Devandra pernah menjadi bagian dari kisah masa lalu Audrey. Pernah menjadi bahagia dan sedih hidupnya. Pernah menjadi luka yang sampai saat ini masih membekas.
Audrey sedang berusaha mengobati lukanya, menghilangkan sakitnya. Tapi disaat itu pula Devan hadir kembali.
Apakah Audrey akan menghilang kembali atau menghadapi lukanya agar ia tak lagi mengingat Devandra dihidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
"Iseng banget sih bang!" protes Audrey saat Vian kakaknya masuk ke rumah sambil tertawa puas.
"Seru Drey! Gegayaan mau romantis. Kamu tuh ya jangan ngasih harapan sama playboy kayak dia!" ucap Vian.
"Dih! Siapa juga yang ngasih harapan?" Audrey menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Kamu tu kemana-mana sama dia. Nanti dia salah paham. Abang tahu loh cowok-cowok kayak Egi gitu mau-mau aja diajakin sana sini pasti nanti ada maunya!" ucap Vian.
"Nggak sih sejauh ini"
"Iya belom!" Vian menjitak kepala Audrey pelan.
"Abang!" protes Audrey.
"Vian! Audrey! Sudah malam ini!" suara Rena membuka pintu kamar membuat keduanya diam.
"Abang tu ma!" adu Audrey. Vian hanya diam dan malah menghidupkan televisi.
"Udah sana! Bersih-bersih! Dari mana sih jam segini baru pulang?" tanya mama Rena.
"Pacaran ma! sama tetangga sebelah!" ucap Vian.
"Eeeh nggak ada ya! Dia tadi kebetulan aja ke rumah liat aku pulang!" kata Audrey.
"Nggak ma! Pacaran dia! Mana si tetangga itu ngegombalin adik aku yang cantiknya standar ini!" ucap Vian sambil mengacak rambut Audrey.
"Apa sih bang!" Audrey menyingkirkan tangan Vian dari kepalanya.
"Vian!"
"Nyaris dicium ma, untung abang datang cepat!" ucap Vian.
"Nggak ada ya!" Audrey menutup mulut Vian, tapi Vian mengelak sambil tertawa puas.
"Udah! Udah malam ini! Bersambung besok! Udah sana mandi!" mama Rena menyuruh Audrey membersihkan diri. Audrey berlari memutari sofa dan sambil lalu menjambak rambut Vian. Vian yang kesakitan mengejar Audrey sampai di depan pintu kamar. Tapi sayang, adiknya sudah mengunci pintu kamar dari dalam.
"Nggak denger mama bilang apa?"
"Adudududdu iya... Iya..." Vian mengaduh karena telinganya di jewer sang mama.
Vian kembali ke ruang tengah melanjutkan menonton. Dan mama Rena malah ikut menonton setelah membuat teh hangat.
"Mama nggak tidur?" tanya Vian.
"Nanti deh! Mama mau nanya ke kamu. Gimana hubungan kamu dan Syasa?" tanya mama Rena. Tumben ia bertanya hubungan Vian dan pacarnya Syasa.
"Baik ma, kenapa ma? Mama mau ketemu Syasa?" tanya Vian.
"Mmm nggak sih! Hanya bertanya. Kalian baik-baik aja kan?" mama Rena memastikan.
"Baik-baik aja, memangnya kenapa sih ma?" tanya Vian.
"Nggak apa-apa, syukurlah kalau baik-baik aja. Mama mau tidur dulu, kalau nggak habis tehnya masukin kulkas,"
"Oke ma," ucap Vian yang melanjutkan menonton televisi. Tak lama Audrey keluar dari kamar. Ia sudah selesai mandi.
"Bang, nggak ada cemilannya ini?" tanya Audrey sambil menuang air teh ke gelas.
"Minum aja, ngemil malem-malem makin gendut kamu!" ucap Vian.
"Aku nggak gendut ya!"
"Gendut sejak dijajanin tetangga," ejek Vian.
"Issss abang!" Audrey menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat d samping abangnya.
Keduanya terdiam menikmati acara kuis di televisi.
"Serius Drey! Abang mau tanya, kamu sama Egi..."
"Nggak baaaang! Tetanggaan doang kan," potong Audrey. Vian hanya menganggukkan kepalanya.
"Cowok yang kemarin?"
"Yang mana?"
"Yang pernah antar kamu," ucap Vian.
"Ohhh dia yang dulu satu SMA dengan aku,"
"Yang bikin kamu nangis? Pantesan mukanya familiar!" ucapnya santai.
"Iya,"
"Terus kemarin kenapa lagi? Dia bikin kamu nangis lagi?" tanya Vian.
