Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya. 
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Rencana Sebelum Badai
Di samping sofa tamu apartemen, Elena terus berputar-putar layaknya sedang berdansa. Pakaiannya berayun ringan mengikuti gerak tubuhnya. Kedua tangannya terangkat ke atas, memperlihatkan jari manisnya yang kini dilingkari cincin berlian berkilau. Senyum lebarnya tidak pernah pudar, dan matanya bersinar bahagia. Akhirnya, keinginannya hampir terwujud.
Ia berhenti, menahan napas yang sedikit tersengal karena berputar terlalu lama, tapi tatapannya tetap terpaku pada cincin di jarinya. Jemarinya mengelus pelan permukaannya, dan pikirannya kembali pada kejadian kemarin, saat Damian melamarnya.
Pria itu mungkin mengira ia tidak tahu apa-apa, mengira semuanya kejutan. Tapi Elena tahu. Ia tahu semuanya jauh sebelum Damian berlutut di hadapannya.
Flashback on.
Mereka baru saja meninggalkan area danau, berjalan menuju mobil yang terparkir di tepi jalan.
Namun, tiba-tiba ponsel Damian bergetar. Ia melirik layar, “Aku harus mengangkat ini.”
Elena mengangguk, lalu melangkah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Sementara itu, Damian berdiri di depan mobil, sibuk berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
Elena duduk santai, menelusuri pandangannya ke sekeliling interior mobil yang terasa mewah. Ia mengambil botol minuman yang baru dibelinya, tapi karena kurang hati-hati, sedikit cairan tumpah ke pakaiannya. Dengan cepat ia membuka konsol tengah untuk mencari tisu.
Namun tangannya berhenti.
Matanya tertuju pada sebuah kotak beludru hitam di dalam kompartemen itu. Ia menatapnya beberapa detik dengan ragu dan penasaran, lalu akhirnya meraihnya.
Kotak itu dibuka perlahan. Di dalamnya, sebuah cincin berlian berkilau.
Elena terpaku. Bibirnya perlahan membentuk senyum kecil penuh arti.
“Cincin…?” lirihnya. Tangannya menyentuh permukaan halus berlian itu. Pandangannya kemudian naik ke arah Damian yang masih sibuk berbicara di luar.
Senyumnya berubah menjadi seringaian.
“Jadi… kau akan melamarku, Damian?” ucapnya penuh sarat makna, “Aku akan menantikannya.”
Beberapa detik kemudian, ia buru-buru menutup kotak itu dan mengembalikannya ke tempat semula tepat saat Damian menurunkan ponsel dan menghampiri mobil.
“Maaf lama,” ucap Damian begitu masuk.
Elena menoleh dengan ekspresi tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Tidak masalah,” jawabnya ringan, bibirnya menahan senyum kecil.
Flashback off.
Ia kembali tersenyum lebar setelah mengingat hal itu. Namun tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Elena spontan mendecak kesal, ia sedang dalam suasana hati yang terlalu baik untuk diganggu. Meski begitu, ia tetap melangkah ke arah pintu, menatap layar monitor kecil di samping. Wajah seseorang yang cukup ia kenal muncul di sana.
“Wanita itu…?” gumamnya pelan, lalu membuka pintu.
“Hai!” sapa wanita di depan sana, Iris.
Elena menaikkan sebelah alis, menahan daun pintu sambil melirik ke kiri dan kanan koridor apartemen.
“Aku hanya sendiri,” ucap Iris cepat, seolah tahu apa yang dipikirkan Elena.
Elena menatapnya dalam diam. Ia jelas ingat wajah itu. Wanita itulah yang pernah tiba-tiba mencegatnya beberapa waktu lalu, bahkan dengan enteng menyebut nama Damian. Sayangnya, ia belum sempat menanyakan pada Damian siapa sebenarnya tetangga menyebalkan ini.
