NovelToon NovelToon
Seharum Cinta Shanum

Seharum Cinta Shanum

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Selingkuh / Cinta Terlarang / Ibu Mertua Kejam / Pelakor jahat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dibuka Dengan Omongan Mertua

Di pagi yang cerah di sebuah rumah mewah di Jakarta Barat, Shanum bergerak cekatan di dapur modernnya. Aroma roti panggang dan kopi menyelimuti ruangan, berpadu harmonis dengan kicauan burung dari taman belakang. Ia meletakkan sekeranjang roti gandum dan sepiring telur orak-arik di meja makan marmer, lalu tersenyum puas melihat hasil karyanya.

"Wira, sarapan sudah siap!" serunya lembut, suaranya dipenuhi kehangatan.

Tak lama, Wira muncul dari kamar, rapi dalam setelan kerjanya. Rambutnya tersisir apik, dan senyumnya merekah saat melihat Shanum. "Wah, istriku memang paling the best," pujinya seraya mencium kening Shanum. "Wanginya sudah sampai ke kamar."

Shanum tertawa kecil. "Bisa saja kamu. Cepat, nanti keburu dingin."

Mereka duduk berhadapan, menikmati sarapan pagi itu. Di sela-sela obrolan ringan tentang rencana hari itu, terdengar langkah kaki kecil menuruni tangga. Mariska, putri semata wayang mereka yang berusia enam tahun, muncul dengan seragam sekolahnya yang rapi, rambut dikepang dua.

"Pagi, Mama, Papa!" sapa Mariska ceria, matanya berbinar.

"Pagi, sayang," jawab Wira dan Shanum bersamaan.

Shanum segera menyiapkan sepiring sereal kesukaan Mariska. "Sudah siap ke sekolah, Riska?" tanyanya sambil menyuapkan sesendok sereal.

Mariska mengangguk semangat. "Sudah! Hari ini ada pelajaran menggambar. Riska mau gambar rumah kita yang besar ini!"

Wira tersenyum bangga. "Anak Papa memang pintar. Belajar yang rajin, ya."

Suasana pagi itu dipenuhi kehangatan dan keakraban. Mereka membahas rencana sore hari, di mana Wira berjanji akan mengajak Mariska ke toko buku sepulang kerja. Shanum mendengarkan dengan senyum, sesekali menambahkan komentar. Tidak ada ponsel atau gangguan lain, hanya fokus pada momen kebersamaan keluarga.

Setelah sarapan selesai, Wira membantu Mariska memakai ranselnya. Shanum mengambil kotak bekal yang sudah ia siapkan khusus untuk Mariska, berisi sandwich dan buah-buahan segar.

"Jangan lupa bekalnya dimakan habis ya, sayang," pesan Shanum, membelai rambut Mariska.

"Siap, Mama!" jawab Mariska, memberikan pelukan erat.

Wira berpamitan dengan ciuman lembut di bibir Shanum. "Aku berangkat ya. Hati-hati di rumah."

"Kamu juga, hati-hati di jalan," balas Shanum.

Setelah Wira dan Mariska berangkat, Shanum berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan hingga mobil mereka tak terlihat lagi. Ia kembali masuk ke dalam rumah, senyum masih terukir di bibirnya. Pagi yang damai ini menjadi awal yang indah untuk hari mereka, mencerminkan harmoni dan kebahagiaan yang selalu mereka pupuk dalam keluarga kecil ini.

****

Pagi beranjak siang di rumah mewah itu. Shanum baru saja membereskan meja makan ketika bel pintu berbunyi. Ia mengira itu kurir paket, namun saat pintu terbuka, senyumnya memudar. Di hadapannya berdiri Niar, mertuanya, dengan tatapan tajam yang selalu membuat Shanum bergidik. Niar mengenakan setelan desainer yang rapi, namun ekspresi wajahnya jauh dari kata ramah.

"Oh, Mama," sapa Shanum berusaha tenang, meskipun jantungnya sudah berdegup kencang. "Ada apa pagi-pagi begini?"

Niar melenggang masuk tanpa menunggu dipersilakan, hidungnya terangkat seolah mencium bau tak sedap. Matanya menyapu seisi ruangan dengan tatapan meremehkan. "Pagi? Ini sudah hampir jam sembilan. Kau ini memang pemalas, ya? Di rumah sebesar ini cuma santai-santai."

Shanum menahan napas. "Saya baru saja selesai merapikan dapur, Ma."

"Dapur?" Niar mendengus. "Memangnya seberapa lama merapikan dapur? Wanita miskin sepertimu memang hanya tahu bermalas-malasan setelah berhasil menjerat anak saya." Suaranya terdengar mencemooh, penuh nada penghinaan. "Tidak tahu diri."

Perkataan Niar menusuk hati Shanum. Ini bukan kali pertama. Sejak awal pernikahan, Niar tak pernah absen melontarkan kalimat-kalimat pedas, selalu mengungkit latar belakang Shanum yang sederhana.

"Ma, tolong jangan bicara seperti itu," pinta Shanum lirih, mencoba menjaga kesabarannya.

"Kenapa? Tersinggung?" Niar menyeringai sinis. "Memangnya salah kalau saya bicara apa adanya? Bukankah memang begitu kenyataannya? Anak saya, Wira, yang bekerja keras membanting tulang, sementara kau hanya menghabiskan uangnya."

Shanum mengepalkan tangannya. "Wira tahu saya tidak seperti itu, Ma. Saya mengurus rumah ini, mengurus Mariska..."

