
Setengah panik, setengah pasrah pada tingkah pacarnya yang luar biasa penuh warna.
Setelah beberapa menit, pintu terbuka sedikit.
Audy mengintip dengan wajah kusut dan berkeringat.
“Aldrich…” panggilnya lirih tapi mendesak.
Aldrich yang masih ngos-ngosan karena ikut lari mengejar Audy, langsung mendekat. “Ya, sayang? Kenapa? Sakit sekali, ya?”
Audy menggigit bibir, menahan kram. Lalu menatap kanan kiri memastikan tak ada orang lewat, sebelum akhirnya berbisik dengan nada memerintah yang terdengar lebih seperti rengekan.
“Bel—li—kan—aku… pembalut.”
Aldrich: “…”
Wajah CEO dingin itu langsung freeze seperti aplikasi nge-lag. “Apa?” tanyanya, memastikan telinganya tidak salah dengar.
Audy mendesis. “Aldrich. Aku butuh. Sekarang. Yang 29 cm. Yang ada sayapnya. Cepat.”
Aldrich sekali lagi: “…”
“Jangan melongo!” Audy mendelik. “Ini darurat.”
Aldrich menelan ludah. “O-oke. Iya. 29 cm. Ada sayap. Sayapnya dua? Atau—”
“Aldrich!” Audy sudah hampir melempar sendal.
“Iya iya iya! Aku pergi sekarang!”
Aldrich berbalik dan langsung berlari menuju minimarket SPBU, tapi beberapa langkah kemudian ia berhenti mendadak, kembali menoleh.
“Sayang! Itu… mereknya apa?!”
Audy menatapnya seperti ingin menabok, “Apa saja! Yang penting 29 cm dan bersayap! BUKAN yang tipis-tipis! Jika salah, kau tak usah jemput aku seminggu!”
Aldrich: “Noted! 29 cm! Ada sayap! Bukan yang tipis! Ya Tuhan…”
Ia pun kembali berlari, kali ini lebih cepat, seperti sedang misi rahasia tingkat internasional.
......
Begitu masuk minimarket, matanya langsung membesar.
Deretan pembalut berbagai warna dan jenis terpampang di rak depan.
Aldrich berdiri mematung.
“…Kenapa ukurannya lebih banyak dari varian kartu kredit?!” gumamnya panik.
Pegawai kasir menatapnya curiga.
Aldrich menghela napas panjang, menepuk pipinya sendiri. “Oke, Aldrich. Kau CEO. Kau bisa jelaskan pada investor tentang merger ribet. Masa memilih pembalut saja tidak bisa?”
Lalu ia mulai membaca satu per satu kemasan dengan serius—seperti menilai proposal billion-dollar.
Sementara itu, dari dalam toilet, Audy mendesis sambil memegangi perut. “Jika dia sampai salah beli, aku sumpahi klakson mobil dia bunyinya cuit-cuit tiga hari.”
.......
Aldrich berdiri di depan rak pembalut dengan ekspresi seperti baru saja dilempar ke ujian nasional tanpa kisi-kisi. Satu tangannya bertolak pinggang, satu lagi memegang dua kemasan yang bentuknya mirip tapi entah mengapa keduanya sangat berbeda menurut tulisan di kemasannya.
“Kenapa harus ada yang night, yang day, yang extra wing, super wing, ultra slim, super slim, anti overflow, anti bocor samping, anti bocor belakang—Audy maunya yang mana tadi?!”
Ia mengacak rambutnya sendiri.
Seorang pegawai minimarket, wanita sekitar dua puluh lima tahunan—melihat penderitaan itu dari jauh. Setelah memperhatikan Aldrich bolak-balik di satu rak selama lima menit, ia menghampiri.
“Maaf, Pak… boleh saya bantu?”
Aldrich langsung menoleh cepat. “Tolong. Tolong sekali. Saya butuh pembalut yang 29 cm dan ada sayapnya. Bukan yang tipis. Katanya darurat.”
