Ayu Lestari namanya, dia cantik, menarik dan pandai tapi sayang semua asa dan impiannya harus kandas di tengah jalan. Dia dipilih dan dijadikan istri kedua untuk melahirkan penerus untuk sang pria. Ayu kalah karena memang tak memiliki pilihan, keadaan keluarga Ayu yang serba kekurangan dipakai senjata untuk menekannya. Sang penerus pun lahir dan keberadaan Ayu pun tak diperlukan lagi. Ayu memilih menyingkir dan pergi sejauh mungkin tapi jejaknya yang coba Ayu hapus ternyata masih meninggalkan bekas di sana yang menuntutnya untuk pulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rens16, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Luka itu
Pagi itu wajah Ayu terlihat sendu, meskipun begitu dia masih melayani suaminya dengan baik.
Ayu menyiapkan kopi dan pisang goreng untuk sarapannya dan sarapan Surya.
Surya menatap punggung istri keduanya itu dengan rasa... entahlah, Surya juga masih belum bisa memastikan keadaan hatinya.
Dia menjamah Ayu semalam semata karena ingin segera memiliki momongan dari istri keduanya tersebut.
Jujur sih dalam hati Surya juga merasakan dilema yang begitu luar biasa, apalagi saat ia mengingat Puspa yang saat itu sendirian di rumah mereka.
"Aku berangkat dulu!" Surya akhirnya pamit kepada Ayu setelah dia menghabiskan kopinya dan satu pisang goreng.
"Iya hati-hati!" Ayu mengangguk dan mencium punggung tangan itu dengan takjim.
Surya berlalu dan sebelum dia menghilang bersama mobilnya, Surya kembali menatap Ayu yang sedang menutup pintu rumah mereka,
"Apa aku terburu-buru ya? Tapi aku memang menikahi dia untuk memiliki keturunan kan? Semakin cepat semakin baik, hingga aku bisa kembali hidup bahagia bersama Puspa dan anak-anakku!" ucap Surya kepada dirinya sendiri.
Surya pun cepat berlalu dari rumah itu meninggalkan Ayu yang menyembunyikan luka untuk dirinya sendiri.
"Aku memang perempuan nggak berharga di mata kamu, tapi setidaknya dari perempuan ini kamu mengharapkan keturunan!" ucap Ayu nelangsa.
Selang beberapa hari kemudian, hubungan Ayu dan Surya semakin dingin, tak ada obrolan sama sekali saat mereka tinggal bersama.
Hanya percakapan singkat untuk menanyakan ini dan itu, selebihnya mereka kembali menjadi orang asing seperti saat pertama kali mereka bertemu.
Surya berasumsi bahwa diamnya Ayu karena Ayu marah terhadap Surya yang secepat itu telah menjamahnya.
Surya tak tahu saja bahwa dia telah melukai perasaan Ayu dengan menyebut nama Puspa saat mereka berhubungan badan waktu itu.
Hingga dua bulan kemudian kondisi Ayu menjadi lemah karena mual dan pusing yang dideritanya.
Surya panik saat pulang ke rumahnya bersama Ayu saat melihat sang istri lunglai di sofa dengan wajahnya yang pucat pasi.
"Kamu kenapa?" tanya Surya panik.
Ayu membisu, dia sedang mudah emosi dan sensitif akhir-akhir ini, disamping dia juga mudah capek dan pusing serta mual.
Surya pun memilih menghubungi ibunya, karena belakangan hari itu Puspa mulai mudah merajuk dan marah saat Surya tanpa sengaja menyebut nama Ayu di depan Puspa.
Surya dan keluarga. "Coba bawa ke dokter dulu, Ya!" perintah Inggrid ibunya Surya tampak khawatir.
"Kita ke dokter dulu!" Surya memapah Ayu ke mobilnya dan menjalankan mobil itu ke klinik terdekat.
Kampung tempat tinggal keduanya memang terbilang agak jauh dari kota karena Ayu dan Surya memang tinggal di area perkebunan teh milik keluarga Surya.
Ayu memejam, sekuat tenaga menahan rasa mual yang tiba-tiba hadir. "Kamu pengen muntah?" tanya Surya lalu menepikan mobilnya dan bergegas turun untuk membukakan mobilnya untuk Ayu.
Dengan tertatih Ayu berjalan agak menjauhi mobil dan memuntahkan isi perutnya. Cairan berwarna kuning keluar dari mulut Ayu.
Awalnya Surya merasa jijik melihat muntahan itu tapi demi melihat Ayu yang berlutut sambil mengeluarkan semua isi perutnya, Surya pun iba melihatnya.
