Desa Semilir dan sekitarnya yang awalnya tenang kini berubah mencekam setelah satu persatu warganya meninggal secara misterius, yakni mereka kehabisan darah, tubuh mengering dan keriput. Tidak cukup sampai di situ, sejak kematian korban pertama, desa tersebut terus-menerus mengalami teror yang menakutkan.
Sekalipun perangkat desa setempat dan para warga telah berusaha semampu mereka untuk menghentikan peristiwa mencekam itu, korban jiwa masih saja berjatuhan dan teror terus berlanjut.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Siapakah pelaku pembunuhannya? Apakah motifnya? Dan bagaimanakah cara menghentikan semua peristiwa menakutkan itu? Ikuti kisahnya di sini...
Ingat! Ini hanyalah karangan fiksi belaka, mohon bijak dalam berkomentar 🙏
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zia Ni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Campur Aduk
Ketika Drajat pulang dari pasar, Satrio baru saja selesai membersihkan bagian dalam rumah dan halaman rumah temannya.
"Terimakasih banyak lo Sat, kamu sudah membersihkan rumahku sekalian halamannya," kata Drajat setelah memasukkan sepeda ontelnya ke dalam rumah.
"Biasa saja Jat, kita kan teman," sahut pria berbaju serba hitam itu sambil kedua tangannya membawa barang belanjaan yang dibeli oleh temannya.
"Belanjaanmu kok lumayan banyak Jat, kamu punya banyak duit ya?" sekalipun Satrio sudah tahu darimana asal uangnya Drajat, tapi dia sengaja bertanya untuk menguji kejujuran temannya.
"Itu rejeki dari langit, Sat," timpal si empunya rumah gamang karena sampai sekarang dia sebenarnya masih meragukan asal-usul emas yang dia temukan.
"Rejeki dari langit bagaimana maksudnya, Jat?" tanya Satrio.
"Critanya sambil sarapan saja ya, aku tadi beli 2 bungkus nasi pecel sama jajanan pasar."
Tak berapa lama, kedua laki-laki tua itu pun tampak sarapan di ruang tamu yang menurut Satrio sangat nikmat karena sudah puluhan tahun dia tidak makan nasi pecel.
"Jadi begini, selama 1 tahun terakhir, setiap 2 bulan sekali, aku itu nemu secuil batu berwarna kuning di bawah pintu rumahku. Awalnya aku tidak tahu kalau batu itu adalah emas, tapi karena penasaran, aku nekat pergi ke toko emas untuk bertanya terlebih dahulu," Drajat mengawali ceritanya seraya mengunyah makanannya.
"Tidak disangka-sangka, ternyata batu itu emas beneran dan dibeli sama pemilik tokonya 2,5 juta an. Awalnya aku tidak berani untuk membelanjakan uang itu, takutnya emas itu berasal orang yang sengaja ingin menargetkan aku untuk dijadikan tumbal atau apalah itu," tambah si empunya rumah.
"Tapi anehnya lagi, beberapa malam saat aku tidur, aku memimpikan hal yang sama, yang intinya aku bisa menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhanku. Yo wes, akhirnya aku jadi berani membelanjakan uang itu," Drajat mengakhiri ceritanya.
"Pemilik tokonya tanya gak batu emas itu asalnya darimana?" selidik laki-laki berambut putih panjang tersebut.
"Pemilik tokonya tanya, ya aku jawab saja kalau aku nemu di hutan waktu cari kayu bakar. Sebenarnya hati nuraniku berat untuk berkata bohong seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, kalau aku jawab jujur nemu di bawah pintu, jangan-jangan pemilik tokonya tidak percaya dan malah aku yang dikira maling," balas si Drajat.
Mendengar penuturan temannya, Satrio jadi tahu jika sifat jujur Drajat ternyata masih bertahan hingga di usia tuanya.
"Kamu sedang butuh uang? Pakai saja uangku, aku masih ada simpenan 1 juta an," si empunya rumah menawarkan bantuan.
"Tidak usah Jat, aku tidak kekurangan uang kok," sahut pria berambut putih panjang itu.
"Aku serius lo Sat, tidak apa-apa kalau memang kamu mau pinjem uang, tidak perlu sungkan," Drajat masih ragu dengan penolakan temannya.
"Beneran Jat, aku tidak kekurangan uang, kamu pakai saja uang itu untuk membeli kebutuhanmu," Satrio tetap menolak tawaran bantuan temannya karena batu emas yang ditemukan oleh Drajat berasal dirinya.
