Notes : Bukan untuk bocil.
"Panggil aku Daddy, Gadis Manis."
Abercio Sanchez. Andai Lucy tak menikah kontrak dengan pria itu, mungkin ... putrinya Ciara tak akan terjebak dalam kegilaan Abercio yang berstatus ayah sambung dari anak tersebut.
Ciara A. Garnacho. Seorang gadis polos yang kekurangan kasih sayang dari sosok ayah kandungnya. Kelemahan tersebut malah dimanfaatkan oleh Abercio yang menjadi ayah sambung dari gadis tersebut.
Hal apakah yang Abercio lakukan sehingga Ciara menuruti semua kegilaan Abercio saat menjadi ayah sambungnya?
Yuk, subscribe novel ini dan baca kelanjutan kisah Abercio dan Ciara!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ini Tak Berbahaya
...“Setidaknya, dengan mengulik kisahku itu, kau bisa tau Bart … aku ini tak berbahaya untuk Daddy Cio. Sebaliknya, pria itu lah yang berbahaya untukku.” – Ciara A. Garnacho...
...❣️❣️...
..."Kau salah Ciara. Kau lah yang berbahaya untukku dan Pak Abercio." – Bart Lincoln Fernandez ...
“Bart … Ciara males makan kalau kamu nggak makan. Masak Ciara sendiri yang makan? Terus di liatin gitu?”
Bart menghela nafasnya. Ia yang sedari tadi duduk tegap di depan gadis itu, benar-benar sedang tak ingin makan. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Yah … bagi pria binaragawan yang menjaga postur tubuhnya seperti Bart, ia menahan diri untuk tak mengkonsumsi karbohidrat di malam hari.
“Saya tak pernah makan malam,” tutur Bart datar.
Ciara bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke arah tukang bakso yang sedang mencuci piring yang telah digunakan oleh pelanggan sebelumnya. “Pak, saya mau bayar.”
Bart terbelalak kaget. Hanya karena tak ditemani makan, lantas Ciara juga tak ingin makan dan memutuskan untuk pulang? Jadi … untuk apa ia menyelinap keluar diam-diam dan menemani gadis itu keluar sambil mempertaruhkan kepercayaan Abercio padanya? Pikir Bart saat itu.
“Pak, baksonya seporsi. Pentolannya aja, nggak pake mi,” pinta Bart sambil mengangkat tangannya ke udara.
Ciara menoleh ke belakang, ke arah Bart. Kemudian ia tersenyum.
“Tambah teh botolnya satu ya, Pak,” pinta Ciara kepada tukang baksonya. “Saya bayarnya nanti aja setelah selesai makan.”
Ciara kembali ke meja di mana Bart berada. Ia duduk menatap ke arah Bart sambil tersenyum penuh kemenangan. Ciara meraih sendok dan garpunya. Kemudian ia berniat menyeruput kuah bakso yang ada di sendok tersebut.
“Kenapa kamu membohongi Pak Abercio?” tanya Bart tegas tanpa basa basi.
Ciara tersentak kaget. Tangannya mendadak bergetar namun ia tetap memaksakan menyeruput kuah bakso tersebut.
“Apa yang sedang kamu rencanakan?” tanya Bart lagi.
Ciara mengangkat wajahnya dan meletakkan sendok serta garpu ke dalam mangkok baksonya. Ia menatap pria yang ada di depannya sambil memaksakan senyum yang terlihat sangat gugup. “Ciara nggak ngerti Bart ngomong apa.”
“Bakso dan tehnya, Mas.” Tukang bakso tersebut memberikan semangkok bakso serta teh botol ke atas meja yang Bart duduki. Kemudian ia berlalu pergi.
“Bertingkah manja dan menggemaskan di depan semua orang seolah-olah kamu anak kecil yang belum dewasa. Kalau kamu merencanakan sesuatu untuk menyakiti—”
“Justru aku yang bertanya-tanya. Apa alasan pria itu menikahi Mommy-ku?!” Ciara memotong pembicaraan Bart. Ia tak lagi mampu bersandiwara di depan pria yang kini menuduhnya ingin mencelakai Abercio. Sebaliknya, kini ia merasa dipermainkan.
“Apa … Daddy Cio mengetahui sandiwaraku ini?” tanya Ciara menyelidiki. Ia menatap tajam ke arah Bart yang kini tahu siapa dia sebenarnya.
Bart kembali menatap mata Ciara. Pria berusia dua puluh lima tahun itu tak sedikitpun merasa takut dengan tatapan Ciara berikan padanya.
Bagi Bart, gadis yang ada di depannya saat ini tak berbahaya sama sekali baginya. Tapi … berbahaya bagi Abercio. Jadi, ada baiknya ia menutupi kenyataan yang telah ia dan Abercio ketahui.
“Bapak belum tau. Tapi aku akan segera mengatakan kepadanya,” tutur Bart sambil mengalihkan pandangannya ke arah bakso yang ada di depannya. Ia mengambil botol saus dan menumpahkan secukupnya ke mangkok tersebut.
