Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Makan siang di rumah papa
Ayman dan Zayna membereskan semua barang-barang mereka karena akan pergi ke rumah orang tua pria itu. Berbeda dengan sang istri yang tidak sabar ingin bertemu dengan mertuanya, Ayman justru merasa takut. Dia takut mamanya akan mengusir mereka dan melakukan sesuatu yang akan menyakiti Zayna.
Sudah cukup penderitaan yang dialami istrinya. Dia tidak ingin melihat wajah sedih wanita itu. Apalagi sampai mengeluarkan air mata seperti kemarin. Sungguh Ayman tidak ingin hal itu terjadi karena dirinya pasti tidak akan bisa memilih berada di pihak mana.
Semalam Ayman juga sudah menghubungi Pak Doni dan memintanya untuk memesan tiket pulang. Sama seperti halnya dengan Ayman, Pak Doni juga sempat terkejut mendengar permintaan atasannya. Bahkan pria itu memintanya untuk membujuk Zayna agar berpikir kembali mengenai keinginannya. Namun, keinginan wanita itu sudah bulat dan tidak bisa diganggu lagi.
Akhirnya Pak Doni pun hanya bisa pasrah dan berdoa agar semuanya baik-baik saja nanti. Mengingat betapa baiknya Zayna selama ini, dia juga tidak rela jika wanita itu tersakiti.
"Sayang, Pak Doni akan menjemput kita sebelum ashar jadi kita masih punya waktu bersantai. Apa semuanya sudah siap?" tanya Ayman pada istrinya.
"Sudah, Mas," jawab Zayna tersenyum. Dia mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan sang suami. Padahal di dalam hatinya segala perasaan bercampur aduk. Takut, gugup, bingung, semua menjadi satu.
Zayna tidak ingin Ayman khawatir. Wanita itu sudah memikirkan semuanya dengan matang. Dia akan berusaha sebaik mungkin demi mendapat restu dari mertuanya. Bagaimanapun nanti reaksi kedua orangtua Ayman, Zayna akan menghadapinya.
Ponsel wanita itu berdering, tertera nama Papa Rahmat di sana. Zayna pun segera mengangkatnya. Dia juga sudah merindukan papanya, sudah beberapa hari mereka tidak bertemu.
"Halo, assalamualaikum, Pa," sapa Zayna.
"Waalaikumsalam, Na. Kamu di rumah? Apa suami kamu ada?" tanya Rahmad yang berada di seberang telepon. Suaranya terdengar datar, selalu seperti ini, membuat Zayna berpikir jika sang papa terpaksa menghubunginya
"Iya, Pa. Aku ada di rumah sama Mas Ayman juga. Ada apa, ya, Pa?" tanya Zayna balik.
"Oh, Papa kira suami kamu masih bekerja."
"Nggak, Pa. Mas Ayman hari ini nggak kerja."
"Datanglah sekarang ke rumah Papa untuk makan siang bersama. Hari ini suami kamu juga libur? Sejak kamu pindah ke tempat tinggal baru, kamu tidak pernah main ke sini lagi. Di sini juga ada Zanita sama suaminya. Kita makan sama-sama."
Zayna ingin menolak, tetapi dia juga tidak enak pada papanya. Baru kali ini pria itu meminta dia datang ke rumah setelah menikah.
"Aku tanya dulu sama Mas Ayman, ya, Pa. Nanti aku kirim pesan, jadi atau tidaknya ke sana nanti."
"Baiklah, terserah padamu. Papa harap kamu tidak mengecewakan."
"Iya, Pa. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Zayna membuang napas dia melihat jam. Dia masih ada waktu dua jam lagi sebelum pergi. Sebenarnya cukup untuk datang ke rumah orang tuanya jika hanya sekadar makan siang saja, tetapi dia sangat yakin jika nanti di sana akan ada drama, yang membuat sang suami tidak nyaman tentunya. Apalagi dengan kehadiran Zanita dan Fahri.
Pertemuan terakhir mereka sudah membuatnya tidak nyaman, tetapi seberapa pun wanita itu menghindar, mereka akan tetap dipertemukan. Bagaimanapun Zanita adalah adiknya. Suka tidak suka, itulah kenyataannya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Ayman yang melihat istrinya gelisah.
