Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Dara bangkit dengan gembira, melompat kecil untuk menguji kakinya yang terasa pulih total. Ia memandang Tuk Guru yang tersenyum hangat, meski matanya menyimpan kesedihan.
"Kakek hebat sekali! Bagaimana Kakek menyembuhkanku?" tanya Dara penuh kekaguman.
Tuk Guru hanya mengedikkan bahu. "Rahasia alam, Nak. Kau masih muda, lukamu cepat pulih." Ia tidak menyebutkan bahwa itu adalah sentuhan terakhir dari serbuk akar kuno yang ia simpan untuk keadaan darurat—akar yang kini sudah habis. "Ayo, sebelum matahari terlalu tinggi. Ada buah-buahan hutan yang harus kita petik."
Saat mereka berdua berjalan ke pinggir hutan, meninggalkan Ratih dan Jaya yang masih beristirahat, Dara melihat ke tengah gubuk. Pilar cahaya yang kini tampak seperti monumen batu bercahaya redup itu berdiri tegak, memancarkan aura dingin dan misterius.
"Itu... apa, Kek?" bisik Dara.
"Segel," jawab Tuk Guru singkat, sambil memetik beberapa daun hijau lebar. "Segel untuk menjaga desa kita tetap aman."
Dara terdiam, mencerna kata itu. Dalam hati, ia merasakan firasat buruk. Ini bukan hanya liburan yang gagal; ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya.
Di dalam gubuk, Ratih membuka matanya. Ia merasa lelah, seolah energinya terkuras habis. Pandangannya jatuh pada Jaya yang masih berbaring, matanya terbuka, menatap langit-langit gubuk.
"Jaya?" panggil Ratih pelan.
Jaya menoleh, senyum samar tersungging di bibirnya. "Aku hanya berpikir. Kita baru saja mengalahkan—atau lebih tepatnya, menyegel—entitas purba, dan sekarang kita harus menjadi detektif?"
"Tuk Guru benar. Kita tidak punya pilihan," sahut Ratih sambil duduk, menyandarkan punggungnya ke dinding kayu. Ia menyentuh liontin daun peraknya. Kehangatannya terasa menenangkan.
"Ikatan darah," gumam Jaya, mengulang kata-kata Tuk Guru. "Artinya, kita mencari seseorang dari garis keturunanmu, Ratih. Seseorang yang tahu tentang segel itu, tentang 'Penjaga Kabut', dan yang paling penting, tentang Kunci."
Ratih mengangguk, sorot matanya kembali tajam, api merahnya kini tersimpan di balik tekadnya. "Seseorang yang entah bagaimana berhasil merusak segel awal dan memungkinkan 'Penjaga Kabut' bebas. Dan Desa Tiga Batu adalah tempatnya."
Ia teringat akan gambaran samar tentang neneknya, gambaran tentang pengorbanan yang tidak terduga.
"Nenekku... dia tidak pergi tanpa jejak. Tuk Guru bilang dia menemukan 'cara lain'. Cara yang memastikan aku menggunakan kekuatanku." Ratih mengambil kotak kayu usang yang kini menempel di tengah segel. "Kotak ini adalah kuncinya. Siapa pun dalangnya, mereka pasti tahu tentang ini, dan mereka mungkin mencarinya sekarang."
🏞️ Perjalanan Menuju Bahaya
Malam harinya, setelah makan malam sederhana yang menghangatkan, Tuk Guru berdiri di depan Ratih, Jaya, dan Dara. Ia memberikan dua kantung kecil. Satu berisi herba kering untuk daya tahan, dan satu lagi berisi beberapa keping koin perak kuno.
"Ini adalah bekal kalian. Jalan menuju Desa Tiga Batu akan memakan waktu dua hari jika kalian bergegas," ucap Tuk Guru, nadanya serius. "Ingat, Ratih. Kekuatanmu sekarang terikat pada darahmu. Jangan sia-siakan. Gunakan dengan bijak."
Ia lalu menatap Dara dan Jaya. "Kalian adalah pasak dan tali Ratih. Jaga dia. Dan jangan percaya siapa pun yang terlalu mudah membantu di Desa Tiga Batu."
"Kami mengerti, Kek," jawab Jaya tegas.
Dara memeluk Tuk Guru erat. "Kami akan kembali, Kek. Dengan Nenek Ratih."
Tuk Guru tersenyum, senyum yang mencapai matanya. "Aku tunggu. Hati-hati."
Mereka bertiga berjalan keluar dari gubuk di bawah cahaya bulan sabit yang tipis. Mereka berjalan cepat, melewati sisa-sisa reruntuhan desa lama yang kini hanya menyisakan bayangan.
Saat mereka melangkah menjauh, Ratih tiba-tiba berhenti.
"Kenapa, Ratih?" tanya Jaya.
Ratih menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku... hanya merasa seperti ada yang melihat kita."
Tiba-tiba, suara Tuk Guru—bukan dari arah gubuk, tapi seolah berbisik di telinga Ratih—membuatnya merinding.
