Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 – Bayangan Lama di Lorong Baru
Pagi itu, Wina datang lebih awal ke kantor. Kemeja biru muda yang ia kenakan rapi tertata, hijab pashmina berwarna hitam, dan wajahnya lebih segar setelah semalam membaca kembali jurnal lamanya—jurnal yang dulu pernah ia tulisi dengan nama Ale, entah untuk mengenang… atau untuk bertahan.
Sesampainya di pantry kantor, ia sedang membuat kopi ketika suara langkah kaki pelan terdengar dari arah belakang.
Suara pelan, nyaris tidak terdengar.
Seperti ada seseorang yang ingin berjalan tanpa menimbulkan suara.
Wina menoleh perlahan… dan melihat seorang perempuan berambut panjang, mengenakan seragam kebersihan kantor, sedang memungut tisu dari lantai.
Perempuan itu menunduk dalam, lalu membuang tisu ke tempat sampah. Ia hampir pergi ketika mata mereka saling bertemu.
Wina terdiam.
Matanya menyipit.
Perempuan itu… seperti tak asing. Ada sesuatu dari wajahnya—matanya, atau caranya menatap. Dingin. Seperti menyimpan banyak sisa dendam.
“Baru, ya?” tanya Wina, sopan.
Perempuan itu—Zara—tersentak sedikit, tapi mengangguk. “Iya, baru masuk hari ini,” jawabnya singkat.
Wina mengangguk pelan. “Saya Wina. Divisi hukum.”
“Zara,” ucapnya cepat, lalu segera pergi dari ruangan tanpa membiarkan percakapan berkembang.
Wina menatap punggungnya yang menjauh.
Zara. Nama itu memantik sesuatu dalam benaknya. Seperti bisikan samar dari masa lalu.
Seolah pernah ia dengar… entah di mana.
Sepanjang hari, Wina terus merasa aneh. Di beberapa kesempatan, ia sempat melihat Zara mencuri pandang ke arah Fatur. Bahkan saat rapat berlangsung di ruang kaca, Zara terlihat berdiri terlalu lama di balik lorong, seperti sedang mengawasi diam-diam.
Dan Fatur?
Fatur tampak seperti biasa. Tak bereaksi. Seolah tak mengenali wanita itu sama sekali.
“Fatur,” bisik Wina di meja kerja mereka, “Kamu kenal sama OB baru itu nggak? Namanya Zara.”
Fatur menoleh sekilas. “Yang pagi tadi jatuhin sabun pel? Nggak. Baru lihat juga. Kenapa?”
Wina menggeleng cepat. “Nggak… nggak apa-apa.”
Tapi hatinya tidak bisa berbohong.
> Ada sesuatu tentang perempuan itu.
Sesuatu yang belum terpecahkan.
Seperti pintu lama yang terbuka sedikit… dan menampakkan bayangan hitam di baliknya.
Sore harinya, sebelum pulang, Wina memberanikan diri ke ruang HR. Ia membuka data pelamar baru di komputer admin—tentu saja dengan izin.
Dan di sana, ia menemukan data singkat:
Zara Indriani.
Pernah tinggal di Surabaya. Lulusan D3. Tidak ada data pekerjaan selama tiga tahun terakhir.
Wina menahan napas. “Tiga tahun terakhir…”
Sama seperti waktu kecelakaan bus pariwisata Bali.
Wina menatap layar. Detak jantungnya berpacu lebih cepat.
> Tidak. Ini tidak mungkin kebetulan.
Ia berdiri perlahan dari kursi.
Lalu membisikkan satu kalimat yang membuat bulu kuduknya merinding:
> “Zara… kamu bukan cuma OB. Kamu bagian dari masa lalu kami yang berdarah.”
Memperkuat benih kecurigaan Wina, yang pada akhirnya akan membawanya menguak masa lalu Fatur dan Zara, serta membuka jalur konflik yang lebih besar.