"Yo wes begini saja, kapan-kapan kalau kamu butung uang, ngomong saja ke aku, tidak perlu sungkan," kata pemilik rumah yang di iya kan oleh Satrio.
"Oh ya, aku tadi juga belikan kamu baju 1 setel, tapi maaf yo kalau bajunya biasa saja yang harganya terjangkau," lanjut si Drajat.
"Oalah Jaat Jat, kamu itu kok yo repot-repot," timpal laki-laki berambut putih panjang tersebut.
"Aku sama sekali tidak merasa repot Sat, justru aku malah seneng karena bisa membelikan kamu sesuatu, kan kita sudah gak ketemuan selama puluhan tahun. Sekalian bisa dijadikan untuk kenang-kenangan dari pertemanan kita," ujar si Drajat yqng membuat temannya merasa trenyuh.
"Iyo Jat, trimakasih banyak."
Setelah keduanya selesai sarapan, mereka pun melanjutkan aktifitasnya, Satrio mencari kayu bakar di hutan, sedangkan Drajat meracik bahan-bahan yang akan dia masak sambil menunggu kayu bakarnya datang.
Sementara itu di area pemukiman Desa Glagah, sesudah semua warga meninggalkan tempat tersebut, dengan ditemani Pak Shodiq, Pak Haji Mashudi berjalan ke arah Barat karena mendapat dorongan yang kuat dari dalam batinnya.
Setelah selama puluhan menit melangkah, keduanya pun dibuat terkejut karena area di depan mereka benar-benar berbanding terbalik dengan sebelumnya, sebab tempat itu tampak normal tanpa ada kabut tebal sama sekali padahal masih sama-sama wilayah Desa Glagah.
"Kok aneh sekali ya, Pak Haji," Pak Shodiq merasa bingung.
"Jadi ini alasannya batin saya memberikan dorongan yang kuat agar berjalan ke arah sini. Sepertinya ada sesuatu yang tak lazim di depan sana," kata Pak Haji Mashudi sambil berusaha melakukan penerawangan.
"Bagaimana kalau kita memeriksa daerah itu, Pak Haji? Siapa tahu kita menemukan sesuatu," usul polisi berpangkat Bripka itu.
"Jangan, kita tidak boleh ke sana. Daerah itu sudah dipasangi pagar gaib," jawab Pak Haji.
"Apa? Daerah itu dipasangi pagar gaib? Kenapa, Pak Haji?" Pak Shodiq semakin bingung tapi Pak Haji Mashudi tidak memberikan jawaban karena dia sedang mempertajam mata batinnya hingga dia bisa merasakan jika masih ada manusia yang tinggal di daerah itu.
Di saat keduanya masih berdiri di tempat tersebut, di kejauhan, tepatnya di samping sebuah pohon besar dan rimbun, tampak berdiri seorang laki-laki tua yang rambutnya putih panjang yang menatap mereka berdua dengan sorot yang tajam.
"Astaghfirullah al-adziim...," Pak Haji Mashudi beristighfar karena kaget hingga tak sadar dia mundur selangkah dan jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok pria tua tersebut, yang tak lain adalah Satrio.
Dari saling tatap itu, Satrio melakukan kontak batin tajam dengan Pak Haji Mashudi agar mereka segera enyah dari tempat tersebut jika ingin selamat. Tanpa berlama-lama, Pak Haji pun mengajak Pak Shodiq untuk segera meninggalkan tempat itu yang membuat polisi tersebut semakin tambah bingung campur penasaran.
"Ada apa, Pak Haji? Siapa laki-laki tua itu? Penampilannya kok aneh," ujar Pak Shodiq seraya mereka melangkah menuju ke gerbang Desa Glagah.
"Dia orangnya," balas Pak Haji singkat dengan jantung masih berdegup kencang.
Sekalipun banyak orang mengenalnya sebagai pemuka agama yang memiliki keistimewaan dan lumayan disegani, tapi sebagai manusia pada umumnya, baru kali ini Pak Haji Mashudi merasakan takut dan gentar saat diintimidasi oleh aura negatif Satrio yang sangat kuat ditambah lagi dia pernah mendapatkan serangan.
"Maksud Pak Haji apa nggih?" polisi berpangkat Bripka itu sangat penasaran.
"Dialah pelaku yang sudah meneror warga Desa Glagah," jawab Pak Haji Mashudi yang membuat Pak Shodiq langsung kaget.