Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sudah tiga hari lamanya aku istirahat di rumah. Awalnya sih seneng, bisa tidur lebih lama, bisa main sama Keenan sepuasnya. Tapi lama-lama malah bosan juga. Rasanya kayak hidupku berhenti. Biasanya setiap hari aku bangun pagi dengan semangat, siapin sarapan buat orang rumah, kalau shift sore bisa pulang malam terus me time bareng Keenan.
Setelah kejadian aku terkurung di ruangan pendingin itu, dokter menyuruhku istirahat total. Mas Arsya juga bilang hal yang sama. Katanya biar badanku benar-benar pulih. Tapi hari ini, tubuhku rasanya sudah lebih enakan, dan aku merasa siap kembali bekerja.
“Mbak yakin mulai masuk kerja?” tanya Kevin sambil memanaskan motornya di depan rumah.
“Iya lah. Lama-lama libur kan bisa kepotong gaji,” jawabku sambil memangku Keenan yang sedang asik memainkan rambutku.
“Iya juga. Cuti sakit cuma tiga hari.”
“Oh ya, Mbak,” Kevin mulai lagi dengan godaan garingnya.
“Kalau Mbak jadi istrinya Mas Arsya, Mbak nggak perlu mikirin gaji. Naik jabatan langsung. Dari cleaning service jadi istri CEO. Wah, cocok banget buat judul novel.”
Aku melotot ke arahnya. “Kevin, sumpah ya kamu tuh nggak capek ngomong gitu terus?”
“Tuh kan, Mbak malu. Fix, Mas Arsya pasti naksir.”
“Dia itu baik sama semua karyawan, bukan cuma aku,” sahutku cepat.
Kevin hanya cengar-cengir. Aku tahu dia nggak bakal percaya. Apalagi selama aku cuti, Mas Arsya datang terus tiap hari ke rumah. Katanya sih mau main sama Keenan. Tapi di mata Kevin? Itu langsung jadi bahan gosip abadi.
“Keenan, Mama berangkat kerja dulu ya. Jangan nakal sama nenek,” ucapku sambil mengecup kedua pipinya yang chubby.
Keenan membalas mencium pipiku sambil tertawa, membuatku makin berat ninggalin dia. Tapi kerja tetap kerja.
Aku naik ke motor Kevin dan kami pun berangkat. Sesampainya di kantor, rutinitas dimulai seperti biasa. Masuk pantry, ambil peralatan, terus bersihin ruang kerja Mas Arsya dulu. Entah kenapa semangatku hari ini lebih gede dari biasanya. Mungkin karena kelamaan nganggur di rumah.
Pas aku balik ke pantry, Mbak Cici malah terlihat panik.
“Aini! Kok kamu udah kerja? Kamu istirahat aja di sini. Kamu itu masih sakit,” katanya sambil memegang lenganku.
“Udah nggak apa-apa, Mbak. Serius,” jawabku sambil tersenyum.
“Nanti kami yang kena marah sama pak Arsya, kalau kamu keluyuran kerja begini.”
Aku mengernyit. “Marah? Emang kenapa pak Arsya marah?”
Mbak Cici menghela napas panjang, lalu bicara agak pelan, seolah takut didengar dinding.
“Kamu nggak tahu? Setelah insiden kamu itu, Pak Arsya jadi makin tegas. Dia bilang semua karyawan cukup kerjakan tugas masing-masing. Nggak boleh saling nyuruh! Katanya nggak mau kejadian kayak kamu terulang. Semua pada ngeri jadinya.”
Aku cuma terkekeh pelan. Masa sih Mas Arsya sampai segitunya? Selama aku kenal dia, dia lebih banyak diem dan lembut, jarang marah.Malahan melempem aja ekspresi nya.
Belum sempat aku komentar lebih jauh, pintu pantry dibuka. Bu Siska muncul, wajahnya datar kaya ada kecemasan.
“Aini, Cici. Pak Arsya minta kalian ke ruangan beliau sekarang.”
Aku dan Mbak Cici langsung saling pandang. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang.
Perasaan, aku nggak bikin salah apa-apa deh. Kok baru balik kerja aja sudah dipanggil?
Aku merapikan seragamku, meneguk ludah, lalu mengikuti langkah Mbak Cici menuju ruangan CEO itu. Di sepanjang lorong, beberapa karyawan menatap kami dengan ekspresi sulit ditebak. Ada yang kasihan, ada yang penasaran, ada juga yang tiba-tiba pura-pura sibuk.
Semakin dekat ke ruangan Mas Arsya, kakiku terasa makin berat. Begitu juga dengan ekspresi nya mbak Cici yang sedikit takut.
**
Mbak Cici membuka pintu ruangannya Mas Arsya lebih dulu. Anehnya, meja kerja Mbak Risa dan Mbak Vera kosong. Padahal jam segini biasanya mereka lagi sibuk-sibuknya.
