"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 23 dibully
Suara keras terdengar dari tengah lapangan ketika Gista berteriak,
“Kalian semua, kumpul sekarang juga!”
Seluruh mahasiswa baru sontak bergerak dengan cepat, berlarian kecil menuju lapangan utama. Terlihat ratusan pasang mata menatap penuh rasa ingin tahu. Suasana yang awalnya riuh perlahan menjadi hening, hanya terdengar suara langkah kaki dan bisikan pelan dari kelompok-kelompok kecil.
“Semua maba, cepat rapikan barisan! Berdiri sesuai kelompok masing-masing, jangan ada yang berisik!” perintah Gista dengan nada tegas.
Kelompok 3 dipanggil maju ke depan. Bergegaslah lima orang mahasiswa baru keluar dari barisan, berlari kecil dengan wajah cemas, menatap teman-temannya yang lain. Mereka berdiri tepat di tengah lapangan, dikelilingi oleh ratusan mahasiswa baru lainnya yang kini membentuk lingkaran besar.
“Yang di tengah, diam di situ. Jangan bergerak. Sekarang, empat orang mundur. Tinggal satu orang di depan,” ucap Gista sambil melambaikan tangan.
Mereka yang berlima saling pandang, lalu empat orang mundur perlahan, menyisakan Lita seorang diri di tengah. Jantung gadis itu berdetak kencang, telapak tangannya terasa dingin. Tatapan penuh rasa ingin tahu dari ratusan pasang mata seolah menusuknya dari segala arah.
Gista melangkah perlahan mendekat, lalu berjalan mengelilingi Lita dengan tatapan penuh penilaian. Senyuman tipis tersungging di bibirnya, senyum yang penuh dengan maksud tersembunyi.
“Kamu ya... dari kemarin sudah saya peringatkan, tapi bukannya berubah, malah makin menjadi-jadi.” Suaranya lantang, menusuk telinga semua orang.
Lapangan yang tadinya penuh bisik-bisik mendadak hening. Semua pasang mata kini menatap lurus ke arah Lita.
“Perhatian semua! Kalian tahu wajah yang ada di depan kalian ini? Dia ini penggoda! Cewek yang suka ganggu senior di kampus kita!” teriak Gista sambil menunjuk tepat ke wajah Lita.
Lita terkejut, matanya membesar, wajahnya memanas. Ia menggeleng keras sambil berkata,
“Enggak, itu gak bener, Kak! Aku nggak pernah kayak gitu...”
Namun kalimatnya terputus ketika terdengar bisikan-bisikan di antara mahasiswa baru lain. Suara-suara lirih namun jelas terdengar, membuat telinganya panas.
“Masa sih?”
“Pantes aja, gayanya genit banget dari kemarin.”
“Makanya, hati-hati sama cewek kayak gini...”
Lita semakin panik. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berharap ada yang membelanya, tapi semua hanya menatap dengan tatapan sinis.
“Kamu masih mau ngelak? Jelas-jelas semua orang lihat sendiri, kamu kecentilan sama senior. Makanya, hati-hati! Yang punya pacar dijaga baik-baik, nanti direbut sama dia!” ucap Gista dengan suara lantang.
Devi, sahabat dekat Lita, yang sejak tadi menahan emosi, spontan ingin maju membela. Namun, tangannya cepat ditarik oleh Eca dan Gina.
“Jangan! Jangan ikut campur dulu, nanti malah kena masalah,” bisik Eca.
Devi menggertakkan giginya, matanya berkaca-kaca melihat sahabatnya dipermalukan.
Gista menoleh ke teman-temannya, lalu berkata lantang,
“Gimana, teman-teman? Kasih dia pelajaran biar kapok, kan?”
Dari barisan belakang, ada yang bersuara,
“Siram aja! Biar tau rasa!”
“Bener tuh!” sahut yang lain.
Tanpa pikir panjang, Gista melemparkan botol minum berisi air ke arah Lita. Air itu mengenai wajah dan bajunya. Disusul lemparan lain—sisa makanan, plastik, bahkan kertas yang sudah diremas.
Lita hanya menunduk, tubuhnya kaku. Air mengalir di wajahnya, bercampur dengan perasaan malu dan sakit hati. Bau makanan sisa menempel di pakaiannya, membuatnya semakin tidak nyaman. Sorakan dan teriakan dari sekeliling terus menghujani telinganya.
“Dasar cewek genit!”
“Gak punya harga diri!”
“Harga lo berapa sih? Murahan!”
Suara-suara itu menusuk lebih tajam daripada air yang mengguyurnya. Lita memejamkan mata, menahan air mata agar tidak jatuh.
Di sisi lain, Gista tersenyum puas. Inilah yang ia tunggu—momen ketika semua orang percaya pada ucapannya.
