Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA34
Key telah kembali ke Inggris, setelah beberapa hari menetap di Indonesia. Wanita berusia empat puluh tahun itu memiliki dua putra yang masih remaja. Key seorang single mom setelah dua tahun lalu bercerai dari suaminya.
Keluarga Andrew, salah satu perusahaan yang memiliki jaringan bisnis otomotif tersebar di beberapa negara. Namun sayangnya, kekayaan mereka tidak pernah menjamin kebahagiaan, ketenangan dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga. Perceraian, perselingkuhan, perebutan tahta menjadi konflik kental di keluarga Andrew.
Pagi itu, Key duduk di ruang kerjanya yang elegan, dikelilingi rak buku dan meja modern berwarna hitam pekat. Saat membuka laci mejanya untuk mencari sebuah dokumen lama, ia tiba-tiba saja teringat sesuatu. Tatapannya membeku sejenak, dan segera bertindak, Key meraih ponselnya dan menekan nomor seorang pria yang sangat ia percaya.
“Dreet… dreet…” Suara dering ponsel terdengar di atas meja kayu di ruang kerja Jacob. Pria itu melirik layar dan langsung tersentak saat melihat nama "Key Andrew" terpampang di layar. Ia segera mengangkat panggilan itu.
“Jacob,” suara Key terdengar tegas, seperti biasa.
“Saya di sini, Nona,” jawab Jacob cepat.
Key menghela napas sebelum melontarkan permintaannya dengan nada serius. “Segera berikan obat penyubur rahim untuk Maya. Hari ini juga.”
Jacob tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu, jika Key sudah berbicara seperti itu, maka tidak ada ruang untuk diskusi.
“Baik, Nona. Akan segera saya urus.”
“Terima kasih, Jacob.”
Sambungan telepon terputus. Key menyandarkan punggung ke sandaran kursi, matanya menatap lurus ke arah jendela besar yang menghadap taman. Sebuah senyum tipis perlahan terukir di wajahnya. Matanya menyipit penuh makna, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.
“Putraku layak duduk di kursi Alan...” gumamnya lirih. Ada keyakinan dan rahasia besar yang tersirat dalam ucapannya.
--
Sementara itu, pagi kembali menyapa Jakarta dengan cahaya hangat yang masuk ke sela-sela tirai kamar apartemen Alan. Maya yang sudah rapi dengan daster santainya tampak lembut membelai-belai rambut Alan yang masih terlelap di sisi ranjang. Sesekali mengecup dahi Alan. Sentuhannya manja dan penuh cinta. Ia membangunkan Alan dengan perlahan, seolah tak ingin merusak mimpi indah yang mungkin masih sedang pria itu nikmati.
“Sayang… bangun. Segelas kopi dan roti panggang sudah menunggu di meja,” bisik Maya lembut di telinga Alan.
Alan membuka matanya perlahan, lalu tersenyum melihat wajah Maya yang begitu dekat. Ia menarik tangan Maya dan meletakkannya di dadanya yang bidang.
“Kenapa kamu menolak menikah resmi dengan ku?” tanya Alan dengan suara serak khas pria baru bangun tidur.
Maya tertawa kecil, lalu berbisik lembut di telinga Alan,“ Karena aku nggak ingin jadi istri kamu terlalu lama.”
Alan hanya mengangguk tipis, seolah menerima alasan itu meski hatinya masih mempertanyakan.
“Oke, nggak masalah," ucap Alan berkata dalam hatinya, “Tapi aku sudah menjebak mu... tanpa alat kontrasepsi.”
Ekspresi mereka saling bertukar makna. Mungkin cinta atau saling menjebak atau mungkin hanya kebersamaan yang menggantung.
“Sekarang mandi, lalu ganti baju, pakai dasi. Terakhir sarapan! Ayo, cepet!” Maya langsung beraksi seperti seorang istri yang sudah bertahun-tahun mengurus suaminya.
Alan hanya tertawa melihat tingkah laku Maya yang gesit.
“Suapin. Aku harus kerjain laporan sebentar,” pinta Alan manja.
Maya mengangguk sambil berkata, “Baiklah, Tuanku”
Setelah Alan berangkat, Maya berdiri di depan pintu, melambaikan tangan dengan senyum penuh cinta. Tapi saat pintu tertutup, ia langsung menjatuhkan diri di sofa dan menarik napas dalam-dalam.
“Fiuh… selesai juga pagi ini,” gumamnya sambil menatap langit-langit.
Ia kemudian sarapan seorang diri, enjoy, lalu mandi, bersiap, dan berangkat ke kantor. Tak banyak yang tahu bahwa Maya sudah mengajukan pengunduran diri secara diam-diam dari perusahaan tempatnya bekerja, RVC Group. Namun absennya Maya hanya diberi keterangan cuti sementara oleh pihak HRD, atas perintah langsung dari Alan dan tidak ada staf yang berani bertanya.