Begitu kami masuk lebih dalam, aku langsung terkejut. Di ruangan itu ternyata sudah ada Mbak Lastri, Mbak Risa, dan Mbak Vera berdiri berjajar. Mereka kompak menatap kami. Tatapan Mbak Vera, seperti biasa, langsung menusuk ke arahku. Entah kenapa rasanya dingin banget.
Aku dan Mbak Cici ikut berdiri bersama mereka. Sumpah, suasananya kayak murid-murid SMA yang dipanggil guru BK. Serius tegang.
“Aini,” panggil Mas Arsya.
“Iya, Pak,” jawabku cepat. Walaupun di luar aku kadang menyebutnya “Mas”, tapi di kantor tetap “Pak”.
“Kamu yakin waktu itu hanya bersama Lastri? Nggak ada orang lain?” tanya Mas Arsya, nadanya tenang tapi jelas serius.
“Iya, Pak. Seingat saya memang cuma ada saya dan Mbak Lastri,” jawabku yakin.
Tiba-tiba Mbak Lastri memotong, “Bohong, Pak. Waktu itu ada petugas gudang lain kok!”
Aku langsung mengernyit. “Mbak kok bohong, sih? Bukannya karena nggak ada petugas gudang makanya saya diminta Mbak Cici bantu Mbak di sana?” Nada suaraku otomatis naik sedikit.
“Itu benar, Pak!” sahut Mbak Cici cepat, mendukung penjelasanku.
Lalu ia melanjutkan, “Dan itu semua perintah Mbak Vera.”
Pandangan Mas Arsya langsung beralih ke Mbak Vera, dingin banget.
“Benar kamu yang menyuruh Cici menugaskan Aini ke gudang?” tanya Mas Arsya.
“Iya,” jawab Mbak Vera santai, meski wajahnya kaku.
“Karena aku lihat dia nggak terlalu sibuk hari itu, Sya. Jadi aku minta dia bantu Lastri.”
“Kalau soal kenapa dia bisa terkurung di sana, jujur aku nggak tahu,” tambahnya.
Mas Arsya tak mengalihkan pandangan.
“Lastri, sekarang kamu jujur. Hari itu cuma ada kamu dan Aini. Dan kamu yang mengunci ruangan pendingin sampai Aini hampir kehilangan nyawanya.”
Mbak Lastri terdiam. Bahunya merosot. Wajahnya pucat.
“Kamu nggak bisa berkelit. Saya punya rekamannya. CCTV utama memang kamu rusak, tapi di sana tidak hanya ada satu CCTV,” lanjut Mas Arsya.
Suasana ruangan langsung menegang. Mbak Lastri menunduk. Jelas banget dia bingung harus jawab apa.
“Sekarang jawab. Apa alasan kamu mencelakai Aini?” suara Mas Arsya tajam tapi tetap terkontrol.
“S-saya... saya disuruh seseorang, Pak…” ucap mbak Lastri pelan. Semua kepala langsung menoleh ke arahnya.
“Siapa?” tanya Mas Arsya lagi.
“Sepupu saya, Pak, namanya Dela.”
Aku tertegun. Dalam hati rasanya nyeri sekaligus marah. Ternyata benar, Lastri ini sepupunya Dela. Dan Dela, masih aja mau merusak hidupku. Padahal aku sudah hidup tenang, jauh dari urusan dia dan Bang Rendra. Tapi rupanya dia belum puas.
Mas Arsya menghela napas panjang. “Baik. Sekarang masalahnya jelas.”
Sedikit banyaknya mas Arsya sudah tau apa alasan Dela menyuruh mbak Lastri. karena memang dia tau masalah aku,bang Rendra dan Dela.
Ia menatap Lastri tegap dan serius.
“Tindakan kamu membahayakan nyawa seseorang. Jadi mulai hari ini, kamu saya pecat. Saya sebenarnya berniat membawa ini ke pihak berwajib. Tapi Aini memohon agar diselesaikan di perusahaan saja.”
“Pak.. tapi,” Mbak Lastri memohon, suaranya gemetar.
“Saya tidak bisa menampung orang yang punya dendam tidak jelas,” tegas Mas Arsya. Nadanya tidak meninggi, tapi justru karena itu terasa lebih menusuk.
Mbak Lastri hanya mengangguk lemah, pasrah.
“Kalian bisa kembali ke pekerjaan masing-masing,” ujar Mas Arsya akhirnya.
Aku dan Mbak Cici saling pandang sebelum keluar ruangan. Kaki kami rasanya ringan karena akhirnya tahu siapa pelakunya, tapi hatiku masih ada sisa-sisa getir.
Di pantry, aku dan Mbak Cici sama-sama menghela napas panjang.
“Gila ya, sampai tega begitu…” gumam Mbak Cici.
“Iya, Mbak, aku pikir hidupku udah cukup jauh dari mereka. Tapi ternyata, masih aja diganggu,” jawabku pelan.
Aku memandang sapu di tanganku, tapi pikiranku melayang jauh. Rasanya campur aduk antara lega, sakit hati, sekaligus takut kalau masalah ini belum benar-benar selesai.
Karena kalau Dela sudah mulai bergerak aku tahu, ini belum berakhir.