“Jangan beritahu Daddy. Ku mohon. Aku tak akan menyakitinya, aku … aku hanya ingin tahu, apa alasan Mommy dan Daddy Cio menikah? Kontrak apa yang telah mereka sepakati sampai-sampai sekarang Mommy nggak menghubungiku? Mommy tak pernah seperti ini sebelumnya,” jelas Ciara putus asa.
Saat itu Ciara tertunduk dengan wajah yang putus asa dan sedih. Kali ini ia tak bersandiwara. Ia benar-benar seperti kapal yang sedang terombang ambing oleh arus ombak yang terjal di tengah laut yang luas. Tak ada siapapun di sisinya saat ini, bahkan Darren juga tak di sisinya.
“Aku tau, tugasmu adalah memprioritaskan keselamatan Daddy Cio. Tapi aku juga punya tugas sendiri untuk memprioritaskan keselamatan Mommy. Gadis tak berdaya sepertiku, memangnya bisa apa selain bersandiwara untuk mengetahui sesuatu yang inginku ketahui?”
“Aku tak memiliki kemampuan sepertimu yang bisa menyelidiki siapapun yang ingin kau selidiki. Aku yakin, ada banyak hal yang telah kamu kulik dari kisah hidupku yang malang ini, bukan? Setidaknya, dengan mengulik kisahku itu, kau bisa tau Bart … aku ini tak berbahaya untuk Daddy Cio. Sebaliknya, pria itu lah yang berbahaya untukku,” tutur Ciara panjang lebar dengan sorot mata yang nanar dan berkaca-kaca.
“Jadi ku mohon … tolong jangan laporkan sandiwaraku ini kepada Daddy Cio. Aku janji tak akan menyakitinya,” ucap Ciara sambil menunduk menatap makanannya.
“Meskipun dia telah menyakitiku lebih dulu,” lirih Ciara pelan.
Namun Bart dapat mendengarkan ucapan terakhir Ciara karena sejak tadi Bart menajamkan pendengarannya untuk menyelidiki rubah kecil yang licik di depannya.
Bart menghela nafas panjang. Ia mengaduk-aduk kuah baksonya tanpa memberikan respon apa-apa pada apa yang telah Ciara jelaskan sejak tadi. Kali ini, ia dapat merasakan kejujuran dari gadis itu. Tak ada dusta yang terucapkan dari bibir gadis itu.
Kurang lebih beberapa menit mereka terdiam tanpa terlibat percakapan, akhirnya mereka selesai menyantap bakso tersebut. Ciara ingin bangkit dari duduknya untuk membayar makanan tersebut, namun dengan gesitnya Bart berdiri dan berjalan ke arah tukang bakso tersebut dan membayar makanan mereka.
“Bart,” Ciara mengikuti Bart yang berjalan menuju ke arah mobil terparkir. “Aku akan mengganti—”
“Nggak usah. Malam ini biar aku yang traktir,” potong Bart datar.
“Tapi—”
Bruk!
Ciara menabrak dada kekar milik pria berusia dua puluh lima tahun itu. Siapa suruh pria itu memutarkan tubuhnya secara mendadak tanpa berkata apa-apa atau memberi aba-aba? Jadi bukan salahnya ‘kan jika ia menabrak pria berkulit sawo matang itu?
Ciara mengangkat wajahnya ke atas untuk melihat ke arah Bart. Bart juga sama, ia menundukkan pandangannya sehingga mata hitam legam miliknya bertemu dan beradu pandang dengan mata amber milik Ciara.
“Sorry, Bart. Tapi kamu duluan loh yang berhenti dadakan. Jadi ini bukan salahku,” ucap Ciara tak ingin disalahkan.
Deg! Deg! Deg!
Wajah Bart mendadak merona. Telinganya juga mendadak berwarna merah muda. Ia dapat merasakan getaran aneh di dadanya. Perasaan yang meluap-luap saat matanya beradu pandang dengan mata amber milik Ciara. Ada perasaan yang tak seharusnya hadir saat itu. Perasaan antara pria dan wanita pada umumnya.
"Kau salah Ciara. Kau lah yang berbahaya untukku dan Pak Abercio." Lirih Bart dalam hati.
“Bart?” Ciara melambaikan tangannya ke arah wajah Bart. Ia menaikkan kedua alisnya dengan bibir yang lurus membentuk horizontal sejajar dengan telinga.
Bart tersentak dari lamunannya karena pesona yang ditebar oleh mata indah milik Ciara. Ia kembali memutarkan tubuhnya membelakangi Ciara dan bergegas menuju mobil. “Cepatlah. Hari sudah malam. Pak Abercio akan marah jika kita ketahuan.”
...❣️❣️❣️...
...BERSAMBUNG…...
dia cinta pertama kamu bert bahkan demi dia kamu merelakan nyawamu juga untuk cinta perma kamu.aku bahkan yang baca sampai air mataku jatuh tampa sadar.