NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Benih Harapan yang Mulai Tumbuh

Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai tipis kamar asrama, menyorot debu yang menari lembut di udara hangat namun sejuk. Aroma daun gugur yang dibawa angin dari luar terasa samar, membawa sensasi hangat tapi juga sedikit sepi. Suara burung dari pepohonan yang mulai berubah warna terdengar halus, seakan membisikkan janji hari baru yang menenangkan.

Rasa berat yang selama ini menghuni dadaku terasa sedikit mereda, digantikan oleh sesuatu yang lebih ringan—rasa lega, campur aduk dengan harapan. Aku tersenyum tipis pada bayangan diriku sendiri di cermin, seolah mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini bukan sekadar mimpi. Malam itu di tepi danau, setiap kata yang Nick ucapkan, setiap janji yang ia buat, masih terasa hangat di hatiku.

Langkahku pelan saat meninggalkan tempat tidur, menapaki lantai kayu yang dingin di bawah kakiku. Suara napasku bergelombang, hati berdegup cepat, tapi ada ketenangan yang aneh—seolah dinding-dinding kamar ini bukan lagi sekadar saksi kesedihan, tapi juga saksi awal babak baru.

Ponsel tergeletak di atas meja, tanpa notifikasi baru. Tapi aku tidak lagi merasa cemas seperti kemarin. Aku tahu, Nick menepati janjinya. Aku menutup mata, menarik nafas panjang, membiarkan bayangan senja kemarin memelukku kembali dalam keheningan pagi ini.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Nina muncul dengan senyum cerah yang selalu berhasil mencuri sebagian ketegangan dari hatiku. “Pagi, Nora! Bagaimana rasanya setelah… ehm, kemarin?”, suaranya ringan, tapi ada kilau rasa ingin tahu yang tidak bisa disembunyikan.

Aku menoleh, tersenyum tipis tapi tulus, mata yang semalam penuh air mata kini sedikit lebih cerah. “Aku… baik, Nina. Lebih baik daripada sebelumnya,” jawabku, mencoba nada ringan tapi terdengar yakin. “Semua masalah… aku rasa… sudah mulai terselesaikan.”

Nina menatapku dengan penuh arti, mengangguk pelan. “Aku senang mendengarnya. Kupikir kamu akan lebih lama menyimpan semua itu sendiri.”, Ia tersenyum hangat, dan aku merasakan rasa aman yang ia berikan padaku.

“Nick… apa yang dia katakan tentang Alice? Apa dia berjanji akan lebih tegas untuk menentukan batasan padanya?”, tanya Nina sambil duduk di tepi ranjang. Ada nada penasaran dalam suaranya, tapi juga ada rasa lega terselip di setiap kata.

Aku mengangguk, senyumku mengembang sedikit lebih lebar. “Ya, Nina. Nick benar-benar menyesali perbuatannya, dan dia berjanji akan memperbaiki semuanya. Termasuk kepeduliannya pada Alice.”

Senyum Nina melebar, matanya bersinar. “Itu yang kubilang! Hatinya… hanya untukmu, Nora. Nick… dia pria yang baik, mungkin kadang terlalu baik. Tapi, aku yakin dia sangat mencintaimu, dan dia sama sekali tidak akan keberatan untuk menjaga sikapnya yang terlalu baik itu, agar tidak membuatmu salah paham dan sakit hati lagi.”

Aku menunduk, tangan bermain-main dengan ujung baju sendiri. Ada getar di dada—bukan cemas, tapi campuran antara kebahagiaan dan ketakutan halus. Aku takut terlalu berharap, takut jika semua ini hanyalah sementara. Tapi di saat yang sama, ada keyakinan yang tak terbantahkan, bahwa malam kemarin bukanlah kebetulan, bukan ilusi—Nick benar-benar tulus.

Setelah beberapa menit berbincang, kami bersiap untuk berangkat ke kampus. Matahari semakin tinggi, dan sinarnya mulai menghangatkan kulit. Aku menatap keluar jendela, menyerap setiap warna hijau daun dan biru langit yang terasa begitu hidup hari ini.

“Siap berangkat?”, tanya Nina, menyambar tasnya.

Aku mengangguk, menarik napas dalam, dan mencoba tersenyum kembali. “Ya.”

Kami melangkah keluar, kaki menapak di jalan setapak asrama yang dipenuhi cahaya pagi. Angin menyisir rambutku, menimbulkan rasa sejuk yang menenangkan. Nina berjalan di sampingku, dan setiap kata ringan yang ia ucapkan terasa seperti musik penghibur bagi hatiku.