Apa wanita itu kekasih cadangan Damian? Tapi tidak mungkin. Dilihat dari usia dan caranya bicara, Iris lebih seperti anak muda polos yang kebetulan cerewet.
“Kenapa kau menatapku seperti sensor begitu?” tanya Iris sambil menggaruk tengkuknya dengan canggung.
Elena menegakkan tubuh, “Tidak ada apa-apa. Jadi, ada perlu apa kau datang ke sini?” tanyanya datar.
“Ini,” Iris mengangkat kantung kresek di tangannya, “Aku baru pulang ke rumah. Ibuku memberi terlalu banyak makanan, jadi kupikir aku bisa berbagi denganmu.”
Elena menatap kresek itu dengan wajah nyaris tidak berekspresi, “Atas dasar hubungan apa kau memberikan ini padaku?”
“Sudahlah, terima saja.” Iris langsung meraih tangan Elena dan memaksanya memegang kantung itu.
Elena memiringkan kepala, suaranya tenang tapi menusuk, “Apa kau hendak meracuniku?”
Mata Iris membulat, “Astaga! Tentu saja tidak! Aku tahu waktu itu Om Damian keluar dari apartemenmu. Jadi kupikir kalian ada hubungan. Aku mengenalnya sejak kecil, ayahku dan Om Damian adalah kenalan lama, dan aku juga bersahabat dengan anak Om Damian. Bisa dibilang, keluarga kami sangat dekat.”
Elena menajamkan pandangan, “Kau dekat dengan Sean?” tanyanya sambil melangkah setengah langkah mendekat.
Iris tampak bingung, “Kau sudah mengenal anak Om Damian?”
Elena cepat mengubah ekspresinya, pura-pura santai, “Aku hanya bertanya.”
Namun Iris malah tertawa senang, “Ya ampun! Jadi Om Damian benar-benar serius padamu. Aku senang sekali! Akhirnya Sean akan punya figur ibu di rumah. Kuharap kau bisa mengurusnya dengan baik dan aku juga berharap bisa jadi temanmu!”
“Hah?” Elena menatap Iris, setengah tidak percaya dengan kecepatan bicara dan antusiasmenya yang seperti mesin.
Iris tersenyum makin lebar, lalu menunjuk cincin di jari Elena, “Sebelumnya aku belum lihat, tapi sepertinya Om Damian sudah melamarmu, kan?”
“Ya.” Jawab Elena singkat.
“Apa Sean sudah tahu?” tanya Iris lagi dengan tatapan penuh harap.
“Tanyakan saja padanya,” jawab Elena datar, “Bukankah kau dekat dengannya?”
Wajah Iris seketika muram, “Entah kenapa, sejak kemarin Sean sulit dihubungi. Aku khawatir tapi kupikir dia akan setuju kalau ayahnya menikah lagi. Aku akan membantu memberitahunya.”
Ia tersenyum lagi, lalu melangkah mundur, “Kalau begitu, aku pamit dulu. Sampai jumpa!” ucap Iris riang, lalu masuk ke apartemennya sendiri yang letaknya tepat di depan apartemen Elena.
Elena berdiri diam beberapa saat, menatap lurus pintu yang baru saja tertutup itu.
“Sean setuju?” gumamnya dingin, “Kurasa itu hanya harapan palsumu.”
Ia kemudian berbalik dan menutup pintu apartemennya dengan tenang.
Elena lalu berjalan ke meja dapur, meletakkan kantung kresek berisi makanan itu di atas meja. Baru saja ia hendak membukanya, suara dering ponsel memecah kesunyian apartemen. Ia melirik ke arah meja ruang tamu, lalu berjalan menghampiri benda itu. Senyum samar pun muncul saat nama Damian terpampang di layar.
“Om,” sapanya setelah menempelkan ponsel ke telinga.
“Aku merindukanmu,” suara Damian terdengar berat namun lembut.
Elena tersenyum miring, “Datanglah kalau Om merindukanku.”
“Jika bisa, aku pasti sudah melakukannya.”
