Seorang polisi harus menikahi putri dari jendral yang menjadikannya ajudan. Dengan kejadian tak terduga dan tanpa ia ketahui siapa orang yang telah menjebak dirinya.
"Ini semua pasti kerjaan kamu 'kan? Kamu sengaja melakukan hal ini padaku!" Sentak Khanza saat menyadari dirinya telah tidur dengan ajudan yang diberikan oleh Papanya.
"Mbak, saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak ingat apapun," jelas Yusuf, polisi yang ditunjuk sebagai ajudan untuk putri jenderal bintang dua itu.
Jangan ditanya bagaimana takutnya Pria itu saat menyadari, bahwa ia telah menodai anak dari jenderal bintang dua itu.
Siapakah Jendral bintang dua itu? Kalau sudah pernah mampir di karya aku yang berjudul, (Dokter tampan itu ayah anakku) pasti tahu dong😉 Yuk kepoin kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana pergi
Aku masih menangis terisak-isak dan menyembunyikan wajahku di kedua lututku. Aku mendengar suara pintu kamar terbuka, maka segera aku menoleh siapa orang yang datang. Ternyata Bunda yang masuk kedalam kamarku.
Bunda duduk disisiku. Aku segera masuk kedalam pelukannya, kembali tangisku pecah. Aku sebenarnya ingin sekali menjadi wanita tegar tanpa harus cengeng seperti ini. Tetapi, aku rindu kasih sayang dari suamiku. Sungguh aku benar-benar merindukan Mas Yusuf.
Saat dia mengatakan sedang sibuk dalam tugas, maka aku masih bisa memahami, tetapi setelah apa yang aku lihat, meruntuhkan segala rasa percayaku selama ini.
"Coba ceritakan pada Bunda, apa yang terjadi Nak?"
"Bun, tadi aku benar-benar melihat Mas Yusuf, dan aku melihat dia bersama seorang wanita, dan wanita itu bukan Mbak Tiara. Kenapa Papa tidak mau mencari tahu tentang Mas Yusuf? Sebenarnya bagaimana sikap Pria itu? Aku sudah tidak mau bertahan lagi dengan pernikahan ini Bun..."
Aku bicara dengan suasana hati begitu kecewa. Aku merasa telah dibohongi oleh Mas Yusuf. Kenapa dia tidak mau jujur padaku?
"Jangan cepat-cepat mengambil keputusan, Nak. Lebih baik kamu minta penjelasan setelah dia kembali."
"Tapi aku sudah berusaha untuk menghubunginya Bun, tetapi dia tidak menerima panggilan dariku. Aku sangat kecewa padanya."
"Sabar ya, Sayang, nanti Bunda minta Papa untuk menghubunginya."
"Bun, aku hanya meminta penjelasan dan kejujuran darinya. Hanya itu saja."
"Iya, Nak, Bunda mengerti apa yang sedang kamu rasakan. Yasudah, sekarang jangan sedih lagi ya. Ayo istirahatlah!"
Bunda berusaha menangkan aku. Hatiku sedikit lega, apa yang dikatakan Bunda memang benar, aku tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Aku akan menunggu Papa untuk bicara dengannya.
Setelah Bunda keluar, aku merebahkan diri untuk melepaskan penat dalam pikiranku. Otakku terasa tumpul untuk menerjemahkan hal yang tidak aku ketahui.
Saat memejamkan mata, aku merasakan ada gerakan kecil di perutku. Bibirku tersenyum haru, dan segera mengusap perutku dengan lembut.
"Maaf ya, Nak, Mama sudah membuat kamu ikut sedih. Baiklah, sekarang Mama tidak akan sedih lagi, Mama akan fokus dengan dirimu. Sekarang hanya kamu prioritas Mama."
Ya, aku tidak boleh sedih. Mulai sekarang aku harus tegar, aku tidak ingin lagi memikirkan tentang Mas Yusuf. Terbesit dipikiranku untuk menepi mencari ketenangan.
Lebih baik aku pergi dari kota ini. Disini aku tidak bisa bergerak bebas. Aku juga bosan bila harus berkurung diri dirumah saja. Lebih baik aku ketempat Oma saja di Medan.
Baiklah, aku akan tunggu konfirmasi dari Papa dulu tentang Mas Yusuf. "Okey, sekarang ayo kita istirahat dulu my baby." Segera kupejamkan mata untuk lari sejenak dari masalah yang ada.
***
Malam setelah isya, aku turun kebawah untuk makan malam bersama. Saat aku turun Papa dan Bunda sudah berada di ruang makan. Aku menyapa kedua orangtuaku, kutarik sebuah kursi disamping Papa. Aku sengaja memilih duduk disamping Bapak jendral kesayanganku.