“Eh, Nora… aku tahu hatimu baru saja merasa lebih baik. Tapi, sepertinya kamu harus mempersiapkan hatimu untuk hal lainnya yang lebih mendesak."

Aku menautkan kedua alis. "Hal lain yang lebih mendesak?", tanyaku, tidak mengerti.

Nina menyunggingkan senyuman miring padaku. "Ya. Kelas ekonometrika bisnis pagi ini. Kamu jelas tidak bisa mengabaikannya, jika tidak mau bermasalah dengan dosen killer itu."

Aku tertawa kecil, meski hati masih sedikit berdebar, tapi ada rasa hangat yang merayap perlahan ke seluruh tubuhku. “Aku akan berusaha.” jawabku, menyadari bahwa hari ini terasa… berbeda. Lebih ringan, lebih aman, meskipun harus diawali dengan kelas ekonometrika. Seperti pagi ini membawa janji baru, janji yang lahir dari keberanian dan pengakuan hati.

Kami berjalan menuju fakultas bisnis, suara langkah kaki kami berpadu dengan hiruk-pikuk mahasiswa lain. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti berada di dunia yang sedikit berbeda—dunia di mana ketegangan hati yang kemarin menjeratku kini sedikit demi sedikit mencair.

Di dalam hatiku, benih harapan mulai tumbuh lebih nyata. Benih yang Nina sebutkan malam sebelumnya, kini tidak lagi samar. Aku bisa merasakan ia merambat perlahan ke setiap sudut hatiku, memberi keberanian untuk percaya lagi.

Selama perjalanan ke kelas, aku terus mengingat malam di tepi danau. Kata-kata Nick, tatapannya, genggaman tangan kami yang sederhana namun penuh makna. Semua itu terasa hidup kembali, dan aku tersenyum sendiri.

Di kelas, aku duduk di barisan tengah, jantung masih berdebar tapi lebih tenang. Aku mencoba menyimak penjelasan dosen, tapi pikiranku sesekali melayang, membayangkan Nick menunggu di kantin nanti, seperti janji yang tak pernah ingkar.

Saat bel istirahat berbunyi, aku dan Nina keluar. Nina ingin menemui James, sementara aku melangkah ke kantin kampus untuk menepati janjiku pada Nick untuk makan siang bersama. Setiap langkah terasa ringan, meski masih ada kegelisahan samar. Tapi aku tahu, kali ini aku lebih siap. Lebih siap untuk menghadapi apa pun, selama Nick tetap seperti yang aku kenal—tulus, konsisten, dan kini… penuh perhatian padaku.

Di dalam dadaku, ada campuran lega, harapan, dan sedikit kegembiraan. Hari ini, mungkin, akan menjadi hari di mana semua benih yang kemarin disemai, mulai tumbuh dan mekar, perlahan tapi pasti.

Nick sudah menunggu di depan kantin ketika aku tiba. Siluetnya berdiri tegak di bawah pohon mapel yang daun-daunnya jatuh perlahan, seperti serpihan emas yang beterbangan. Dia menoleh, dan begitu mata kami bertemu, senyum itu—senyum sederhana tapi hangat—menyambutku. Senyum yang kemarin sempat kurindukan hingga terasa menyakitkan.

“Hai, Nora! Sudah siap makan siang bersama?”, sapanya pelan, nada suaranya ringan tapi penuh arti.

Aku hanya mengangguk, bibirku melengkung samar. Angin musim gugur meniup helai rambutku ke wajah, dan sebelum sempat aku merapikannya, Nick dengan cepat mengulurkan tangan, menyibakkannya pelan. Sentuhan singkat itu membuat jantungku berdegup sedikit lebih cepat, meski aku berusaha menyembunyikannya.

Kami masuk ke kantin bersama. Ruangan itu dipenuhi aroma khas masakan siang hari—sup hangat, roti panggang, dan kopi hitam yang mengepul. Suara ramai mahasiswa bercampur dengan denting sendok dan garpu. Tapi begitu aku duduk di hadapannya, seolah semua riuh itu mereda. Dunia mengecil, hanya ada aku dan dia di tengah lautan wajah-wajah asing.

Nick menatapku sejenak sebelum fokus pada makan siangnya. “Aku senang... kita bisa makan siang bersama lagi.”, ucapnya, lirih namun mantap.

Aku hanya tersenyum tipis, menunduk seolah sibuk dengan sendok di tanganku. Ada getaran halus di dadaku, sebuah pengakuan tanpa kata, bahwa aku pun merasa sama.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

“Hai, Nick! Ehm... Hai, Nora!”