Zara yang dulu penyebab kecelakaan, kini menyamar sebagai OB—entah karena menyesal, atau justru punya rencana lain.
Siapkah kita lanjut ke di mana Wina mulai menyelidiki sendiri latar belakang Zara? Hemmm, tapi terserah aku sebagai authornya ya hehehe mau dibawa kemana alurnya...
***
Mimpi Bus yang Berdarah
Langit malam di kota Jakarta menggantung kelam, hanya bulan separuh yang sesekali bersembunyi di balik awan tebal. Di rumah besar milik keluarga Ar-Rasyid, suara detak jam dinding terdengar seperti gema di tengah keheningan.
Fatur terbaring di ranjangnya. Meski matanya tertutup, napasnya cepat dan tidak teratur. Dahi berkeringat, tangan menggenggam erat seprai.
Lalu, semuanya dimulai.
Dalam mimpi itu:
Sebuah bus besar melaju di jalan berliku, melewati jurang di satu sisi dan hutan di sisi lain. Di dalamnya, mahasiswa dan panitia OSPEK tertawa, bernyanyi, beberapa merekam video di ponsel. Suara musik terdengar samar, campur aduk dengan riuh tawa.
Ale—dengan jaket panitia berwarna navy dan logo “Universitas Wira Dharma”—duduk di bangku baris kedua, memegang map berisi daftar mahasiswa.
> Ia menoleh ke belakang, ke arah para peserta.
Di sana ada Zara, sedang tersenyum dengan tatapan aneh, tangan memegang ponsel, berbicara diam-diam dengan seseorang di seberangnya.
Suara berisik mulai terdengar dari bawah bus. Gemeretak logam.
Kemudian...
“BRAAAAKK!!!”
Seluruh badan bus bergetar keras. Jeritan terdengar.
Bus oleng ke kanan. Sopir panik, memutar setir.
Dan dalam satu hentakan waktu, dunia berputar.
Bus terguling.
Pecahan kaca menghujam kulit.
Darah. Suara tangis. Bau besi terbakar.
Lalu...
> Ale terlempar keluar dari jendela samping.
Tubuhnya menghantam tanah, terguling, pelipis kirinya menghantam batu besar di semak-semak.
Dunia menjadi gelap.
—Dan Fatur terbangun.
“HAHH!!”
Tubuhnya bangkit dengan kasar dari tempat tidur. Dada naik turun. Peluh membasahi leher dan punggungnya. Napasnya tercekat, jantungnya seperti ingin meledak dari dada.
Ia menatap sekeliling kamar gelap. Lalu perlahan berdiri, membuka pintu dan berjalan ke ruang tengah.
Di sana, ia duduk sendiri. Cahaya lampu gantung redup menyinari wajahnya yang muram.
“Mimpi itu... terlalu nyata,” gumamnya, lirih.
Ia meraba pelipis kirinya, di mana ada bekas luka samar. Luka yang katanya terjadi saat ia kecelakaan sebagai "Fatur". Tapi...
> Luka itu persis seperti yang ada dalam mimpi. Luka yang Ale dapatkan saat bus terguling.
Fatur menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa seperti orang asing dalam tubuh sendiri. Terlalu banyak pertanyaan, terlalu sedikit jawaban.
Lalu, dalam diam, ia menatap kalender meja yang tergeletak di meja ruang tamu.
> “Besok… aku harus ke rumah itu lagi,” katanya tegas.
“Ke rumah ibunya Ale. Aku butuh tahu semuanya dari sisi mereka. Dari ibunya.”
“Siapa aku... harus dijawab sepenuhnya.”
Malam itu Fatur tak kembali ke ranjangnya.
Ia duduk di kursi ruang tengah hingga fajar menyingsing, menanti pagi yang mungkin akan membuka pintu paling penting dalam hidupnya: pintu menuju kebenaran.
Kini, dia bukan hanya ragu, tapi mulai merasakan sendiri sisa-sisa kehidupan lamanya sebagai Ale. Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur, melainkan memori yang terkubur.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup