Masa putih abu-abu adalah masa paling indah setiap remaja begitu pula yang dialami Bunga. Cinta yang membara dan menggebu serta pengaruh darah muda yang bergejolak membuatnya dan sang kekasih terhanyut dalam pusaran dosa manis yang akhirnya membuat hidupnya penuh luka.
Bunga hamil. Kekasihnya pergi. Keluarga kecewa dan membenci lalu mengusirnya. Terlunta-lunta di jalanan. Kelaparan. Dicaci maki. Semua duka dan luka ia hadapi seorang diri. Ingin menyerah, tapi ia sadar, dosanya sudah terlampau banyak. Ia tak mungkin mengabaikan permata indah yang telah tumbuh di rahimnya. Tapi sampai kapankah ia sanggup bertahan sedangkan semesta sepertinya telah terlampaui jijik kepadanya?
Inilah kisah Bunga dan lukanya.
Jangan lupa tap love, like, komen, vote, dan hadiahnya ya biar othor makin semangat update!
Bacanya jangan skip, please! Jangan boom like juga! soalnya bisa menurunkan kualitas karya di NT! Terima kasih. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. XXXIV Sikap orang tua Edgar
Kini Bunga, Edgar, dan Putri telah tiba di kediaman orang tua Edgar. Edgar pun segera membawa masuk Bunga dan Putri ke dalam rumah itu setelah mengucapkan salam sebelumnya.
"Yuk, Nga, kita ketemu mama papa ku," ajak Edgar yang langsung membawa Bunga ke hadapan orang tuanya yang sedang menonton televisi.
"Ma, pa, kenalkan, ini Bunga dan si cantik ini Putri," ujar Edgar seraya memperkenalkan Bunga dan Putri kepada kedua orang tuanya.
"Kenalkan, saya Bunga Om, Tante. Dan ini Putri, anak saya," ujar Bunga sopan seraya bersalaman dan mencium punggung tangan ayah dan ibu Edgar secara bergantian diikuti Putri setelahnya.
Keduanya menyambut uluran tangan itu dengan mulut yang terkunci. Jelas sekali tatapan kedua orang tua Edgar tampak tak menyukai kedatangan Bunga dan Putri.
Bunga yang memang sejak awal sudah merasakan hawa tak menyenangkan, makin mencelos saat melihat ibu Edgar segera mengelap tangannya ke baju yang ia kenakan seolah jijik telah bersalaman dengannya dan Putri.
Bunga pun duduk dengan wajah tertunduk. Dalam hati, ia tertawa miris. Beruntung ia tidak memiliki rasa apapun pada Edgar, bila iya, entah betapa sakit hatinya mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Ma, ini ada kue buatan Bunga. Kuenya enak lho. Pasti mama juga bakal suka," ujar Edgar seraya menyerahkan sebuah kantong cukup besar yang di dalamnya ada sebuah wadah berisi kue buatan Bunga.
Ibu Edgar menerimanya dengan wajah datar. Bahkan ucapan terima kasih pun tak terucap sama sekali. Edgar merasa benar-benar tak enak hati jadinya.
"Papa tinggal dulu ya. Papa lupa belum selesai memeriksa skripsi mahasiswa papa," tukas ayah Edgar yang sengaja menghindari Bunga dan Putri.
"Duh, perut mama kok mendadak sakit! Kayaknya masuk angin nih. Mama masuk dulu, nggak papa kan!" ujar ibu Edgar yang juga berusaha menghindari Bunga dan Putri.
"Iya Tante, nggak papa kok," jawab Bunga lembut. Ibu Edgar yang bernama Weni itupun mengangguk samar, tanpa membalas senyum Bunga sedikitpun. Bunga hanya menghela nafasnya.
"Ma, Putri ngantuk," ujar Putri yang sesekali menguap.
"Kak, kayaknya kami pulang aja deh! Kasian Putri udah ngantuk," ujar Bunga beralasan. Kebetulan sekali pikirnya, Putri yang mulai mengantuk bisa ia jadikan alasan agar bisa segera pulang.
Edgar menghembuskan nafas kasar, lalu tersenyum sendu. Ia paham, Bunga dan Putri pasti merasa tak nyaman berlama-lama di rumahnya. Padahal segelas minum pun belum terhidang. Edgar merasa sangat kecewa sekali dengan sikap orang tuanya yang menurutnya sungguh sangat keterlaluan.
Edgar mengangguk lesu sambil tersenyum sendu, "ya udah, yuk!"
"Nggak pamitan sama orang tua kamu dulu, kak? Nggak sopan dong pulang gitu aja?" tanya Bunga.
"Ya udah, kamu tunggu sebentar ya, aku masuk bilang ke mereka dulu."
Kemudian Edgar pun segera masuk ke kamar orang tuanya. Edgar lagi-lagi tersenyum getir, tampak sekali orang tuanya tidak menyukai pilihannya. Semua yang dikatakan orang tuanya tadi hanyalah alasan. Terbukti saat memasuki kamar orang tuanya, mereka justru sedang menonton televisi bersama.
"Gimana kak? Udah bilang?" tanya Bunga setelah melihat Edgar telah kembali.
"Udah. Kata mereka, maaf nggak bisa nganterin ke depan. Papa masih sibuk, sedangkan mama masih sakit perut," dusta Edgar. Ia tentu tak mau terang-terangan menunjukkan kalau orang tuanya tidak menyukai kedatangannya.
Bunga pun mengangguk paham, kemudian Bunga meraih Putri ke dalam gendongannya lu mulai melangkah keluar.
