MAHAR 10 MILIAR

"Kamu dan aku tidak ada ikatan persaudaraan lagi semenjak Papa meninggal dunia. Karena kamu bukan adik kandungku maka aku tidak bisa membagi harta peninggalan papa. Kamu bisa keluar dari rumah ini," jawab Fara atas permohonan Riska. Riska terduduk lemas di lantai. Dia tak menyangka Fara bisa menolak permintaannya.

"Tega kamu mengusirku?" tanya Riska sambil terisak.

"Tega? Bagaimana sikap kamu selama ini padaku? Apa kamu lupa atau pura-pura amnesia?" tanya balik Fara pada Riska.

"Kalau bukan padamu pada siapa lagi aku menggantungkan diri?" Riska mengiba pada Fara.

"Jangan khawatir aku akan membayar sekolahmu sampai kamu lulus. Kurang berbaik hati apa aku ini?"

Cello tidak menyangka rasa sakit yang diciptakan ibu dan adik tirinya begitu mendalam sehingga Fara sulit untuk memaafkan mereka. "Sayang, apa kamu yakin?" tanya Cello dengan keputusan yang diambil Fara.

"Jangan khawatir aku akan menjual rumah ini. Karena aku tidak membutuhkan rumah ini lagi. Aku sudah menemukan rumahku sendiri," ucapnya sambil memandang suaminya.

"Itu sama saja memberikan harta ayahmu padanya sayang," kata Cello.

"Aku hanya akan membayarkan uang sekolahnya. Urusan makan biar dia cari sendiri. Biar kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku dulu."

Sebelum benar-benar diusir Fara memberikan sejumlah uang agar Riska bisa mencari tempat tinggal sementara. "Gunakan uang itu sebaik-baiknya," pesan Fara pada adik tirinya.

Berbuatlah sesukamu. Karena sesungguhnya kamu akan diberi balasan karenanya.

Setelah memastikan Riska pergi, Fara meminta Anwar mengunci pintu rumahnya. "Tolong cari pembeli secepatnya," perintah Fara pada Anwar. Anwar mengangguk patuh.

Setelah itu Fara mengajak suaminya pulang. Sepanjang jalan menuju ke unit apartemennya dia menangis. "Sayang kenapa kamu menangis?" tanya Cello pada istrinya.

"Aku hanya merasa lega karena penderitaanku sudah berakhir," jawabnya. Cello pun mengusap kepala sang istri.

"Apa perlu kita resmikan pernikahan kita dan umumkan pada publik?" Cello meminta pendapat istrinya.

Fara mengangguk setuju. "Apa kamu tidak keberatan?" tanya Fara memastikan.

"Tentu saja tidak. Bagaimana kalau kita bicarakan ini dengan kedua orang tuaku agar mereka membantu kita mengurus acara resepsi yang akan kita adakan nanti?" Fara mengangguk setuju.

Cello pun memutar arah mobilnya menuju ke rumah orang tuanya.

"Ada apa ini tumben kalian main ke sini?" tanya Mama Cindy yang menyambut kedatangan anak dan menantunya.

Fara meraih tangan Mama Cindy untuk dicium sebelum menjawab pertanyaan mertuanya itu. "Aku mau mama urus acara resepsi pernikahan kami," ucap Cello memberitahu mamanya.

Mama Cindy terkejut mendengarnya. "Hah, yang betul? Kapan maunya?" tanya Mama Cindy memastikan.

"Terserah mama saja," jawab Fara.

"Ya sudah masuk dulu yuk! Kalian sudah makan apa belum?" tanya Mama Cindy pada menantunya. Fara menggeleng.

"Duduk, mama masak banyak hari ini. Kamu harus makan yang banyak biar gemukan."

Cello menyemburkan air yang habis dia minum. "Kenapa Fara harus gemuk Ma emangnya mau dikorbanin?" ledek Cello. Fara mendelik tajam menatap suaminya. Dia memberikan kode agar bisa menjaga ucapannya di depan sang mama. Cello pun menciut.

