Ketua OSIS yang baik hati, lemah lembut, anggun, dan selalu patuh dengan peraturan (X)
Ketua OSIS yang cantik, seksi, liar, gemar dugem, suka mabuk, hingga main cowok (✓)
Itulah Naresha Ardhani Renaya. Di balik reputasi baiknya sebagai seorang ketua OSIS, dirinya memiliki kehidupan yang sangat tidak biasa. Dunia malam, aroma alkohol, hingga genggaman serta pelukan para cowok menjadi kesenangan tersendiri bagi dirinya.
Akan tetapi, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat dirinya harus dipaksa menikah dengan Kaizen Wiratma Atmaja—ketua geng motor dan juga musuh terbesarnya saat sedang berada di lingkungan sekolah.
Akankah pernikahan itu menjadi jalan kehancuran untuk keduanya ... Atau justru penyelamat bagi hidup Naresha yang sudah terlalu liar dan sangat sulit untuk dikendalikan? Dan juga, apakah keduanya akan bisa saling mencintai ke depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Naresha Sakit?
Happy reading guys :)
•••
Gumpalan awan hitam yang begitu mencekam secara perlahan mulai menyelimuti keindahan langit Jakarta yang awalnya dipenuhi oleh banyaknya bintang bersinar terang, membuat gemerlap malam seakan tersamarkan oleh nuansa kelabu yang menggantung berat di udara.
Suara gemuruh terdengar dari kejauhan, menyusul angin malam yang mulai berembus dengan sangat kencang, meniupkan aroma hujan pekat dan familiar ke setiap sudut kota. Lampu-lampu jalan mulai berpendar lebih terang seiring angkasa yang semakin bertambah gelap, memantulkan cahaya kekuningan pada genangan kecil di pinggir-pinggir trotoar.
Dari kejauhan, kilatan petir membelah langit sesaat, menampilkan siluet gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh di antara bayang-bayang metropolitan yang tidak pernah benar-benar tertidur setiap saat.
Di dalam ruangan kamar lantai dua sebuah rumah mewah nan megah, terlihat sosok Naresha sedang rebahan di atas tempat tidur sambil menutupi seluruh tubuh indahnya menggunakan selimut tebal.
Tubuh Naresha bergetar hebat, kala dirinya tetaplah merasakan dingin sangat luar biasa—meskipun telah menggunakan selimut tebal. Ia menggerakkan kedua tangannya yang telah berubah menjadi sangat lemas untuk mengeratkan selimut, mencoba sekuat tenaga untuk menghilangkan rasa dingin yang terus-menerus menyerangnya pada malam hari ini.
“Di-dingin banget … ba-badanku ju-juga pa-panas … te-tenggorokanku sa-sakit … Ak-Aku se-sebenarnya ke-kenapa? Ta-tadi pa-pagi pe-perasan ng-nggak gi-gini …,” gumam Naresha dengan suara serak, bergetar, dan juga terbata-bata.
Setelah menggumamkan akan hal itu, suara batuk yang sangat berat keluar dari dalam bibir mungil milik Naresha, membuat tenggorokannya semakin bertambah sakit. Tubuhnya bergetar semakin hebat dan pada akhirnya dirinya hanya bisa meringkuk sambil menggenggam selimut erat-erat sambil berharap seseorang segera masuk ke dalam ruangan kamar—untuk menolongnya.
Naresha berusaha untuk menutup mata, tetapi sesegera mungkin mengurungkan niat saat tiba-tiba saja mendengar suara pintu masuk ruangan kamar sedang dibuka oleh seseorang dari arah luar—berpadu dengan suara guntur yang tanpa aba-aba datang secara menggelegar. Ia secara perlahan-lahan mengalihkan pandangan ke arah depan dengan tatapan sayu serta mata merah yang sudah sangat berkaca-kaca.
Dari tempatnya berada sekarang, Naresha dapat melihat sosok Kaizen tengah melangkah masuk dengan rambut serta pakaian telah berubah menjadi sedikit basah—menunjukkan bahwa suaminya itu kehujanan saat perjalanan pulang.
Kaizen spontan mengerutkan kening sempurna saat melihat keadaan Naresha sekarang ini. Ia tanpa mengatakan apa-apa, dan juga tanpa membersihkan diri terlebih dahulu sesegera mungkin berjalan mendekati tempat tidur.
“Lu kenapa?” tanya Kaizen dengan suara sedikit lembut, sedikit melebarkan mata saat menyadari wajah cantik Naresha telah berubah menjadi sangat pucat.
Setelah menanyakan akan hal itu, Kaizen bergegas mendudukkan tubuh di samping kanan Naresha. Ia sedikit menunduk, menempelkan punggung tangan kanannya di dahi sang istri, sebelum pada akhirnya melebarkan mata sempurna.
“Panas banget,” lanjut Kaizen, tiba-tiba saja dirinya sangat susah untuk menelan air liur.
Naresha menggeliat kecil, bibir mungilnya bergetar sebelum mulai menggumamkan sesuatu. “Dingin, Kai … gu-gue ke-kedinginan ….”
Mendengar hal itu, Kaizen segera bangun dari atas tempat tidur, lantas mengalihkan pandangan ke arah sekeliling, sebelum pada akhirnya melangkahkan kaki menuju lemari pakaian dan segera mengambil sebuah selimut tebal lain di dalam sana—sebelum kembali melangkahkan kaki mendekati tempat Naresha berada.
Kaizen dengan penuh kehati-hatian menutupi tubuh Naresha menggunakan selimut tebal lain yang telah dirinya ambil, berusaha membuat rasa dingin yang sedang dialami oleh sang istri sedikit menghilang.