“Apa yang tidak bisa?”
“Hm… sebenarnya aku sedang mempersiapkan sesuatu di rumah.”
Elena berdeham kecil, “Sedang merencanakan pesta?”
“Bukan. Ini untuk menyambutmu.”
Alis Elena sedikit berkerut, “Menyambutku?”
“Karena kita akan menikah, sudah seharusnya aku memperkenalkanmu pada anakku. Malam ini, aku ingin kalian bertemu secara langsung.”
Tubuh Elena menegang seketika. Momen yang selama ini ia rencanakan, yang seharusnya ia kuasai sepenuhnya, tiba-tiba terasa lebih berat dari yang dibayangkan.
“Malam ini?” tanyanya perlahan.
“Benar. Aku akan menjemputmu nanti.”
“Tidak perlu, Om. Aku bisa datang sendiri.”
“Tapi—”
“Tidak masalah. Aku masih ingat jalan ke rumah Om.”
Terdengar helaan napas panjang dari seberang, “Baiklah, kalau itu maumu.”
Elena menatap kosong ke depan, “Sampai jumpa nanti malam.”
“Sampai jumpa, Elena.”
Begitu panggilan berakhir, ia menatap layar yang kembali gelap. Jemarinya mengepal perlahan. Malam ini, saatnya menunjukkan pada Sean, bahwa Elena yang dulu sudah mati lima tahun lalu dan yang datang malam ini, adalah Elena yang baru.
......................
Di tempat lain, Damian masih menatap layar ponselnya. Tepatnya pada riwayat panggilan dengan Elena yang baru saja berakhir. Tatapan matanya kosong, tapi ada bayangan ragu yang sulit disembunyikan.
Dalam hati, ia tahu malam ini bukan sekadar makan malam keluarga. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perkenalan. Apalagi mengingat Sean yang terang-terangan tidak menyukai Elena. Dan itulah yang membuat dadanya terasa berat.
“Tuan.”
Damian menoleh. Jane berdiri di ambang pintu kamarnya sambil memegang catatan kecil.
“Untuk bunganya… apakah sudah sesuai dengan keinginan Tuan besar?” tanyanya hati-hati.
“Akan kulihat.”
Damian berjalan terlebih dahulu menuju lantai bawah. Sementara Jane mengikutinya dari belakang tanpa suara.
Begitu sampai di ruang tamu, ia mengangguk puas saat melihat beberapa pelayan tengah menata bunga segar di vas kristal. Ruangan itu tampak lebih hidup dari biasanya.
Ia berkeliling, memeriksa dapur, ruang keluarga, hingga teras depan.
“Bagaimana, Tuan?” tanya Jane setelah lama diam.
“Bagus,” jawabnya singkat.
“Apa ada yang kurang?”
“Semuanya cukup. Persiapkan saja menu makan malam nanti.”
Jane menunduk dalam untuk mengumpulkan keberanian, “Tuan… maaf kalau saya lancang. Tapi, apa Tuan sudah memikirkan matang-matang keputusan untuk menikahi Nona Elena?”
Damian menatap wanita itu, pandangan yang cukup untuk membuat Jane menahan napas.
“Apa maksud pertanyaanmu untuk Sean?”
Jane terdiam. Ia tahu Damian bisa membaca kekhawatirannya dengan mudah.
“Aku sudah memutuskannya,” ucap Damian tenang, tapi nadanya tegas, “Anak itu harus belajar menerima keputusanku.”
Setelah itu, ia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi.
Jane hanya bisa memandang punggung pria itu yang semakin menjauh, lalu berbisik pelan, “Tuan…”
Tatapannya merendah berubah sendu. Dalam hatinya, ia tahu Sean bukan lagi anak kecil, tapi menerima ibu tiri di usia ini, tentu bukan hal yang mudah.
Saat berjalan kembali menuju kamar, Damian sibuk menatap ponselnya, menekan satu nama di daftar panggilan, lalu menempelkan ponsel ke telinga.