"Lho, udah mau pulang?" tanya Niko heran.. Bukankah baru setengah jam yang lalu Edgar mengirimnya pesan sudah hampir sampai di rumah orang tuanya. Tapi kenapa sekarang sudah mau pulang?
"Iya, Ko. Putri udah ngantuk berat ni. Kami pulang dulu ya!" pamit Bunga. Niko mengangguk sambil melirik sang kakak. Tapi Edgar hanya bisa tersenyum tipis sambil memberi kode ke arah rumah. Niko bisa menembak pasti ini ulah orang tua mereka.
...***...
"Lho, kok mama papa di kamar aja? Tadi nggak nemenin Mbak Bunga?" tanya Niko tanpa basa-basi langsung duduk di antara kedua orang tuanya
"Ngapain? Entar dia malah makin kepedean ngerasa direstui," ketus Weni membuat Niko menganga tak percaya dengan kata-kata ibunya.
"Kalian berdua ini kenapa sih? Kok bisa-bisanya dekat perempuan nggak jelas kayak gitu?" cetus Wawan, ayah Edgar dan Niko.
"Perempuan nggak jelas?" beo Niko.
"Benar kan dia perempuan nggak jelas. Nggak punya keluarga, punya anak akibat hamil di luar nikah, miskin, nggak berpendidikan, pekerjaan cuma jaga konter, malu-maluin aja. Mau ditaruh mana muka papa kalau orang tua Edgar mau nikahin perempuan kayak gitu," decak Wawan sambil geleng-geleng kepala.
Niko sampai menganga tak percaya dengan ucapan ayahnya sendiri.
"Papa ini dosen tapi pikiran papa kok cetek banget sih? Ingat pa, nggak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Nggak ada juga manusia yang luput dari salah dan dosa, termasuk kita. Mbak Bunga memang berbuat salah di masa lalu, tapi tidak pantas kita menghakiminya. Lagipula selama 2 tahun mengenal mbak Bunga, Niko lihat dengan mata kepala sendiri kalau mbak Bunga itu perempuan baik-baik. Dia bisa menjaga diri dengan baik. Dia sabar, tangguh, mandiri, bayangin dia membesarkan anaknya seorang diri tanpa pernah mengeluh," terang Niko dengan menggebu. "Papa bilang dia nggak ada keluarga, bukankah kita sebagai keluarga lengkap sebaiknya merangkulnya. Mama udah lama kan pingin anak perempuan, cucu perempuan, mama bisa jadiin Putri cucu mama. Putri itu cantik, baik, pintar, dan menggemaskan. Mbak Bunga mendidiknya dengan baik. Kalau mama mau kenal lebih dekat aja, Niko yakin mama akan suka sama Putri," imbuh Niko lagi tapi kedua orang tuanya justru mendengus. Mereka heran mengapa kedua putranya bisa begitu menyukai perempuan seperti itu.
"Dia pakai pelet apa sih sampai kalian berdua bisa segitu membelanya?" ketus Weni membuat Niko menghela nafas lelah.
"Mama mantan guru lho, masih percaya yang kayak gituan? Astaghfirullah ... Niko benar-benar nyangka orang tua yang sering Niko bangga-banggakan ternyata pikirannya begitu picik," seru Niko seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ternyata percuma bicara dengan mama dan papa, otak mama dan papa terlalu picik untuk menilai orang sebaik mbak Bunga," imbuhnya. Kemudian tanpa kata, Niko segera membalik tubuhnya keluar dari kamar orang tuanya itu.
...***...
"Bunga, maafin sikap mama dan papa ku tadi ya!" ujar Edgar yang kini masih duduk di balik kemudi. Mereka telah tiba di dekat kontrakan Bunga. Kontrakan Bunga terletak di sebuah gang kecil jadi mobil tidak bisa masuk ke dalam sana. Jadi Edgar harus memarkirnya di tepi jalan yang lebih besar. Jaraknya hanya beberapa meter dari kontrakan Bunga.
Bunga tersenyum maklum, "nggak papa kak. Hal itu wajar kok namanya orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Mungkin kalau aku yang jadi orang tua kamu akan bersikap kayak gitu juga."
"Memang aku nggak salah menyukai kamu, Nga. Kamu terlalu baik dan bijak. Aku akan coba yakinkan orang tuaku lagi. Semoga aja mereka mau menerima kamu. Kamu masih mau menunggu kan?" tanya Edgar penuh harap.
"Aku nggak bisa janji kak. Ingat, jodoh, maut, dan rejeki setiap manusia itu sudah dituliskan di Lauhul Maffudz, jadi kita hanya bisa berusaha dan Allah lah yang menentukan. Terima kasih sudah menyukai aku perempuan yang hina ini," ucap Bunga sendu namun cukup membuat jantung Edgar serasa diremas.
...***...
Selepas melihat mobil Edgar yang perlahan menjauh, Bunga pun segera melangkahkan kakinya menuju kontrakannya. Baru saja Bunga berhasil membuka kunci rumahnya, tiba-tiba ada suara dua orang yang menyerukan namanya. Bunga pun segera membalikkan badannya dengan Putri yang berada dalam gendongannya. Seketika mata Bunga membelalak dan matanya berkabut. Perlahan, bulir-bulir bening luruh dari pelupuk matanya. Ia tak menyangka, bisa bertemu kembali dengan sosok itu. Salah seorang yang amat sangat ia rindukan.
Mau maen tebak-tebakan, siapa yang datang itu, hayoooo???? 😄😄😄
...Happy reading 🥰🥰🥰...
tapi yg bikin seneng tetep hepi ending.makasih thor ud kasih bacaan yg bagus.terus semangat berkarya...♥️♥️