Surya memijit tengkuk Ayu pelan. Ayu pun bangkit lalu kembali ke mobil Surya.
Surya membuntuti di belakang Ayu yang berjalan dengan limbung tapi enggan untuk dipapah Surya lagi.
Beberapa menit kemudian mobil Surya memasuki halaman sebuah klinik. Seorang perawat menyongsong Ayu dengan kursi roda.
"Dokter sudah menunggu!" perawat itu mengangguk dengan sopan. Mereka tentu saja tahu siapa itu keluarga Yasa dan tadi Inggrid pun menghubungi mereka untuk stand by di tempat.
Yang mereka penasaran adalah siapa perempuan yang datang bersama Surya itu, karena setahu mereka keluarga Yasa hanya memiliki anak lelaki satu-satunya yaitu Surya yang telah menikah dengan Puspa yang merupakan seorang anak pengusaha yang tak kalah kaya dengan keluarga Yasa.
"Ada keluhan apa, Mbak?" tanya dokter tersebut dengan lembut.
"Saya sering mual, pusing dan lemas!" jawab Ayu lirih.
"Mari silakan naik ke atas brankar!" Dokter tersebut meminta perawatnya untuk membantu Ayu naik ke atas brankar.
Stetoskop sudah siap di leher dokter tersebut, saat Ayu telah berbaring nyaman di sana, dokter pun memeriksanya dengan teliti.
"Mbak Ayu apakah sudah telat bulanannya?" tanya dokter tersebut hati-hati.
Ayu mengingat-ingat kapan tepatnya dia kedatangan tamunya, sudah cukup lama, itu sebelum Surya menyentuhnya.
"Saya lupa, Dok!" jawab Ayu lirih.
"Kalau dari pemeriksaan ini kesimpulan yang bisa saya ambil adalah Mbak Ayu hamil, tapi untuk memastikannya lebih baik langsung diperiksakan ke dokter kandungan, nanti saya kasih rujukan ke dokter kandungan kenalan saya!"
Mendengar diagnosis dokter tersebut wajah Surya berubah menjadi berbinar cerah.
Surya menggamit lengan Ayu dengan hati-hati, mereka langsung menuju ke salah satu rumah sakit mumpung hari masih terbilang sore.
Tak banyak antrian pasien hingga mereka tak menunggu lama hingga akhirnya duduk di hadapan dokter kandungan tersebut.
Dokter tersebut membaca rujukan yang dibawa oleh suami istri tersebut. "Mari Mbak Ayu kita langsung usg aja ya!" Dokter tersebut meminta perawatnya untuk menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan.
Sekali lagi Ayu tidur di brankar, dokter kandungan tersebut mengoleskan gel ke atas perut Ayu dan menggerakkan alat itu menyusuri perut Ayu.
"Ini dari kantung rahim Mbak Ayu udah terlihat titik hitam!" ucap dokter itu sambil menatap layar di atas sana.
"Titik hitam itu apa, Dok?" tanya Surya penasaran.
"Mbak Ayu positif hamil, Mas! Dari penampakan janin tersebut, usia kehamilan Mbak Ayu memasuki usia sepuluh minggu!" jawab dokter tersebut.
"Alhamdulillah ya Allah!" ucap Surya dengan rona bahagia.
Dokter tersebut tersenyum lebar karena merasakan bahagia yang sama, sementara Ayu meremas bajunya dengan pelan, dalam dada Ayu sana ada luka yang coba ia tutupi sebaik mungkin.
Ayu dan Surya kembali duduk di hadapan dokter. Dokter tersebut menuliskan resep obat untuk dikonsumsi oleh Ayu mengingat kondisi Ayu yang lemah.
"Tolong dijaga istrinya ya, Mas. Ibu hamil moodnya sering naik turun, dia butuh support yang banyak agar kondisinya dan kondisi janinnya tetap sehat!" ucap dokter tersebut sambil menyerahkan resep dan juga hasil foto janin yang baru berusia dua bulan lebih beberapa minggu itu kepada Surya.
"Baik, Dok! Saya pasti akan menjaga anak dan istri saya!" Surya pun memapah Ayu yang lemas karena sejak tadi belum memakan apapun ditambah muntah yang menguras isi perutnya.
"Kamu pengen makan sesuatu? Mas belikan sambil kita menunggu obat selesai diracik!" Surya menawarkan dengan hati-hati.
Ayu menggeleng dengan pelan. Saat ini Ayu hanya ingin menenggelamkan diri di balik selimutnya dan menangisi takdirnya yang begitu memilukan.