“Sean?”
Langkahnya terhenti di tengah tangga, tangan kirinya berpegangan pada teralis. Hening beberapa detik, lalu suara musik keras terdengar dari seberang.
Kening Damian mengerut.
“Halo, Om!” suara laki-laki lain terdengar di sela dentuman musik.
“Siapa kau?” nada Damian menajam.
“Aku Leo, teman Sean. Kami di markas, Om. Sedang menikmati pesta kecil-kecilan!”
“Pesta?” Damian menurunkan bahunya, menghela napas panjang, “Berikan ponselnya pada Sean. Aku ingin bicara dengannya.”
“Sebentar, Om. SEAN! AYAHMU MENELPON! ” teriak Leo.
Damian menjauhkan ponsel dari telinga karena volume suara yang memekakkan. Tidak lama, suara Sean menggantikan hiruk pikuk itu.
“Ayah?”
Damian kembali menempelkan ponselnya, “Bagaimana keadaanmu?”
“Baru sekarang kau mengkhawatirkanku?” nada Sean dingin, tajam seperti biasa.
“Bukan seperti itu,” Damian berusaha menahan nada suaranya agar tetap tenang, “Apa salah jika aku bertanya tentang kabarmu?”
Hening sesaat. Hanya terdengar samar dentuman musik dan desahan napas Sean di seberang sana.
“Pulanglah malam ini,” ucap Damian akhirnya, “Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu.”
“Wanita itu?” suara Sean terdengar menahan emosi, “Jadi kau benar-benar akan menikahinya?”
“Ya.”
“Baiklah. Aku akan pulang. Tapi jangan terlalu menungguku, karena bisa saja aku tidak datang.”
“Sean—”
Hingga detik selanjutnya terdengar nada sambung yang terputus.
Damian menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia menggenggam ponsel itu erat-erat, lalu menatap ke arah bawah tangga dengan pandangan kosong. Dalam diamnya, hanya ada harapan bahwa keadaan kedepannya bisa selalu baik-baik saja.
......................
Suasana markas masih ramai. Musik dari speaker besar di pojok ruangan belum berhenti, meski volumenya sudah agak dikecilkan. Beberapa botol kosong berserakan di meja, dan aroma alkohol masih kuat di udara.
Sean melempar ponselnya ke atas meja dengan wajah tanpa ekspresi, lalu menjatuhkan diri ke sofa.
Bastian yang duduk di sebelahnya melirik sekilas, sementara Leo dan dua teman mereka, Emily dan Isabel, memperhatikan dari sofa seberang.
“Kenapa ayahmu menelepon?” tanya Leo penasaran sambil meneguk minumannya.
Sean diam sejenak sebelum menjawab, “Dia akan menikah lagi. Katanya, malam ini dia akan mengenalkan wanita itu padaku.”
Ruangan mendadak lebih sunyi. Emily sampai menghentikan gerakan tangannya yang tadi memutar gelas. Isabel saling pandang dengan Leo yang sama-sama terkejut. Hanya Bastian yang tetap tenang, seolah berita itu bukan hal baru baginya.
“Wah,” ujar Emily akhirnya, mencoba tersenyum canggung, “Kau akan punya ibu baru, Sean. Selamat untukmu.”
Sean menatapnya datar, “Apa yang perlu diselamati?” tanyanya dingin, kemudian menunduk dan menatap kosong ke lantai.
“Tentu saja, ayahmu harus diberi selamat,” sahut Isabel cepat, berusaha mencairkan suasana, “Kami juga diundang, kan?”
Sean mengangkat bahu tanpa minat, “Tanyakan saja pada pemilik acara.”
Bastian yang sedari tadi diam akhirnya bersuara, “Kau akan datang nanti malam?”
“Entahlah,” jawab Sean pendek. Ia bersandar di sandaran sofa, menatap langit-langit dengan pandangan kosong, sebelum mengambil lagi botol minumannya.