Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. (Bukan) Malam Pertama
Pesta resepsi sederhana itu pun akhirnya berakhir tepat jam 7 malam. Para tamu undangan sudah tidak lagi tampak memenuhi halaman rumah ibu Nur yang telah didekorasi dengan indah.
Kini, di sebuah meja yang terdapat beberapa 5 kursi yang mengelilinginya, duduk Armand bersama ketiga sahabat dan juga pengacaranya yang hari ini datang terlambat ke acara pernikahannya. Alasannya sudah pasti sibuk menangani masalah klien lainnya.
Armand tidak mengetahui mengapa sejak tadi pengacaranya itu terus mengerutkan kening, seolah ada masalah besar yang sedang mengganggu pikirannya.
Makanya, begitu pesta berakhir dan pengacaranya itu minta bicara secara pribadi dengannya, yang mana ketiga sahabatnya yang lainnya menolak untuk pergi dengan alasan apapun masalah yang sedang Armand hadapi, mereka harus tahu, Armand pun tak memiliki alasan untuk menolak keberadaan mereka.
Duduk di sini, di sudut taman, dengan ditemani segelas kopi serta pisang goreng yang disajikan oleh mbok Nah, Armand siap mendengar apapun yang hendak Bayu sampaikan.
"Sebenarnya aku belum yakin buat nyampai'in ini sama Abang. Tapi... " Bayu mulai membuka suara, merasa tak ada gunanya untuk menyimpan suatu persoalan yang ia anggap sedikit aneh.
"Tapi apa?" tanya Armand tenang.
"Aku merasa Abang harus tau soal ini." Bayu meneruskan perkataannya yang tadi sempat terpotong. "Waktu aku ngurus berkas pernikahan Abang ke Pengadilan, awalnya aku nggak ngerasa ada yang aneh. Tapi, selepas aku nemuin Abang hari itu, besok sorenya aku dapat telpon dari salah seorang kenalanku di sana. Dia bilang, ada orang di sana yang sepertinya mau mengganggu keputusan Pengadilan. Hanya saja, sebelum kenalanku itu sempat mencari tau siapa yang mencoba mengacau rencana pernikahan Abang, tiba-tiba aja situasinya kembali seperti semula. Beberapa petinggi di sana kembali bersikap seperti biasa, seolah apa yang dicurigakan oleh kenalanku hanyalah sekedar dugaan yang tak berdasar."
"Aneh." si kalem Faris bersuara. Setelah meneguk kopi di gelasnya, duda beranak satu itu menatap secara bergiliran orang-orang yang duduk mengelilingi meja. "Kenalanmu itu bisa dipercaya 'kan, Bay?" tanyanya untuk lebih memastikan.
"Sangat bisa dipercaya, Bang." jawab Bayu tanpa keraguan.
"Kalau gitu, diselidiki aja, Man." ucap Daffa seraya mengambil pisang goreng hangat yang tersaji di atas meja. "Kita nggak tau apakah orang itu memiliki niat baik atau justru sebaliknya. Untuk mencegah hal-hal yang nggak diinginkan, ada baiknya diselidiki aja. Biar kita semua, terutama kau, nggak akan kecolongan nanti."
Armand masih diam membisu. Keningnya yang berkerut dalam serta helaan napasnya yang terdengar berat, sudah menandakan jika pria yang akhirnya bisa melepas status duda yang disandangnya lebih dari 6 itu sedang memikirkan apa yang baru saja disampaikan oleh Bayu dan juga oleh para sahabatnya.
Apa yang diceritakan oleh Bayu menimbulkan pertanyaan besar dalam dirinya.
Siapakah orang itu?
Dan, apa maksud orang itu yang ingin menghalangi pernikahannya dengan Nissa?
Armand kesulitan untuk menebak siapa orang itu. Karena sejauh yang bisa Armand ingat, beberapa orang yang mungkin menyimpan sakit hati padanya tidak mempunyai kekuasaan besar, yang bisa sampai mempengaruhi keputusan Pengadilan segala.
"Abang mau menyelidiki sendiri atau aku aja yang ngelakuinnya?"
Satu pertanyaan tersebut membuat Armand kembali menghela napas berat.