Setelah berbulan-bulan menghilang dari kantor tanpa kejelasan yang pasti, Maya akhirnya kembali menginjakkan kaki di kantor RVC Group. Gedung yang dulu begitu akrab kini terasa sedikit asing, tetap membawa aroma kenangan yang kuat. Langkah kakinya pelan, terkesan ragu, seolah ia masih ingin memastikan bahwa dirinya benar-benar siap kembali ke dunia yang pernah ia tinggalkan, dunia kerja yang keras, penuh target, namun juga tempat di mana ia menemukan sebagian hidupnya.
"Hello, May!" sapa seorang rekan kerja perempuan sambil tersenyum lebar.
"Hai!" Maya membalas dengan senyum khasnya, hangat dan bersahaja, senyum yang dirindukan banyak orang di kantor itu.
Beberapa staf yang melihat kedatangannya tampak tak bisa menyembunyikan antusiasme.
"Maya! Kau kembali juga. Bos gelisah banget waktu kamu cuti, loh!" bisik salah satu staf dengan nada menggoda, membuat beberapa orang lainnya cekikikan menahan tawa. Mereka yang sudah lama bekerja di sana bisa membaca gelagat, bahkan bahasa tubuh, dan hubungan Maya dengan Alan, bukan rahasia yang benar-benar tersembunyi di mata mereka.
Maya hanya tertawa cengengesan. Ia tidak membenarkan, tapi juga tidak membantah. Sebuah ekspresi yang cukup untuk membuat rekan-rekannya semakin penasaran namun enggan bertanya lebih jauh.
“Welcome back, May!” ujar seorang staf lain, kali ini dengan nada tulus dan hangat.
“Ya, terima kasih,” jawab Maya sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Tatapan para staf mengikuti langkah Maya yang menuju ruangannya. Maya bukan karyawan biasa, ia dikenal sebagai pribadi yang ramah, pintar, dan penuh percaya diri. Kecantikannya yang natural dan sikapnya yang profesional membuat banyak orang kagum. Tak heran jika Alan Andrew, bos besar mereka yang terkenal dingin dan sulit didekati, bisa jatuh hati pada wanita itu.
Saat membuka pintu ruangannya, matanya menyapu seluruh sudut ruangan. Tidak ada yang berubah. Meja kerjanya tetap di tempat semula, susunan berkas-berkas yang rapi, bahkan pot kecil berisi tanaman hias di sudut ruangan masih tumbuh subur. Tak satu pun barangnya diganti atau dipindahkan. Alan, hanya menugaskan seorang staf sementara untuk menangani pekerjaannya selama ia cuti.
Maya menarik napas dalam. Ada rasa haru, ruangan itu seperti saksi bisu perjuangannya selama ini, tempat ia jatuh, berdiri lagi, dan bertahan.
Langkah seseorang terdengar dari luar ruangan. Tak lama kemudian, Jacob muncul di ambang pintu dengan senyum hangat.
“Selamat pagi, Nona Maya. Selamat datang kembali,” ucapnya sopan, namun terdengar antusias.
Maya tersenyum ramah, namun buru-buru mengangkat tangan. “Jacob, panggil saja aku Maya, seperti biasa. Aku tidak nyaman dengan sebutan itu. Aku nggak mau para staf mulai bertanya-tanya atau berspekulasi.”
Jacob mengangguk pelan, meski wajahnya menyimpan keraguan. “Tapi… kamu pantas mendapat panggilan itu. Mantan kekasih Tuan Alan sebelumnya justru selalu ingin dipanggil ‘Nona’ supaya semua orang tahu siapa dirinya.”
Maya mengangkat alis, tersenyum tipis. “Mungkin… beda orang, beda prinsip?”
Jacob tertawa kecil, lalu mengangguk mantap. “Baiklah. Maya, kalau begitu.”
“Oh iya,” lanjut Jacob sambil menyerahkan sebuah kotak kecil “Nona Key menitipkan ini untukmu.”
Maya menerima kotak itu dengan alis bertaut. “Apa ini?”
“Obat penyubur rahim,” jawab Jacob tanpa ragu. “Nona Key mewajibkan setiap istri Tuan Alan untuk meminum ini secara rutin. Tujuannya agar Tuan Alan segera memiliki keturunan.”
Maya tercengang. Matanya membelalak membuka kotak itu, seolah tak percaya.
“Serius?” ucapnya masih tidak percaya.
key menyuruh bawahannya untuk menculik Maya..
apakah key tidak takut jika perbuatannya akan ketahuan Alan??
Alan trauma dengan pertengkaran kedua orangtuanya...
bener kata orang kalo urusan harta antara sodarapun bisa jadi musuh kalo tidak bisa menerima dg bijaksana