perjuangan seorang pemuda untuk menjadi lebih kuat demi meneruskan wasiat seorang pendekar terdahulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melawan pasukan Arimba
"Begitulah kabar yang beredar, anak muda. Pranaraja, anak Dornasawa, Ketua Perguruan Gunung Awan, rupanya serius ingin melamar anak Demang Lukito yang bernama Wulandari. Aku kira tadinya itu hanya kabar burung belaka, sebab semua orang tahu kalau Pranaraja itu sudah mempunyai dua istri," ucap pengunjung kedai menjelaskan.
"Kalau boleh saya tahu, di mana kira-kira rumah Demang Lukito itu, Tuan?" tanya Barata.
"Untuk apa anak muda ingin tahu rumah Demang Lukito? Aku ingatkan, sebaiknya anak muda jangan ikut campur urusan mereka karena orang-orang dari Perguruan Gunung Awan sangatlah berbahaya," ucap pengunjung itu mengingatkan.
"Tidak, Tuan, aku tidak akan ikut campur tangan urusan mereka. Saya cuma ingin memastikan kalau anak Demang Lukito itu teman saya atau bukan; selain itu, tidak ada niat lain," ucap Barata.
"Kalau anak muda ingin ke sana, ikuti saja jalan ini terus lurus ke selatan. Nanti ada persawahan, masih terus lurus saja," ucap orang itu menjelaskan.
"Kalau begitu, aku ucap terima kasih kepada Tuan berdua," ucap Barata, lalu kembali ke mejanya.
"Andini, apakah kau sudah selesai?" tanya Barata saat melihat gadis kecil itu sedang duduk santai.
"Sudah, Tuan, aku sudah selesai dari tadi," jawab Andini.
"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalanan. Ada hal penting yang mesti kita lakukan," ucap Barata seraya meletakkan lima keping uang perak di atas meja sebagai alat pembayaran atas makanan tadi.
Melihat Barata tampak buru-buru, Andini pun menjadi penasaran. "Memangnya ada apa, Tuan? Kenapa begitu tergesa-gesa?" tanyanya.
"Sudah, jangan banyak tanya. Nanti kau akan tahu dengan sendirinya," ucap Barata karena tidak ada waktu untuk menjelaskan permasalahan kepada Andini.
Mendengar jawaban dari Barata seperti itu, Andini pun tidak berani bertanya lagi. Tidak ingin membuang waktu, kemudian Barata pun memanggil singa api untuk mempercepat perjalanannya mengikuti arahan dari dua pengunjung kedai tadi.
Sementara itu, di kediaman rumah Demang Lukito, suasananya terlihat sepi; tidak ada penjaga atau pun pelayan. Padahal, seharusnya sebagai Demang, ia mempunyai banyak pasukan penjaga untuk melindungi dirinya dan keluarganya. Mengapa bisa demikian?
Demang Lukito saat ini hanyalah manusia biasa pada umumnya, bukan merupakan seorang yang punya kekuasaan. Dulu, Demang Lukito adalah pemimpin Kota Andamaya yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Jati Paring.
Saat itu, ia mendapatkan kepercayaan dari Raja Atmaja untuk memimpin kota tersebut setelah dirinya dibebastugaskan dari jabatannya sebagai panglima perang karena usia yang sudah menua.
Dalam memimpin Kota Andamaya, Demang Lukito sangat berhasil membuat kota itu maju dan aman dari segala bentuk kejahatan dan kerusuhan. Dengan kata lain, penduduk kota pun puas dibuatnya.
Hingga suatu hari, tanpa ada sebab apa pun, tiba-tiba sebuah surat turun dari Kerajaan Jati Paring yang menyatakan bahwa dirinya dicopot dari jabatannya. Demang Lukito yang tidak ingin menentang titah raja akhirnya mematuhi isi surat itu untuk meninggalkan jabatannya.
Hingga selang dua hari kemudian, Kota Andamaya sudah dipimpin Demang baru yang bernama Damartaji, yang merupakan murid jebolan dari Perguruan Gunung Awan.
Setelah tidak menjabat sebagai Demang lagi, Lukito memilih untuk menetap di Desa Wadas Putih dengan hidup sebagai petani. Namun, para penduduk desa yang mengetahui Lukito dulunya seorang Demang akhirnya tetap memanggilnya dengan menyertakan nama Demang baginya. Dan Lukito tidak bisa menolaknya karena itu keinginan mereka semua.
Beberapa saat kemudian, Arimba dan rombongannya pun tiba di depan rumah Demang Lukito. Wanita cantik itu menatap lurus ke pintu rumah yang masih tertutup rapat.
"Lukito, keluarlah dan serahkan putrimu kepada kami untuk kami bawa ke Perguruan Gunung Awan. Jika tidak keluar, aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkan pintu rumahmu!" teriak Arimba dari atas kudanya dengan suara lantang.
Namun, tidak ada jawaban apa-apa dari dalam rumah itu; bahkan pintu rumah pun masih tetap tertutup rapat, tidak ada gerakan pintu terbuka.
Setelah tidak mendapatkan jawaban, Arimba kemudian memerintahkan pasukannya untuk mendobrak pintu rumah itu.