“Tunggu sebentar, ya … gue ambilin air hangat sama obat di bawah,” kata Kaizen dengan penuh kelembutan—nada suaranya dipenuhi oleh kekhawatiran—seraya memberikan elusan lembut di puncak kepala Naresha setelah memastikan selimut tebal membalut tubuh istrinya itu.
Naresha hanya bisa mengangguk lemas sebagai jawaban, lantas mulai menutup mata ketika rasa dingin yang sedari tadi menyerang dirinya sedikit berkurang akibat hal yang telah Kaizen lakukan.
Melihat anggukan itu, Kaizen tanpa aba-aba segera berlari sekuat tenaga keluar dari dalam ruangan kamar—berusaha mengambil semua hal yang diperlukan di lantai satu rumah dalam waktu sangat singkat.
Sekitar dua puluh menit berlalu, pintu ruangan kamar kembali terbuka, menampilkan sosok Kaizen melangkahkan kaki masuk ke dalam dengan membawa nampan berisikan banyak hal—mulai dari bubur hangat, air hangat, obat, serta alat kompres untuk menurunkan suhu badan dari luar.
Kaizen meletakkan nampan yang sedang dirinya bawa dengan penuh kehati-hatian di atas meja samping tempat tidur, napasnya masih tersengal karena terburu-buru. Ia menatap wajah cantik Naresha yang masih sangat pucat, sebelum pada akhirnya mendudukkan tubuh di tempat semula sambil berusaha menahan rasa panik yang sedang menggerogoti dadanya.
“Sa … bangun dulu sebentar, ya. Gue bawain bubur sama obat. Lu harus makan dulu biar kuat,” ucap Kaizen dengan sangat pelan dan penuh kelembutan, sembari secara refleks memberikan elusan lembut di pipi kanan Naresha.
Naresha membuka matanya perlahan-lahan, menatap wajah Kaizen dengan sorot mata dipenuhi oleh rasa lelah sangat mendalam. “Nggak … gu-gue nggak laper, Kai ….”
Kaizen menggelengkan kepala dengan sangat cepat. “Nggak ada alasan nggak laper. Lu harus isi tenaga. Kalau nggak … badan lu semakin drop nanti.”
Naresha menghela napas pelan, lantas dengan sisa tenaga yang ada mulai berusaha bangun dari posisi tidurnya—dibantu oleh Kaizen yang pada malam hari begitu sangat sabar dan telaten menghadapinya. Ia menyandarkan punggung ke headboard kasur setelah berhasil bangun, lantas menggerakkan tangan kanan yang masih sangat lemas untuk menyingkirkan beberapa helai rambutnya.
Kaizen spontan menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Naresha pada malam hari ini hanyalah mengenakan tanktop berwarna putih di balik selimut tebal yang sedang menyelimuti tubuhnya. “Lu ini, ya … udah tahu kedinginan, tapi masih aja pakai-pakaian yang terbuka.”
“Ta-tadi belum ka-kayak gini,” jawab Naresha dengan suara sangat lemas dan juga serak.
Kaizen terusan sejenak saat mendengar jawaban itu. Matanya sedikit berubah menjadi lembut, tetapi tetap saja dirinya tidak bisa menahan nada mengomel yang refleks keluar begitu saja.
“Ya, sekarang jadinya gini, kan? Makanya gue bilang … jangan seenaknya sendiri jadi orang,” ucap Kaizen, sesegera mungkin bangun dari atas tempat tidur dan melangkahkan kaki menuju lemari pakaian. Ia mengambil jaket tebal miliknya sebelum kembali melangkahkan kaki mendekati tempat Naresha berada, “Sini … gue pakaian, biar nggak makin kedinginan.”
Naresha mengerjapkan mata secara perlahan-lahan, sebelum pada akhirnya menggerakkan tangan untuk mengambil jaket tebal dari genggaman Kaizen. “Kai … gu-gue bisa sendiri, kok ….”
“Nggak usah ngeyel. Badan lu aja udah gemeteran gitu, masih mau sok kuat, hah?” ucap Kaizen, sembari secara perlahan-lahan membuka dua selimut tebal dan dengan penuh kehati-hatian mulai mengenakan jaket miliknya ke tubuh Naresha—gerakannya telaten, seolah takut membuat istrinya itu kesakitan sedikit pun.
Begitu jaket menutupi tubuh Naresha, Kaizen kembali membalut dua selimut di sekeliling istrinya, memastikan tidak ada celah angin yang bisa masuk sedikit pun.
Naresha menundukkan kepala lemas setelah tubuhnya tertutupi oleh jaket dan dua selimut tebal, menatap bubur hangat yang kini berada di atas pangkuan Kaizen. “Kai … gu-gue beneran nggak laper. Badan gue aja rasanya udah nggak kuat ….”
Kaizen menghela napas panjang, lalu menggerakkan tangan untuk menyentuh dagu Naresha—membawa istrinya itu agar kembali menatap wajahnya.
“Sa, gue ngerti lu nggak enak badan. Tapi, kalau lu nggak makan sama sekali, gimana lu bisa pulih? Gue nggak mau lihat lu makin parah ….” Kaizen meriah sendok, meniup bubur ayam yang telah dirinya buat dengan penuh kehati-hatian, lantas mendekatkannya ke bibir mungil Naresha. “Cuma tiga suap. Gue nggak minta banyak. Setelah itu, lu minum obat, terus tidur lagi. Gue janji nggak bakal maksa lebih dari itu.”
Sorot mata Naresha seketika berubah menjadi sangat lembut, sedikit terharu saat melihat kesabaran Kaizen yang malam ini begitu berbeda daripada biasanya. Secara perlahan-lahan, ia mulai membuka bibir mungilnya dan menerima suapan pertama.
“Good girl … Ayo, dua suap lagi, ya.”
To be continued :)