Ditatapnya pria yang lebih muda dua tahun darinya seraya berkata, "Kau selidiki aja, Bay. Tapi tolong, lakukan semuanya secara diam-diam. Jangan buat orang itu sampai menyadari jika kau sedang menyelidikinya."
Bayu mengangguk mengerti. Tentu saja ia tidak akan bertindak gegabah. Dalam hal sepele seperti ini, Bayu yakin bisa segera menemukan jawaban yang diinginkan oleh pria yang sangat berjasa dalam hidupnya itu.
Namun kemudian, tatapannya berubah jahil, senyum di bibirnya merekah lebar saat mengatakan, "Ngomong-ngomong, Bang, malam ini 'kan malam pertama kalian. Yakin nggak tuh bisa nerobos hutan belantara yang masih peraw4n? Jangan sampe nggak bisa nahan diri loh ya, Bang. Kasian bini kecilnya Abang, bakalan kesulitan jalan kalau sampe Abang main kasar."
"Ckckckck... " Armand berdecak kesal. Sifat pengacaranya yang hampir sama dengan si usil Fandy di saat sedang dalam keadaan santai seperti ini membuat Armand ingin sekali menjitak kepala.
"Wuisshhh... hahaha." suara Fandy yang tertawa geli pun terdengar. Merasa mendapat teman sekongkol untuk menggoda Armand membuatnya merasa senang. "Dengar tuh, Man. Mainnya yang lembut dan pelan aja. Genjot4nnya pake irama gitu, biar binimu merem melek keenak4n." imbuhnya yang merasa puas melihat tampang kesal sahabatnya yang baru saja melepas status dudanya.
"Sumpah ya, kalian berdua tuh pengen aku jahit mulutnya." Armand kesal bukan main. Tapi sekesal apapun dirinya, Armand tak mau bertingkah seperti remaja yang tak mampu mengendalikan diri. Sebaliknya, Armand berusaha dengan tenang membalas, "Aku doa'kan semoga kalian nanti berjodoh dengan perempuan yang sangat sulit kalian dapatkan. Saking sulitnya, kalian bahkan harus menunggu waktu yang lama untuk bisa menjeb0l gawangnya."
"Bang... "
"Man... "
Seruan dengan nada merengek tersebut terdengar saling bersahutan.
Jika Bayu merasa doa tersebut akan sangat menyiksa bagi dirinya yang mana orang tuanya selalu menagih cucu padanya, maka bagi Fandy sendiri, doa tersebut laksana sebuah kutukan.
Bagaimana bisa sampai dikatakan sebagai kutukan? Karena bagi Fandy yang sudah merasakan menjelajahi begitu banyak goa-goa sempit yang memabukkan, tak bisa lagi merasakan semua itu rasanya pasti akan sangat menyakitkan. Apa lagi jika memang sampai dirinya menikah dan tak bisa segera mengklaim wanita yang dinikahinya itu, bukankah hal itu akan sangat menyiksa bagi dirinya?
"Rasa'in." Daffa berucap santai. Pria selalu bisa santai menikmati harinya itu bahkan terkekeh kecil saat kembali berkata, "Tapi mereka ada benarnya juga loh, Man. Istrimu itu masih polos. Waktu kau cium tadi aja, sikapnya itu kaku banget. Keliatan sekali nggak berpengalaman. Nah, sebagai orang yang udah berpengalaman, kau harus menyesuaikan ritmemu. Jangan sampai dia kesakitan saat kalian berbagi peluh nanti."
Faris mengangguk menyetujui apa yang Daffa katakan. Tanpa mengatakan apapun untuk menimpali perkataan sahabatnya itu, Faris malah dengan kembali meneguk kopi dalam gelasnya dan membiarkan Armand sendiri saja yang memikirkan akan malam pertama yang malam ini akan dilewatinya bersama gadis mungil yang baru beberapa jam lalu sahabatnya itu nikahi.
*****
Jika di halaman para pria sibuk membahas malam pertama, maka di dalam kamar Armand yang telah dihias dengan begitu indah, ada Nissa yang terus bergerak gelisah di atas kursi yang ada di depan cermin hias. Matanya juga sedari tadi sibuk bolak-balik memandang pintu kamar yang masih tertutup rapat.