"Ya kan karena Fea lagi hamil," kata Mama Cindy. Kini giliran Fara yang tersedak ludahnya sendiri.

"Kenapa sayang? Mama salah ya?" sindir Mama Cindy. Ruby telah menceritakan pada mamanya kalau mereka berbohong selama ini.

"Ma jangan salahin Fara ini semua karena mama yang salah paham duluan waktu itu. Mama seenaknya ambil kesimpulan waktu Fara mual."

"Eh eh kamu berani nyalahin mama?" Bentak Mama Cindy sambil berkacak pinggang.

"Ampun Ma." Cello menangkupkan telapak tangannya. Fara pun terkekeh melihat tingkah ibu dan anak itu.

"Ma, doain ya Fara cepat dapat momongan," ucap Fara dengan lembut.

"Pasti dong sayang. Apa kalian sudah proses?" goda Mama Cindy. Wajah Fara bersemu merah.

"Tiap hari Ma," jawab Cello dengan santainya. Fara melotot lagi ke arah suaminya. Mulutnya itu benar-benar tidak bisa dikontrol. Fara menjadi malu di depan mertuanya.

Lama mengobrol di rumah mertuanya Fara mencari keberadaan Daisy. "Kok sepi Ma. Yang lain ke mana?" tanya Fara.

"Daisy lagi cari perusahaan katanya dia mau kerja," jawab ibunya.

"Kenapa dia tidak kerja di tempat aku aja Ma?" tanya Cello.

"Ditawari posisi tinggi sama papamu saja dia tidak mau apalagi kerja di tempat kamu," jawab Mama Cindy.

"Sayang bulan ini sudah telat belum?" tanya Mama Cindy. Dia begitu tidak sabar mendapatkan cucu.

"Ya ampun mama nggak sabaran banget sih," gerutu Cello. Fara kan baru sembuh juga masa belum ada sebulan dia bisa hamil?"

"Oh iya kamu benar juga. Nanti kalau kamu mulai nemuin tanda-tanda hamil kasih tahu mama ya sayang. Mama nggak sabar buatin kamu banyak makanan. Mama akan masukin kamu apa aja yang kamu mau," kata mama Cindy bersemangat.

Fara merasa terharu matanya tak kuasa menahan air mata. "Sayang kok kamu nangis?" tanya Mama Cindy khawatir.

"Aku terharu, Ma. Sudah lama aku tidak merasakan kasih sayang ibu. Ibuku meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Lalu aku dibesarkan oleh papa seorang diri hingga dia merasa capek membesarkanku. Pada akhirnya dia menikah dengan wanita itu. Sejak saat itu hidupku berubah." Fara semakin banyak mengeluarkan air mata mengingat penderitaan yang dia alami seorang diri.

Cello memberikan tisu kepada istrinya. Dia hendak memeluk sang istri tapi Mama Cindy lebih dulu merangkulnya. "Mulai sekarang anggaplah mama ini sebagai ibu kandungmu. Mama akan senantiasa menyayangi kamu, Fara." Mama Cindy menatap mata Fara dan mengelus rambutnya yang panjang.

"Terima kasih banyak Ma. Aku sangat beruntung bergabung menjadi keluarga kalian," ucapnya sambil tersenyum.

Setelah hari mulai petang, Cello mengajak istrinya pulang. "Lain kali kalian perlu kunjungi dokter kandungan untuk konsultasi masalah progam kehamilan," pesan mama Cindy sebelum mereka pergi.

"Baik, Ma. Kami pulang dulu ya salam buat papa dan Daisy." Mama Cindy mengangguk menanggapi ucapan Fara.

Mereka pun melajukan mobil menuju ke apartemen yang mereka tinggali. Ketika melewati perumahan, Cello berpikir untuk membeli sebuah rumah untuk keluarga kecilnya nanti. "Sayang bagaimana kalau kita pindah ke rumah yang lebih besar dari pada apartemen kita saat ini?" tanya Cello meminta pendapat dari istrinya.

"Mau mau, kapan?" tanya Fara bersemangat.