Devi yang tak tahan lagi akhirnya menggigit tangan Gina hingga terlepas, lalu berlari dan langsung memeluk tubuh Lita yang basah kuyup. Ia menangis sambil berkata,
“Udah, Lit... aku di sini. Jangan takut.”
Tiba-tiba, suara keras memecah suasana.
“KALIAN BISA BERHENTI NGGAK?!”
Semua kepala serentak menoleh. Rian, salah satu senior yang dikenal tegas dan disegani, berdiri dengan wajah marah. Bajunya ikut basah terkena cipratan air saat ia mendekat. Di sampingnya, Aga, sahabatnya, ikut berjalan dengan ekspresi serius.
Suasana yang tadinya riuh mendadak senyap. Tak ada lagi yang berani bersuara. Bahkan Gista, yang biasanya lantang, menelan ludah gugup.
Rian melangkah maju, menatap tajam ke arah kerumunan.
“Kalian sadar nggak apa yang kalian lakuin? Kalian pikir ini lucu? Masih baru masuk udah bikin masalah kayak gini! Otak kalian taruh di mana?!” bentaknya.
Semua menunduk. Tidak ada yang berani membalas.
“Dan saya pastikan, semua yang terlibat akan kena akibatnya,” tambah Rian dengan suara dingin.
Aga menimpali,
“Sekarang saya mau tahu, siapa yang nyuruh kalian semua? Jangan pura-pura diem. Ngaku!”
Tidak ada yang berani bersuara. Hening kembali menyelimuti lapangan.
Aga menatap satu per satu wajah mahasiswa baru, lalu berhenti pada Gista.
“Apa kamu yang mulaiin semua ini?!”
Gista cepat-cepat menggeleng.
“Bukan aku! Aku cuma jalanin tugas, ...” jawabnya terbata-bata.
“Tugas? Tugas dari siapa? Ada apa sebenarnya?!” bentak Aga.
Wajah Gista memucat, namun ia tetap berusaha berkilah,
“Aku cuma... melakukan apa yang seharusnya.”
Rian menarik napas panjang, lalu menatap Lita dan Devi.
“Udah, nggak usah dipaksa sekarang. Kita bawa Lita dulu ke dalam. Dia harus tenang.”
Rian menepuk bahu Devi, lalu membantu mengangkat Lita yang sudah lemas. Devi tetap menggenggam erat tangan sahabatnya, tidak mau melepaskan. Mereka bertiga berjalan keluar dari lapangan, meninggalkan suasana tegang yang masih membeku.
Sementara itu, Aga menatap kerumunan dengan dingin.
“Kalau kalian nggak mau bicara, saya yang akan cari tahu. Dan percaya, kalau ketahuan, hukumannya nggak main-main.”
Semua mahasiswa baru hanya bisa menunduk. Tak seorang pun berani angkat suara lagi.
Keributan akhirnya bubar. Suara gaduh mereda, hanya tersisa desahan napas orang-orang yang tadi panik. Dari sudut yang agak jauh, Gista berdiri dengan rahang mengeras, matanya menyipit penuh amarah.
“Rencana gue… gagal,” bisiknya lirih tapi penuh geram. Tatapannya menusuk ke arah keramaian yang baru saja reda. “Malah Rian… yang nyelametin dia.”
Tangannya mengepal. Tiba-tiba—BRAK!—ia menendang meja di sampingnya hingga bergeser keras menghantam lantai.
“Dia pikir… bisa lolos dari gue?!” teriaknya, suaranya pecah, menggema.
Eca yang berada di dekatnya terperanjat, wajahnya pucat. Ia melangkah mendekat dengan ragu, lalu berkata cepat, suaranya bergetar.
“Gista, lo nggak denger tadi Rian ngomong? Dia bakal cari tahu siapa yang udah ngebully Lita!”
Tapi Gista hanya menoleh sekilas, matanya menyala penuh kebencian. Ia mengibaskan tangannya kasar seolah menepis ucapan Eca.
“Gue nggak peduli soal itu!”
Napasnya memburu, dadanya naik turun. Ia melangkah maju, suaranya bergetar menahan emosi, tapi terdengar jelas penuh dendam.
“Gue… bakal lakuin apa pun cara buat bikin wanita itu… sengsara! Di sini…” ia menatap semua temannya satu per satu, “…nggak ada yang boleh deket sama Rian. Kecuali gue.”
Gina, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, melipat tangannya di dada. Ia menatap Gista dengan sorot dingin, lalu tersenyum tipis.
“Gue setuju.”
Ia melangkah maju, berdiri sejajar dengan Gista. Nada suaranya rendah tapi tegas, seolah memberi peringatan.
“Kita harus mikirin langkah selanjutnya.”
Suasana hening. Hanya suara meja yang masih bergoyang pelan karena tendangan tadi. Di antara mereka, aura dendam dan rencana gelap mulai terasa menekan.