**BISIKAN TUK GURU: JANGAN PERCAYA SIAPAPUN. BAHKAN PADA BAYANGANMU SENDIRI. DALANGNYA ADA DI SISI SEGEL. MEREKA MENCARIMU. JALAN JANGAN DITERUSKAN!**
Ratih membeku, matanya membesar karena terkejut. Bisikan itu terdengar putus-putus, seolah Tuk Guru sedang berjuang keras untuk mengirimkannya.
"Ada apa?" tanya Dara khawatir.
Ratih menoleh ke belakang, ke arah gubuk Tuk Guru, yang kini hanya terlihat sebagai titik gelap di kejauhan.
"Kita harus kembali. Aku rasa Tuk Guru dalam bahaya," kata Ratih, suaranya bergetar.
di Balik Keheningan
Ratih, Jaya, dan Dara berbalik tanpa ragu. Mereka berlari kembali ke arah gubuk dengan kecepatan penuh. Ratih memimpin, naluri keturunan Penjaga yang baru bangkit memandunya melalui hutan gelap. Bisikan Tuk Guru terngiang-ngiang: "Dalangnya ada di sisi segel."
Saat mereka mencapai batas pandang gubuk, mereka berhenti mendadak.
Gubuk itu tampak normal, disinari oleh cahaya bulan. Monumen segel di tengahnya masih berdiri, memancarkan cahaya biru redup. Namun, ada yang salah. Keheningan itu terlalu pekat, terlalu sunyi.
"Tuk Guru!" panggil Jaya pelan, tangannya sudah memegang gagang parang pendeknya.
Tidak ada jawaban.
Mereka bersembunyi di balik pohon besar, mengamati gubuk dengan waspada.
Ratih merasakan liontinnya bergetar ringan. Ia memejamkan mata, membiarkan benang-benang energi merah dari liontin mengalir ke indranya. Ia merasakan dua aura dingin di sekitar gubuk, dan yang paling mengkhawatirkan: Aura Tuk Guru yang biasanya kuat kini teredam, terkunci di suatu tempat.
"Dua orang," bisik Ratih. "Satu di dalam gubuk, satu... di dekat segel."
Jaya mengangguk. "Aku akan tangani yang di luar. Ratih, kau dan Dara masuk ke dalam. Cari Tuk Guru."
"Tidak," sela Ratih. "Yang di luar adalah target utama. Dia terlalu dekat dengan segel. Jaya, kau dan Dara tunggu yang di luar. Aku akan masuk dan mencari Tuk Guru, mungkin aku bisa mendengar sesuatu dari dalam."
Jaya ragu, tetapi melihat tekad di mata Ratih, dia mengangguk. "Hati-hati, Ratih. Jika ada masalah, teriak.
Ratih bergerak dalam bayangan, menggunakan celah di antara tumpukan kayu bakar, menuju jendela gubuk. Ia mengintip.
Di dalam, ruangan tampak kosong. Pintu kamar Tuk Guru tertutup. Ratih mendorong pintu belakang gubuk perlahan, menggesekkan tubuhnya masuk ke dalam kegelapan.
Ia menuju kamar Tuk Guru. Saat tangannya menyentuh kenop pintu kayu itu, ia mendengar suara yang pelan dan tajam dari dalam.
"Aku tahu kau menyimpan sesuatu, Tuk Guru. Segel itu rusak, bukan karena kekuatan dia..." Suara itu dingin dan berbisik, suara seorang wanita. "...tapi karena ada celah dari luar. Celah yang kau gunakan."
Ratih menempelkan telinganya ke pintu.
"Aku tidak mengerti maksudmu," suara Tuk Guru serak.
"Jangan bodoh. Kotak kayu itu. Kunci itu! Kau membuat kunci itu agar keturunan terakhir bisa mengunci kembali Penjaga Kabut, ya? Tapi kau juga tahu, satu kunci tidak akan cukup. Kau pasti menyembunyikan Cetakan Kedua."
Jantung Ratih berdebar kencang. Cetakan Kedua?
Tiba-tiba, suara gesekan keras terdengar, diikuti rintihan pelan Tuk Guru.
"Di mana! Katakan di mana kau sembunyikan cetakan kedua dari kotak itu! Kau pikir aku tidak tahu kau sudah mempersiapkan ini sejak Nenek Ratih menghilang?" desak suara wanita itu.
Ratih menarik napas, siap mendobrak. Ini adalah momen yang tepat.
Di luar, Jaya dan Dara bergerak perlahan menuju monumen segel. Sosok yang berdiri di sana tinggi dan ramping, diselimuti jubah hitam yang tampak menyerap cahaya bulan. Orang itu tampak sibuk, tangannya menyentuh pilar cahaya biru.
Saat Jaya mengangkat parangnya, bersiap menerjang, Dara melihat sesuatu yang aneh. Sosok itu tidak hanya menyentuh pilar; dia melukis di atasnya.
