Elena
"Pria itu unik. Suka menyalahkan tapi menerima saat disalahkan."
Elena menemukan sosok pria pingsan dan membawanya pulang ke rumah. Salahkah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emma Shu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Elena Sewot
Sorot tajam mata Elena melemah begitu bertabrakan pandang dengan bola mata Revan yang teduh. Ah, tidak seharusnya ia bersikap demikian.
“Nggak pa-pa,” jawab Elena masih sewot. Hatinya sudah memerintah agar ia tidak perlu menampilkan sikap sewot, tapi sulit melakukannya. “Lo kan nggak ngelakuin kesalahan apapun. Nggak perlu risau.” Elena menarik nafas. Berusaha menenangkan hati dan mengusir kemarahan.
“Kalo gue nggak salah apa-apa kenapa lo sewot gini?” tanya Revan masih memegangi kedua pipi Elena dengan telapak tangannya.
Elena menatap mata hitam Revan lekat-lekat. “Nggak usah lebay,” sinisnya melepaskan wajahnya dari pegangan Revan dengan kasar.
“Nah, lo masih sewot. Kenapa, sih?” lembut suara Revan memecah keheningan. Revan mendekatkan wajahnya ke wajah Elena hingga wajah mereka berjarak sangat dekat.
Ah, teduh tatapan Revan membuat hati Elena terenyuh. Revan tidak sedang membujuk, tapi nada suaranya yang lembut lebih dari sekedar membujuk.
“Kalo lo nggak ngomong apa salah gue, mana mungkin gue bisa tahu dimana letak kesalahan gue, Elena.”
“Ya udah, lo nggak salah apa-apa, kok,” ketus Elena.
“Kalo lo masih sewot gini, artinya gue ngelakuin sesuatu yang ngebuat lo jadi kesel.”
“Nggak penting dibahas.”
“Oke, nggak usah dibahas lagi. Tapi jangan sewot mulu. Kalo emang gue nggak punya salah, lo senyum, dooong!!” Revan kembali meraih pipi Elena. Kedua jempolnya menarik pipi Elena hingga membuat bibir Elena melebar, memaksa wajah itu untuk terlihat tersenyum.
Elena menampik tangan Revan. “Apaan, sih?”
“Haahaaaaa…” Revan tergelak. Tawanya tak begitu lepas karena takut mengganggu istirahat Salva. “Ayolah, senyum ngapa!”
Elena melebarkan bibir selebar-lebarnya hingga terlihat seperti mulut ember. Wajahnya tampak kaku dengan senyum aneh itu.
“Puas?” ketus Elena.
“Puas puas. Lo cantik banget kalo mulutnya lebar gitu,” ujar Boy disela tawa.
Elena mengernyitkan dahi. Kemudian tersenyum tipis. Senyuman asli yang bukan direkayasa.
Akhirnya Revan berhasil membuat Elena benar-benar tersenyum.
“Kak... kakak..” seru Salva sambil mengayun-ayunkan tangan ke udara, kemudian menangis.
Seruan Salva membuat Elena dan Revan terkejut. Mereka bergegas mendekati Salva. Ternyata Salva masih dalam keadaan tidur. Dia mengigau.
“Huuhuuuu...” Salva jelas sedang menangis. Lalu terbangun. Dengan tatapan gusar ia mengamati wajah-wajah di depannya. Lirih dia berkata, “Kak, leher Salva sakit buat nelan. Ngilu. Nyeri. Nyerinya sampai ke kepala, ke telinga.”
Mata Elena berkaca-kaca. Tangannya meraih kepala Salva lalu membenamkannya di dada. Sungguh pedih hatinya melihat Salva menangis dan mengeluh. Itulah sebabnya Salva menyembunyikan sakitnya, sebab dia tidak mau melihat kakaknya bersedih. Tapi kini, tak kuasa lagi ia menahan.
Elena mengelus rambut Salva. Tak tega melihat adiknya itu sakit. Dia ingin adiknya sembuh. Sudah banyak hal yang ia lakukan demi kehidupan peri kecilnya itu. Jangan sampai usahanya sia-sia sampai di sini. Pokoknya Salva harus sembuh. Pikirnya. Bocah cilik yang cerdas, menggemaskan, periang, namun harus menatap masa depan yang tak mudah.
Bukankah Salva rutin meminum obat yang diberikan? Lantas kenapa ia masih merasakan nyeri?
Tanpa sengaja siku tangan Elena menyenggol bantal, tampak beberapa butir obat teronggok di bawahnya. Elena mengernyitkan dahi. Inilah jawaban kenapa Salva merasakan nyeri amandelnya. Salva menyembunyikan obat yang seharusnya ditelan. Elena tidak bisa membayangkan rasa nyeri yang dirasakan adiknya. Secepatnya amandel Salva harus segera diangkat. Harus!! Pikirnya.
“Jagain Salva!” tukas Elena pada Revan. Kemudian ia berlari keluar kamar.
Revan terbengong melihat kepergian Elena yang tiba-tiba. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Pikirnya bertanya-tanya.
TBC
kan revan hampir dirampok crita'a