"Mariska?" Niar memotong, wajahnya seketika berubah masam. "Cucu perempuan. Saya sudah bilang berkali-kali pada Wira, harusnya dia mencari istri yang bisa memberiku cucu laki-laki! Bukan anak perempuan yang nanti hanya akan merepotkan dan jadi tanggungan orang lain!"

Mata Shanum berkaca-kaca mendengar putrinya dihina. Mariska adalah segalanya baginya, dan Niar selalu memperlakukannya dingin, bahkan tak jarang mengabaikannya sama sekali hanya karena ia perempuan.

"Ma, Mariska itu cucu Mama sendiri," ucap Shanum, suaranya bergetar.

"Cucu?" Niar tertawa hambar. "Sejak kapan saya punya cucu perempuan? Saya hanya ingin cucu laki-laki, penerus keluarga! Kau ini memang tidak berguna. Bahkan untuk memberi keturunan yang layak saja tidak bisa." Niar berbalik, menatap Shanum dengan tatapan merendahkan dari ujung kepala hingga kaki. "Seharusnya Wira tidak pernah menikah dengan wanita tak berkelas sepertimu."

Niar kemudian melangkah menuju ruang tamu, seolah Shanum hanyalah patung tak bernyawa. Shanum hanya bisa menelan kepedihan, berharap Wira segera pulang agar beban di hatinya sedikit terangkat.

****

Puas melampiaskan amarahnya pada Shanum, Niar tak buang waktu. Dengan langkah mantap dan senyum puas yang tersungging di bibirnya, ia melajukan mobil mewahnya menuju sebuah kafe bergengsi di kawasan elit Jakarta Selatan. Di sana, Aura Sumargo sudah menunggunya. Aura adalah representasi menantu idaman Niar: cantik, cerdas, dari keluarga terpandang, dan yang terpenting, bergelar lulusan Harvard University.

Ketika Niar tiba, Aura bangkit dari kursinya, menyambut dengan senyum ramah dan pelukan singkat. Aura tampil elegan dalam balutan blouse sutra dan rok pensil, rambutnya tertata rapi, menunjukkan aura profesionalisme dan kematangan.

"Tante Niar, apa kabar?" sapa Aura dengan suara lembut, nada bicaranya menunjukkan pendidikan tinggi.

"Baik, Aura, baik sekali," jawab Niar, menarik kursi. "Kamu sendiri bagaimana? Sibuk, ya?"

Aura tersenyum tipis. "Lumayan, Tan. Baru saja selesai meeting dengan klien dari luar negeri."

Niar mengangguk penuh kekaguman. "Lihat, kan? Begini ini baru wanita. Berprestasi, punya karier cemerlang. Tidak seperti..." Niar sengaja menggantungkan kalimatnya, pandangannya merujuk pada Shanum tanpa menyebut nama. "Wanita yang hanya tahu berdiam diri di rumah dan menghabiskan uang."

Aura menatap Niar dengan pengertian. Ia sudah tahu bagaimana perasaan Niar terhadap Shanum. "Saya turut prihatin dengan situasi Tante Niar."

"Prihatin bagaimana? Saya justru bersyukur kau ada, Aura," kata Niar, meraih tangan Aura dan menggenggamnya erat. "Kamu tahu, Wira itu butuh pendamping yang sepadan. Yang bisa diajak diskusi, yang bisa menemaninya di acara-acara penting, bukan cuma wanita dari keluarga biasa yang pendidikannya saja tidak tuntas." Nada bicaranya penuh penekanan, seolah menggarisbawahi betapa inferiornya Shanum di matanya. "Wira itu pantas mendapatkan yang terbaik. Tidak sebanding dengan Shanum yang bahkan tak lulus kuliah."

Aura hanya tersenyum tipis, tidak mengiyakan atau membantah. Ia tahu betul ambisi Niar untuk menjodohkannya dengan Wira. Keluarga Sumargo dan Wiguna memang sudah lama menjalin relasi bisnis, dan gagasan pernikahan antara Wira dan Aura sudah menjadi impian Niar sejak lama.

"Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk Wira, Tan," ujar Aura diplomatis.

"Doa saja tidak cukup, Aura," Niar berbisik, mendekatkan tubuhnya. "Kau harus lebih mendekat pada Wira. Dia itu mudah sekali termakan rayuan wanita polos. Kamu harus tunjukkan padanya bahwa kamu adalah pilihan yang tepat. Pilihan yang bisa mengangkat derajat keluarga."

Niar kemudian melanjutkan ceritanya, menguraikan segala kelebihan Aura dan kekurangan Shanum, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa rencananya akan berhasil. Aura mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, namun dalam benaknya, ia menyimpan pikirannya sendiri tentang bagaimana ia akan menjalani permainan ini.

"Pokoknya, saya sangat berharap Wira bisa melihat ini. Melihat betapa berbedanya kalian berdua. Kamu adalah masa depan Wira, Aura. Bukan dia." Niar mengakhiri kalimatnya dengan nada penuh keyakinan.

1
Rohmi Yatun
dari awal cerita kok wira sama Bpk nya tu gk pinter jdi laki2.. heran aja🤔
Hatus
Shanum yang sabar ya.. terkadang mendapat suami baik ada aja ujiannya, apalagi jika ujian itu dari mertua 🥹
Hatus
Padahal, senang itu di puji🤭
Hatus
Romantisnya 🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!