"Jaya, tunggu!" bisik Dara, menarik lengan Jaya. "Lihat tangannya!"
Jaya menyipitkan mata. Sosok itu menggunakan cairan hitam pekat untuk menggambar aksara kuno di atas cahaya biru pilar. Setiap aksara yang dilukis, cahaya segel itu berkedip dan meredup sedikit.
"Dia merusak segel itu lagi, dengan ritual yang berbeda!" seru Jaya.
"Kita harus menghentikannya sebelum dia menyelesaikan lingkaran itu," kata Dara.
Jaya mengangguk. "Satu... Dua... Tiga!"
Mereka melompat dari balik pohon. Jaya menyerang dengan parangnya, mengayunkannya ke punggung sosok berjubah itu.
Sosok itu berbalik dengan kecepatan mengerikan. Ia tidak menggunakan senjata; sebaliknya, dari jubahnya muncul seutas cambuk dari asap hitam yang berkelebat cepat. Cambuk itu bukan hanya menangkis parang Jaya, tapi juga mengikat pergelangan tangannya kuat-kuat.
"Makhluk rendahan!" desis suara serak, suara pria. "Kalian mengganggu ritual Leluhur!"
Dara tidak diam. Ia mengambil batu sebesar kepalan tangan dan melemparkannya tepat ke kepala sosok berjubah itu.
Batu itu mengenai target. Sosok itu terhuyung sebentar, dan cambuk asapnya mengendur. Jaya memanfaatkan momen itu, menarik pergelangan tangannya hingga cambuk asap itu putus.
"Leluhur katamu? Leluhur Ratih menyegel sampah sepertimu!" teriak Jaya, berputar dan menyerang lagi.
Di dalam gubuk, Ratih mendengar keributan di luar. Ini adalah kesempatan terakhirnya.
Ia mendobrak pintu kamar Tuk Guru.
Di dalam, Tuk Guru terduduk di lantai, punggungnya menempel ke dinding. Di depannya, seorang wanita berpakaian sederhana, namun matanya memancarkan aura licik. Di tangannya, ia memegang sebuah jarum perak kecil, ujungnya menempel di leher Tuk Guru.
Wanita itu menoleh, terkejut melihat Ratih. Namun, ia menyeringai.
"Ah, Ratih. Keturunan terakhir. Senang bertemu denganmu tanpa kabut tebal menghalangi."
Ratih mengangkat tangannya, liontinnya memancarkan cahaya merah samar. "Lepaskan Tuk Guru!"
"Aku hanya ingin Cetakan Kedua. Itu hakku, karena aku juga dari garis darah Penjaga," kata wanita itu santai, namun matanya tetap waspada.
"Kau berbohong!" bentak Ratih. "Garis darah Penjaga melindungi, bukan menghancurkan! Kau yang merusak segel!"
"Tentu saja aku merusaknya," desis wanita itu. "Kekuatan tidak seharusnya diikat! Leluhur kita terlalu pengecut. Aku akan mengambil kekuatan itu, dan kau, dengan Segel Enam Bintangmu yang lucu, telah membantuku mengamankan sumbernya."
Wanita itu melirik ke liontin Ratih. "Liontin itu dan kotak di luar adalah satu kesatuan. Tapi Cetakan Kedua... Tuk Guru, dia menyembunyikannya di tempat yang kau kenal dengan baik. Di mana Nenekmu menyimpan rahasia terbesar mereka!"
Tuk Guru memejamkan mata, isyarat putus asa kepada Ratih.
Ratih melihat sekeliling. Pandangannya jatuh pada sebuah meja kayu tua yang ditutupi oleh kain sulaman tua, pemberian dari Neneknya. Kain itu memiliki motif pohon yang sama dengan Pohon Pengetahuan.
Tuk Guru berbisik lemah, hanya terdengar oleh Ratih, "Di bawah... taplak meja..."
Wanita itu menyadari pandangan Ratih. Ia tertawa dingin. "Terlambat!" Ia menekan jarumnya ke leher Tuk Guru.
"JANGAN!" teriak Ratih, melepaskan gelombang kehendak murni.
Cahaya merah dari liontin Ratih tiba-tiba menyala seperti suar. Kali ini, ia tidak menarik benang, melainkan mendorong. Gelombang energi panas menghantam wanita itu, melemparkannya ke belakang dan menjauhi Tuk Guru.
Wanita itu menabrak dinding, terhuyung, tetapi tidak terluka parah. Matanya kini penuh amarah. "Kau akan menyesalinya, anak kecil!"
Saat wanita itu bangkit, Ratih sudah berada di meja. Ia menarik taplak meja, di bawahnya terdapat sebuah ukiran kecil berbentuk liontin daun perak yang sama persis—sebuah cetakan kosong.
"Itu dia!" desis wanita itu, bergerak cepat.
Namun, sebelum wanita itu sempat meraihnya, Ratih mencengkeram cetakan kosong itu dan melarikan diri ke luar kamar.
"Jaya! Dara! Mundur! Kita harus pergi!" teriak Ratih.