Suara itu terdengar ringan tapi tajam. Aku menoleh, dan di sana berdirilah Alice—dengan rambut cokelat panjang yang digerai rapi, wajah penuh percaya diri, dan senyum yang lebih mirip tantangan. Dia berdiri terlalu dekat, seolah-olah kehadirannya memang dimaksudkan untuk mengganggu.

“Nick, aku perlu bicara soal acara fakultas hukum minggu depan—karena kita panitia. Ada beberapa detail yang ingin aku tanyakan.”, Alice mencondongkan tubuhnya, nyaris menyentuh bahu Nick.

Aku tercekat, dadaku menegang. Wajahku berusaha tetap tenang, tapi hatiku bergemuruh. Sesaat, bayangan lama kembali—rasa takut bahwa semua janjinya hanyalah kata-kata.

Namun, sesuatu yang tak kuduga terjadi.

Nick bergeser, dengan jelas menjauhkan tubuhnya dari jarak yang Alice coba paksakan. Gerakannya tidak kasar, tapi cukup tegas. Dia menatap Alice dengan tatapan lurus, tanpa ragu.

“Alice!” katanya, suaranya tenang namun tegas, “Kurasa, itu bisa kita bahas nanti saat rapat, dengan yang lainnya. Sekarang aku ingin menikmati makan siangku dulu… bersama kekasihku.”, Ia menoleh sejenak padaku, matanya jernih, seakan ingin menegaskan makna setiap kata.

Alice terdiam. Senyum tipisnya goyah, berubah menjadi garis datar yang menegang. Tangannya yang tadi hampir menyentuh meja kini perlahan ia tarik kembali.

“Baiklah.” jawabnya singkat, nadanya menyimpan kekecewaan. Ia berbalik, melangkah pergi dengan langkah cepat, meninggalkan aroma parfum samar yang segera pudar di udara.

Aku menatap punggungnya hingga menghilang, lalu kembali menoleh pada Nick. Dadaku berdebar tak karuan, tapi kali ini bukan karena cemas—melainkan lega, bahagia, dan takjub.

“Nick…”, suaraku hampir berbisik, nyaris tercekat. “Kamu…”

Dia menatapku sambil tersenyum tipis. “Aku sudah berjanji, bukan? Aku menyesal telah membuatmu salah paham dan sakit hati selama ini. Aku tidak mau lagi ada jarak di antara kita hanya karena aku terlalu… baik pada orang lain. Aku belajar sesuatu, Nora. Kadang, kebaikan yang tidak ditempatkan dengan benar… bisa jadi bentuk pengkhianatan kecil pada orang yang kita sayang.”

Aku terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi terasa berat di dadaku.

Nick melanjutkan, nadanya lebih lembut, “Aku tidak ingin lagi kamu merasa sendirian dalam hubungan ini. Tidak ingin lagi kamu merasa tersisih. Aku ingin kamu yakin… bahwa kamu adalah pusatnya. Satu-satunya.”

Mataku berkaca-kaca, meski aku berusaha menahannya. Aku menunduk, mencoba menyembunyikan wajahku yang memerah.

“Nick…” aku akhirnya berbisik, “aku takut terlalu percaya. Aku takut semua ini hanya sesaat, lalu… aku akan kembali jatuh.”

Nick menggeleng pelan. “Kalau kamu jatuh, aku janji akan selalu jadi orang pertama yang menangkapmu. Nora, aku tidak akan membiarkanmu sendiri lagi. Tidak ada yang bisa menggeser tempatmu di hatiku.”

Hening sesaat. Hanya suara riuh kantin yang mengisi sela, tapi bagi kami, itu terasa jauh.

Aku menatap matanya lama, mencari tanda keraguan sekecil apa pun. Tapi yang kutemukan hanyalah ketulusan, dan itu cukup untuk membuat hatiku luluh.

Senyum perlahan terbentuk di bibirku. “Trims, Nick.”

Dia tersenyum kembali, lalu mengambil sendok. “Sekarang, ayo kita makan! Sebelum makan siang kita dingin, dan itu akan menjadi penyesalan terbaruku.”

Aku terkekeh kecil, rasa hangat menyebar di dadaku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa benar-benar aman. Janji yang ia ucapkan semalam kini terbukti nyata, bukan sekadar kata.

Di dalam batinku, suara berbisik lembut. 'Benih harapan itu… kini mulai tumbuh. Lebih kuat, lebih kokoh. Karena ia disiram dengan bukti, bukan hanya janji.'

1
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Happy reading 😊 Jangan lupa tinggalkan komentar, like dan ulasannya ya. It means a lot 🤗
Yellow Sunshine
Hai, Readers! Happy reading 😊 Jangan lupa kasih ulasannya juga ya 😊
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!