Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjanjian Pernikahan
Setelah kamar Syima terlihat lebih layak huni, meski masih jauh dari kata rapi. Keduanya kini duduk berhadapan di lantai. Syima bersila sambil memeluk bantal kesayangannya, sementara Devanka duduk dengan kaki terlipat, punggungnya bersandar Santai ke dinding.
"Jadi…" Syima membuka suara dengan nada canggung, "kalau kita emang mau lanjutin pernikahan ini, saya ada beberapa syarat, Pak."
Devanka mengangguk, ekspresinya tenang. "Oke. Apa aja?"
"Pertama." Syima mengangkat telunjuk dengan gaya sok serius. "Kita tidur pisah kamar."
Alis Devanka terangkat. "Kenapa?"
Wajah Syima langsung merah. "Ya jelas lah! Kita kan belum… belum…" lidahnya mendadak kaku, "…belum saling kenal baik. Masa langsung sekamar?"
"Begini, rumah saya ada tiga kamar," ujar Devanka sambil berpikir. "Kamar utama, ruang kerja, sama satu kamar lagi yang sekarang dipakai buat gudang."
"Gudang?" mata Syima berbinar aneh.
"Iya. Penuh barang-barang lama. Belum sempat dibersihin. Pokoknya semua barang yang udah gak terpakai disimpan disana."
"Perfect!" Syima langsung bersorak, wajahnya berbinar. "Saya bisa tidur di gudang itu. Saya kan suka yang berantakan, jadi cocok."
Devanka bengong melihat respon Syima. "Yakin?"
"Gak masalah! Malah kerasa kayak di rumah sendiri." Syima menyeringai penuh kemenangan.
Devanka menggeleng pelan. " Saya yang bermasalah. Gak mungkin saya biarkan istri saya tidur di gudang."
"Kan bisa dibersihin dulu, Pak."
"Enggak. Perlu waktu buat bersihin gudang," jawab Devanka tegas.
Syima menggigit bibir, matanya sibuk memutar otak. "Ya udah, gini aja. Bapak tidur di kamar utama, saya di ruang kerja."
"Ruang kerja itu kecil. Terlalu banyak barang disana. Kasur single aja gak akan muat."
"Gak papa, saya bisa tidur di sofa. Ada sofa kan?"
"Tidak, Syima," potong Devanka menekankan kata-katanya. "Jangan harap saya ijinkan kamu tidur di sofa."
Syima menghela napas frustasi. "Terus gimana dong?"
"Tetap satu kamar, tapi beda kasur. Gimana?" jawab Devanka tenang.
Syima terdiam. Wajahnya makin merah. "Beda kasur?"
"Kasur utama buat kamu, saya tambahkan satu kasur single disana. Atau kalau kamu gak nyaman, saya yang tidur di sofa kamar."
"Enggak!" Syima buru-buru menggeleng. "Masa tuan rumah tidur di sofa? Nanti tetangga mikir saya istri jahat."
"Jadi?"
"Ya udah… sekamar beda kasur," ucap Syima akhirnya, suaranya mengecil seperti bisikan.
Devanka tersenyum tipis. "Oke. Lanjut."
"Yang kedua…" Syima mengangkat jari lagi, kali ini lebih percaya diri, "jangan paksa saya jadi istri domestik. Saya gak bisa masak, gak suka bebersih, apalagi ngurus rumah."
"Itu gak masalah," sahut Devanka cepat. "Di rumah ada ART. Bi Yanti. Dia yang mengurus semuanya, masak, nyuci, bersihin rumah."
Mata Syima berbinar bahagia. "Serius? Ada ART?"
"Iya. Datang setiap hari kecuali Minggu. Jadi kamu gak perlu repot urusan dengan urusan rumah."
"Wah, enak banget!" Syima tampak lega. "Terus saya ngapain dong di rumah?" Mengingat tinggal bersama orang tuanya, dia memiliki jadwal bergilir untuk membersihkan rumah dan mencuci piring.
"Ya terserah kamu. Kuliah, belajar, nonton, tidur, apapun."
"Asik! Berarti saya bisa fokus kuliah , organisasi, sama tugas akhir aja."
"Lanjut?"
"Ketiga," Syima menarik napas, "jangan campurkan urusan kuliah sama rumah tangga. Di kampus, bapak tetep dosen saya, saya tetep mahasiswa bapak. Gak boleh ada perlakuan khusus yang mengundang kecurigaan orang lain."
"Maksudnya?"
"Saya belum mau orang lain apalagi orang kampus tahu kita menikah. Apalagi hampir semua orang tau bapak menikah sama Syama. Bahkan yang datang resepsi juga banyak yang gak sadar pengantinnya diganti.”
Devanka merenung sebentar, lalu pasrah mengangguk. "Begini, Syima. Saya tidak akan menyembunyikan status pernikahan kita, tapi saya juga tidak akan mengumumkannya. Jadi kalau ada yang tahu, saya tidak akan mengelak."
"Ya... terserah bapak kalau itu. Pokoknya, saya belum mau ada yang tahu hubungan kita."
"Oke. Ada lagi?"
"Keempat." Syima mulai kikuk. Tangannya bergerak-gerak di udara.
"Soal apa?" tanya Devanka.