"Lebih ke kesal aja sih bang. Yang sudah berlalu ya aku lagi berusaha ngelupain," ucap Audrey.
"Good! Saran abang sih, laki-laki begitu nggak tegas. Nggak bisa menentukan pilihannya sendiri. Jadi cowok maruk amat! Semua cewek dia mau!" ucap Vian yang tahu kisah Audrey dulu.
"Hmm..." Audrey hanya manggut-manggut paham.
"Kamu tu masih suka sama dia?" tanya Vian.
"Nggak," jawab Audrey pelan. Dirinya sendiri tidak yakin kalau dia sudah tak lagi menyukai Devan. Tapi sosok Devan memang sulit dilupakan. Ditambah lagi sekarang ini dengan penampilan yang super rapi dan bersih, wajah yang semakin matang dan potongan rambut yang sangat pendek membuat wajahnya terlihat segar. Siapapun pasti akan melihat dua kali bila berpapasan dengannya.
"Kan melamun! Kamu tu masih suka dengan dia?" tanya Vian.
"Sebenernya aku nggak yakin bang," ucap Audrey.
"Hmmm udah abang duga! Mending kamu pikir-pikir lagi," ucap Vian.
"Iya bang,"
Lau keduanya kembali larut dengan tontonan yang sebenarnya tak lagi menarik. Lalu Audrey pamit terlebih dahulu untuk tidur.
Sebelum tidur Audrey melirik ponselnya. Ada beberapa pesan dari Devan. Audrey mengabaikannya dan memilih untuk tidur. Tapi baru saja akan memejamkan mata ponselnya bergetar.
Egi mengirimnya sebuah pesan.
Drey... kalau malam memang tidak seterang siang. Tapi lihatlah! Malam juga bisa indah dengan bintang dan bulannya
"Apa sih? Memang dasar buaya belum lulus gini nih!" ucap Audrey. Ia meletakkan kembali ponselnya.
Drey... Kok cuma dibaca doang? Kamu lagi senyum-senyum ya?
"Makin-makin ni bocah!" Audrey mematikan ponselnya lalu berbaring di kasur dengan menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut.
Pikirannya kembali ruwet! Devan sukses mengacaukan isi pikiran dan hatinya. Yang dia mau adalah menjauh dan menghindar dari Devan kenyataannya malah kegiatannya malah sering bertemu Devan.
Audrey jadi bertanya-tanya, takdir apa lagi yang akan dia jalani? Apakah bertemu dengan Devan adalah suatu kebetulan? Atau hanya sekedar mampir sejenak dalam hidupnya. Bohong kalau Audrey tak lagi menyukai Devan. Ia masih berdebar saat berdekatan dengannya. Tapi bagaimana cara menghilangkan rasa takut ini?
Ditambah lagi kehadiran Devan bersamaan dengan Naira. Gadis itu terlihat lemah lembut tapi siapa yang tahu dia ternyata gadis yang penuh dendam. Bahkan bisa berubah semenakutkan itu. Ya, Audrey sangat takut dengan Naira. Audrey bukanlah orang yang berani menyampaikan apa yang dia rasa. Marahnya adalah diam. Ia tak bisa mencoba mempertahankan alasannya atau apapun itu untuk membela dirinya atau setidaknya melindungi dirinya sendiri dari orang-orang yang mencoba menyakitinya. Tidak. Bukan menyakiti tapi menyadarkannya tentang posisinya. Sampai ia mendapatkan bekas luka itu, bekas yang ditorehkan oleh Naira sampai kini masih membekas. Dan bahkan Audrey seolah masih merasakan rasa sakitnya sampai sekarang.
Audrey takut ia kembali menjadi orang yang tanpa sengaja merusak hubungan orang lain, lalu terlanjur nyaman dan membenarkan segalanya sampai akhirnya ia terluka sendiri. Audrey takut hal itu akan kembali terulang. Dan bukannya ia tak mau mencoba membuka diri, tapi rasa was-was dan curiga membuatnya tak nyaman. Makanya dia memutuskan untuk sendiri dulu
Ada beberapa teman kuliahnya yang secara terang-terangan mendekatinya. Tapi setelah Audrey menjelaskan dan mereka paham akhirnya mereka mundur sendiri. Malah ada yang sudah menggandeng mahasiswi lain.
Egi? Dia menganggap Egi hanyalah teman dekat untuk berbagi. Egi dengan tingkah konyolnya. Egi dengn segala kerandoman dan sifatnya yang suka menggoda perempuan manapun yang dia temukan di jalan. Membayangkan ia berpacaran dengan Egi membuatnya bergidik ngeri.