"Papa ngundang kita untuk makan siang, Mas, sekarang."
"Memangnya kenapa? Kita masih ada waktu jadi kurasa tidak apa-apa makan di sana sebentar."
"Tapi nanti di sana pasti akan ada drama panjang dan pasti akan memojokkan kita berdua. Mereka juga pasti akan menghina kamu."
"Tapi menolak undangan papa juga tidak baik, Sayang. Lagi pula aku juga sudah terbiasa seperti itu jadi, tidak masalah untuk kali ini."
"Apa, Mas, benar-benar tidak apa-apa?"
"Iya, tidak apa-apa. Ayo, kita siap-siap ke rumah papa! Nanti pakaian yang ada di koper biar diambil sama Pak Doni. Nanti kita langsung pergi ke bandara saja."
"Apa tidak apa-apa, Mas, Paman Doni yang mengangkat semua ini?"
"Tidak apa-apa, Pak Doni juga sudah terbiasa."
"Aku jadi nggak enak nanti kalau ketemu Pak Doni. Aku sudah terbiasa memanggilnya Paman Doni."
"Terserah kamu saja, panggil dia Pa, senyaman kamu saja. Aku rasa Pak Doni juga tidak keberatan kamu memanggilnya paman."
"Iya, Mas."
Zayna dan Ayman pergi makan siang bersama di rumah Rahmat. Meski dalam hati wanita itu ragu, tetapi benar yang dikatakan suaminya. Dia tidak mungkin mengabaikan undangan papanya begitu. Meski hubungan mereka sebelumnya tidak baik, tetapi wanita itu harus tetap menghormatinya.
Hingga tidak terasa sampailah mereka di rumah orang tua Zayna. Keduanya turun dari motor dan memasuki rumah. Ternyata semua orang sudah berkumpul di ruang tamu. Tampak wajah tidak suka dari Savina dan Zanita saat melihat kedatangannya padahal sebelumnya mereka tertawa bersama.
"Assalamualaikum," ucap Ayman dan Zayna bersamaan.
"Waalaikumsalam."
"Kalian sudah datang? Duduk saja dulu, waktu masih panjang. Kita ngobrol-ngobrol dulu," ucap Rahmat.
"Sebelumnya, saya ingin minta maaf, Pa. Kami tidak bisa lama-lama karena kami akan pergi ke kota, di mana orang tua Mas Ayman tinggal. Kami ingin berkunjung ke sana," sela Zayna.
"Sombong sekali kamu, baru juga mau ketemu orang tua kampungan saja sudah sok-sokan sibuk," cibir Savina.
"Maaf, Ma. Bukan maksud aku seperti itu. Hanya saja, kami cuma punya waktu dua jam kami tidak ingin ketinggalan pesawat." Zayna mencoba membela diri.
"Gaya sekali kamu pakai naik pesawat segala. Naik mobil saja mabok," cibir Zanita sambil tertawa mengejek.
Zayna hanya diam saja. Dia tidak mau menanggapi hal yang akan memicu pertengkaran dan akan semakin memperlambat waktu. Sebelum datang ke sini dia sudah memperkirakan semuanya. Ternyata benar, dirinya pasti akan dipermalukan bagaimanapun caranya.
"Baiklah kalau begitu. Ayo, kita ke ruang makan!" ajak Rahmat.
Zayna bersyukur karena papanya mau menuruti keinginannya. Meskipun dia tahu Ayman sangat mampu membeli tiket kembali, tetapi wanita itu tetap tidak ingin membuang tiketnya dengan sia-sia. Itu juga sebagai alasan agar segera bisa pergi dari rumah ini.
Seharusnya Zayna merasa nyaman di rumah yang sudah dua puluh lima tahun ditempatinya. Namun, nyatanya dia lebih bahagia tinggal di rumah kontrakan yang kata orang hampir roboh itu. Beberapa hari tinggal di sana memberi kenangan dan kebahagiaan tersendiri untuknya.
Semua orang mengikuti Rahmat menuju ruang makan. Mereka duduk berdampingan dengan pasangan masing-masing kecuali Zivana yang duduk disebelah mamanya dan Zanita. Semuanya mengisi piringnya masing-masing dan segera menikmatinya.
.
.
.