Sepertinya hanya Papa Pria yang jujur di dunia ini. Mungkin juga Papa Pria yang paling setia. Kasih sayangnya begitu tulus untuk istri dan anak-anaknya. Aku sangat mengagumi sosok Papaku. Sedari kecil hingga aku dewasa, aku tidak pernah melihat Bunda menangis karena bermasalah dengan Papa.
Ah, andai saja stok lelaki masih ada yang seperti Papa, maka aku orang yang lebih menginginkannya. Awalnya aku berpikir Mas Yusuf Pria yang baik dan jujur seperti Papa, tetapi semua penilaianku menjadi minus.
"Makan, Nak." Papa mengisi piringku, aku sedikit terpana melihat perlakuan Papa, apakah Papa tahu apa yang terjadi padaku? Ah, mungkin saja Bunda telah bercerita.
"Sudah, ayo makan dulu." Papa mengusap kepalaku. Sepertinya Papa tahu apa yang ingin aku tanyakan.
Aku hanya mengangguk. Aku harus tegar tidak boleh sedih lagi, ini semua demi kebaikan bayiku, aku tidak ingin segala kesedihan ini bisa berdampak buruk padanya. Aku fokus dengan makanan, tidak ingin bicara apapun, aku hanya ingin penjelasan dari Papa tentang Mas Yusuf.
Selesai makan, aku mengikuti Papa dan Bunda untuk duduk diruang keluarga. Ya, itu adalah kebiasaan Papa setelah makan beliau akan duduk di ruang keluarga ngobrol ringan dengan Bunda. Biasanya aku jarang ikut bergabung dengan mereka, aku lebih memilih untuk naik kembali ke kamar, tapi kali ini aku benar-benar ingin mencari tahu tentang Mas Yusuf.
Aku berharap penjelasan, agar aku tahu yang sebenarnya, aku hanya merasa digantung tidak bertali, yang membuat hatiku sakit karena dia tidak berkabar. Dia terkesan menghindariku.
"Pa, bagaimana? Apakah Papa sudah menghubungi Mas Yusuf?" tanyaku langsung pada pokok pembahasan.
"Sudah, Papa sudah menghubunginya. Yusuf mengatakan sedang sibuk dengan tugas-tugasnya, dia minta maaf karena tidak sempat menerima telepon dari kamu. Tapi dia janji sama Papa, jika nanti dia mempunyai waktu akan menghubungi kamu. Sekarang kamu jangan berpikir yang macam-macam ya. Papa percaya dia adalah Pria yang baik."
Entah kenapa aku merasa tidak puas dengan penjelasan dari Papa. Dan sepertinya Papa menaruh kepercayaan penuh padanya. Ah, entahlah, sepertinya aku memang butuh waktu untuk menenangkan diri.
"Pa, Bun, aku ingin ketempat Oma. Aku bosan disini. Aku ingin mencari suasana baru untuk menenangkan pikiranku. Izinkan aku ya?" Aku sampaikan keinginanku pada kedua orangtuaku. Aku melihat Papa dan Bunda saling pandang, dan kudengar Papa menghela nafas berat, tetapi wajahnya tampak pasrah.
"Apakah itu sudah menjadi keputusan yang bulat untuk kamu?" tanya Papa meyakinkan aku.
"Iya, Pa, aku merasa disana aku lebih mudah bergerak. Mungkin aku akan mencari kesibukan, aku bisa bekerja di RS Om Yandra."
"Baiklah, Papa dan Bunda tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, kamu harus tetap waspada. Nanti Papa akan minta Abangmu untuk mencari penjaga buat kamu disana."
Aku tersenyum bahagia, akhirnya Papa dan Bunda mengizinkan aku untuk keluar dari rumah. Sekarang aku hanya akan fokus dengan anakku. Aku tak ingin lagi berharap pada Mas Yusuf. Biarlah dia menjalani kehidupan yang aku sendiri seperti apa kebenarannya.
"Tapi, sebelum pergi kamu beri kabar pada Yusuf ya, biar dia tidak kehilangan saat pulang nanti," ujar Bunda.
Mana mungkin dia kehilangan Bun. Ada atau tidaknya aku disini dia tidak akan pernah kehilangan.
"Baiklah, Bun."
"Kapan kamu akan pergi?" tanya Papa
"Besok Pa, nanti Papa dan Bunda beri kabar Oma dan Opa ya. Nanti biar aku yang kabari Abang Anju dan Om Yandra."
Ya, sepertinya lebih cepat lebih baik. Aku ingin mencari ketenangan. Mungkin lebih baik aku melahirkan disana, agar tak ada orang yang tahu. Kalau bisa setelah anakku lahir aku akan menetap disana.
Bersambung....
NB. Hari ini author kurang sehat, jadi maaf jika kurang menghayati 🙏🥺
Happy reading 🥰