"Soal… hal-hal… yang dilakukan suami istri… Skidipapap Wohoo." Wajah Syima seketika merah padam, malu menjelaskannya.
Devanka langsung paham. "Oh. Intimasi."
"Iya itu!" Syima mengangguk cepat, lega istilahnya keluar. "Jangan paksa saya untuk… itu. Sampai saya siap."
"Kapan siapnya?" tanya Devanka datar, dengan nada menggoda.
"Gak tahu! Yang jelas belum sekarang!" Syima melotot malu.
"Oke. Gak akan saya paksa. Tapi kalau suatu saat kamu siap, kasih tahu saya, ya," sahut Devanka tetap datar, meski sudut bibirnya menahan tawa.
Syima makin merah, tapi menjawab serius. "Iya… nanti kalau udah siap."
Devanka nyaris gagal menahan tawa mendengar jawaban Syima. Istrinya terlalu polos.
"Ada lagi?"
"Kelima." Syima kembali semangat. "Kalau ternyata kita gak cocok dan harus cerai, saya gak mau ada drama. Clean break."
Dahi Devanka berkerut. "Kamu udah mikirin hal itu sebelum kita beneran mencoba hidup bersama?" Nada Devanka sedikit terdengar kecewa.
"Ya kan jaga-jaga. Kita gak tahu kapan Syama balik. Sekarang aja hati bapak masih bulat buat Syama. Jadi realistis aja! Mungkin suatu hari Syama kembali, bapak mau balik lagi sama dia.”
Syima menunduk menatap lantai. "Lagian bapak juga belum tentu betah sama saya. Saya orangnya kan ribet, berantakan, gak feminim. Dan saya gak bisa jadi kayak Syama. Kita berbeda, Pak.”
Devanka menatap Syima lama. Sorot matanya dalam. Dia lalu bergeser, duduk di sebelah Syima. Jarak mereka kini hanya sejengkal.
"Syima, dengar baik-baik." Suaranya serius, tegas tapi lembut. "Saya menikah sama kamu sebagai Syima. Bukan Syama, bukan bayangannya, bukan juga penggantinya. Mau kamu gak dandan, berantakan, cerewet, galak, itu gak masalah."
Syima terdiam, jemarinya memelintir ujung kaos, sedikit salah tingkah.
"Walau pernikahan kita terjadi di tengah keterpaksaan. Tapi dari awal saya mengucapkan akad, saya sudah berpegang teguh, saya menikahi Syima sebagai Syima, bukan pengganti siapa pun.”
Syima tercekat. Kata-kata itu menohok tepat di titik rapuhnya. Dia menggigit bibirnya menahan haru yang menyelinap di hati.
"Jadi berhenti nge-judge dirimu sendiri. Kamu gak perlu jadi siapa-siapa. Cukup jadi Syima."
Devanka tersenyum tipis, lalu meluruskan kakinya. Bahunya melemah rilex. "Jujur, saya lebih suka ngobrol sama kamu yang sekarang. Berisik, cerewet, ngelawan, daripada kamu yang malu-malu kaya di hotel."
Syima mendengus salah tingkah, menahan senyum. Hatinya pun langsung menghangat. Tapi untuk menyamarkannya, dia buru-buru mendengus, menatap kedua mata Devanka.
"Bapak gak punya syarat?" tanya Syima mencoba mengalihkan topik.
"Ada, satu."
"Apa?"
"Ubah panggilanmu. Jangan ‘Bapak–Saya’. Rasanya aneh. Mulai sekarang, panggil aku ‘Mas’ kalau di rumah atau di luar jam kuliah."
Syima menatap Devanka kaget, tak percaya pria di depannya ini akan meminta syarat seperti ini.
"Aku? Pak Devan memanggil dirinya sendiri ‘Aku’? Pengen dipanggil 'Mas' pula. Ih geli," batinnya menggerutu.
Tapi dari lima syaratnya, Devanka hanya minta satu. Memang tampak mudah, tapi bagi Syima justru terasa paling sulit.
"Ayo coba," suruh Devanka.
"Nanti aja deh, Pak." Syima mencoba menghindar.
"Sekarang, Syima. Aku mau dengar sekarang," pinta Devanka lebih lembut.
Tangan Syima semakin memelintir ujung kaosnya. Jantungnya entah kenapa berdegup lebih kencang. Dia merasa lebih memilih demonstrasi di jajaran terdepan, daripada dihadapkan dengan situasi seperti ini.
"Hmm...Mas," ucap Syima ragu-ragu.
"Iya, Syima," jawab Devanka lembut.
Syima langsung menutup wajah dengan bantal. Hatinya menjerit, setengah geli setengah deg-degan.
"Astaga... Kenapa jadi kerasa gatal sebadan-badan," teriaknya dalam Hati.
tp Thor jgn ada yang aneh2 ya sejenis Kunti alias PELAKOR 👍👍👍👍
aku juga mau digendong pak Devan... gimana ya ra
sanya.....ga bisa bayangin...
Gatau diri jg nina
lanjutkan 💗💗💗💗🌷🌷
Apapun tar alasan syama pas kabur jgn smpe devan goyah & mau balikan ke syama
thank Thor for update ya 👍👍🌷🌷