"Kalian berdua, cepat dobrak pintu rumah itu dan seret mereka berdua keluar!" perintah Arimba dengan nada penuh kemarahan.
Dua orang pasukannya pun bergegas maju ke depan dan bersiap untuk menghancurkan pintu itu. Namun, sebelum niat itu terlaksana, tiba-tiba... Wuuus...! Kedua orang tadi terpental bersamaan, seiring dengan terbukanya pintu rumah itu.
Kedua pasukan yang terpental itu langsung muntah darah setelah mendapatkan serangan tadi.
Arimba yang berjuluk Dewi Kematian itu menyipitkan matanya dengan menyimpan kemarahan di dadanya melihat dua orang pasukannya terluka.
"Kami ucapkan selamat datang, Arimba, tapi jangan harap kau dapat membawa Wulandari sesuka hatimu," kata Demang Lukito yang saat itu sudah berdiri di depan pintu bersama dengan putri Wulandari di sampingnya.
Arimba tertawa sinis mendengar ucapan Demang Lukito. "Kau berani menentang Perguruan Gunung Awan, Lukito! Apa kau sudah lupa siapa aku?"
"Tentu saja aku tahu siapa kamu, Arimba. Kau adalah wanita laknat yang berjuluk Dewi Kematian yang suka bertindak sesuka hati. Tapi aku tidak akan gentar dengan macam julukan apa pun, Arimba. Apalagi dengan julukanmu itu. Ingat, aku adalah bekas panglima perang yang sudah banyak melihat kematian dan mencabut nyawa musuh-musuhku dengan tanganku. Jika hari ini kau ingin merasakan kekuatanku, maka majulah dan jangan menyesal," ucap Demang Lukito menantang tanpa ada rasa gentar sedikit pun.
Wulandari yang berdiri di samping ayahnya juga telah bersiap dengan menghunus pedang di tangannya karena ia tahu suasana sudah memanas.
Rahang Arimba mengeras; darahnya pun mendidih mendengar perkataan Demang Lukito yang terdengar menusuk telinganya.
"Kalian semua, tunggu apalagi? Cepat serang orang tua itu!" perintah Arimba kepada delapan belas orang pasukannya yang tersisa setelah dua orang terluka.
Demang Lukito maju satu langkah melihat orang-orang itu berlari ke arahnya dengan pedang terhunus. Tapi Wulandari segera menghentikannya. "Biarkan aku saja, Ayah, yang hadapi mereka," ucap Wulandari langsung melaju ke depan menghadapi orang-orang itu.
Wulandari bergerak lincah; pedangnya menebas ke depan dengan cepat. Ia berhasil menangkis serangan pertama dari dua orang yang menyerangnya. Dalam satu gerakan memutar, Wulandari menebaskan pedangnya dan melukai dua orang itu hingga membuatnya meregang nyawa.
Arimba menatap tajam melihat pergerakan Wulandari yang begitu cepat. "Cepat sekali pergerakannya. Dari perguruan mana gadis itu?" ucap Arimba penasaran.
Menghadapi para pasukan Arimba yang cuma pendekar rendah membuat Wulandari jauh di atas angin. Pedangnya menari-nari mengincar kematian. Hingga saat berikutnya, ujung pedangnya pun kembali menemui sasarannya.
Krees...! Krees....! Dua orang pun kembali tumbang dengan luka menganga di dadanya. Demang Lukito merasa takjub melihat ketangkasan dan kelincahan yang Wulandari tunjukkan.
Pasukan yang semula berjumlah delapan belas orang kini hanya tinggal sepuluh orang, dengan nyali sudah sedikit menciut melihat sepak terjang gadis yang ingin mereka bawa.
Sepuluh pasukan itu bergerak mundur beberapa langkah ke belakang, seakan enggan untuk menghadapi Wulandari.
Melihat pasukannya mundur, wanita berwatak kejam itu menggelengkan kepalanya sambil menyipitkan matanya.
"Apa yang kalian lakukan? Maju terus...!" teriak Arimba dengan nada keras.
"Dia... dia... terlalu kuat, Nona..." jawab salah satu orang pasukannya.
Mendengar jawaban itu, Arimba mengibaskan tangannya. Weees... dees! Orang tadi pun langsung roboh meregang nyawa.
"Itulah akibatnya bagi seorang pengecut. Kalian, cepat maju!" perintah Arimba lagi.
"Aku sarankan lebih baik kalian kembali ke Gunung Awan dan jangan macam-macam di sini," ucap Wulandari.
"Kalian, cepat serang dia!!" teriak Arimba.
Sembilan orang itu pun bergegas menyerang bersamaan, mengurung Wulandari.
Namun, Wulandari tidak gentar. Ia bahkan tersenyum tipis.
Sembilan orang itu kemudian menyerang Wulandari dari segala arah, berusaha mengincar tubuhnya. Namun, Wulandari bergerak cepat menyambut serbuan serangan mereka. Ia memutar badannya sembari melakukan serangan cepat yang cukup mematikan.
"Pukulan Tapak Suci, hiiiiaaat...!" Wuuus....! Sinar kuning berbentuk telapak tangan menerjang sembilan orang yang mengeroyoknya.
Duuuaaarr....!