Pegawai itu menahan senyum. “Ooh, itu gampang, Pak. Ini yang paling sesuai.” Ia mengambil satu kemasan warna biru tua dari rak paling ujung. “Ini 29 cm, wing, dan bukan tipe ultra-slim. Biasanya dipakai untuk hari pertama.”
Aldrich menghela napas lega seperti baru saja menemukan air di gurun. “Ya itu! Itu dia! Kenapa tidak taruh di depan saja? Saya tadi baca semua merek sampai hampir hapal slogan mereka.”
Pegawai wanita itu terkekeh. “Tenang, Pak. Banyak laki-laki yang panik saat disuruh beli beginian. Tapi setidaknya… Bapak mau coba.”
Aldrich mengangguk. “Demi wanitaku, apa sih yang tidak.”
Senyum si pegawai semakin melebar. “Sweet juga, ya.”
Aldrich berdeham, mencoba mengembalikan wibawa CEO-nya yang tercerai-berai di antara rak pembalut. “Baik. Pembalut dapat. Sekarang… minuman anti nyeri itu ada di mana?”
Pegawai itu menunjukkan arah. “Di sebelah chiller, Pak. Biasanya ini yang paling sering dibeli perempuan saat menstruasi.” Ia mengambil satu botol minuman herbal anti kram.
Aldrich menatap botol itu dengan penuh harapan. “Bagus. Bagus sekali. Saya ambil tiga.”
Pegawai: “Tiga?”
Aldrich mengangguk mantap. “Jika satu tidak cukup dan dia masih marah-marah, saya punya cadangan.”
Pegawai itu tertawa kecil.
Aldrich kemudian melirik rak sebelah yang penuh cemilan. “Sekalian… cemilan yang bisa memperbaiki mood perempuan saat… ‘begituan’ apa?”
Pegawai itu mengangkat alis, tertawa lagi. “Biasanya yang manis-manis, Pak. Coklat, atau cookies. Ada juga keripik jika pasangan Bapak tipe yang suka meremukkan sesuatu saat badmood.”
Aldrich mengambil dua coklat, satu cookies, dan satu keripik. “Oke. Semuanya.”
“Semuanya untuk pacar Bapak?” tanya pegawai itu sambil tersenyum menggoda.
Aldrich menggeleng cepat tapi wajahnya memerah. “Calon istri. Jika lolos training tiga bulan.”
Pegawai itu tertawa geli. “Wah… semoga masa trainingnya lancar, Pak.”
“Terima kasih. Doakan saya tidak salah beli pembalutnya saja dulu.”
Mereka menuju kasir. Kasir wanita yang menjaga mesin pembayaran sudah memperhatikan sejak tadi. Saat ia melihat barang-barang yang diletakkan Aldrich di meja—pembalut 29 cm wing, minuman anti nyeri, coklat, cookies, keripik—senyumnya mengembang.
“Wah… perhatian sekali ya, Pak.”
Aldrich mengangkat kedua tangan sedikit, pasrah. “Saya hanya ingin hidup saya damai hari ini.”
Kasir tertawa. “Ini laki-laki idaman banyak perempuan. Mau repot demi pasangan.”
Aldrich hanya tersenyum tipis sambil menggesek kartu. “Pasangan saya bisa marah pada semua klakson mobil di Jakarta jika saya tidak lakukan ini.”
Kasir dan pegawai langsung tertawa bersamaan.
Setelah kantong belanja siap, kasir menyerahkannya dengan rasa salut. “Semoga pacarnya cepat membaik, ya, Pak.”
Aldrich mengangguk, mengangkat kantong itu seperti misi rahasia yang harus segera diselesaikan. “Akan saya pastikan. Terima kasih. Kalian penyelamat saya hari ini.”
Lalu ia bergegas keluar minimarket, siap kembali pada Audy dengan barang-barang ‘perjuangan’ itu.