Kegugupan tampak jelas dari sikap dan ekspresi wajah gadis yang tampak segar setelah mandi itu.
Tidak ada lagi baju pengantin sederhana yang tadi ia kenakan. Polesan make up serta lipstik di bibir juga sudah terhapus bersih sebelum dirinya mandi tadi. Dan sekarang, dengan memakai baju terusan selutut bermotif bunga-bunga kecil berwarna putih, Nissa menanti dengan gelisah, menunggu sang pemilik kamar masuk dan entah akan melakukan apa padanya.
'Yang tenang ya, Nak. Percaya aja sama Armand. Ikuti aja semua arahannya. Biarkan suamimu itu yang nanti mengajarimu.'
Kalimat yang diucapkan oleh malaikat penolongnya itu sesaat sebelum dirinya ditinggalkan sendirian di kamar ini kembali terngiang di telinganya.
Nissa tak mengerti akan maksud dari tiap kata yang dibisikkan pelan di telinganya itu.
Namun, karena tiap kata yang terucap bagaikan perintah agar dirinya pasrah akan apa yang terjadi padanya nanti itu pula, Nissa sampai tak bisa menahan debaran jantungnya yang menggila. Kemudian...
Krieet...
Badan Nissa seketika menjadi kaku. Bunyi suara pintu yang perlahan dibuka tersebut membuat jantung Nissa semakin berdebar tak karuan, melebihi yang sebelumnya.
Lalu, seraut wajah menawan dan tampak tegas itu muncul dari ambang pintu yang terbuka. Senyum lembut yang merekah di bibir pria yang telah berstatus sebagai suaminya itu entah mengapa bisa membuat Nissa merasa sedikit tenang saat memandangnya.
"Mas mandi dulu ya, Dek." Armand berucap lembut seraya kembali menutup rapat pintu dan kemudian menguncinya. Menyadari jika istri mungilnya pasti merasa gugup, Armand berniat memberikan sedikit waktu lagi bagi gadisnya itu untuk menenangkan diri. Begitu melihat Nissa mengangguk kaku, Armand kembali tersenyum seraya berucap, "Tenang dikit napa, Dek. Mas nggak bakalan makan kamu dalam artian yang sebenarnya kok. Tapi, kita bakalan sama-sama saling 'makan'. Mas janji, Mas akan mengajarimu sampai kamu menjadi ahlinya nanti."
Nissa terbengong.
Ahli? Ahli dalam hal apa?
Pandangannya yang menyuarakan pertanyaan itu terarah kepada pria yang justru malah tersenyum lebar dan dengan santai melangkah masuk ke dalam kamar mandimandi tanpa menjelaskan apapun padanya.
Hingga detik berganti menit berlalu, Nissa belum juga bisa memahami maksud dari kata 'ahli' yang terdengar ganjil dan terus mengusiknya itu.
Dan kemudian, kurang lebih tiga puluh menit setelahnya, di sinilah mereka berada sekarang, berbaring miring saling berhadapan dengan tatapan lembut yang terarah lurus padanya.
Tiba-tiba saja Nissa merasa gugup. Meski tatapan pria yang tengah memandanginya itu tampak lembut, tapi dari balik tatapan tersebut, Nissa bisa merasakan ada yang berbeda di sana. Yang mana membuat Nissa tak mampu membalas tatapannya terlalu lama dan segera menundukkan sedikit kepalanya.
"Coba natapnya ke arah Mas, Dek." lembut Armand berucap. Saat melihat istri mungilnya itu tak juga menurutinya, pelan Armand menyentuh dagu yang terasa halus di bawah sentuhan jemarinya itu, lalu dengan perlahan mendongakkan ke arahnya. "Nggak baik loh, nolak permintaan suaminya." ucapnya hanya sekedar ingin menggoda.
"Maaf... " Nissa menelan ludah gugup. Bukan maksudnya ingin mengabaikan. Hanya saja dirinya terlalu gugup, malu untuk menatap wajah pria yang berbaring terlalu rapat dengannya itu.
Ya, posisi berbaring mereka benar-benar rapat. Sampai-sampai Nissa bisa merasakan dada bidang suaminya itu menghimpit dadanya.
Nissa merasa sedikit tidak nyaman. Ingin mundur sedikit agar ada sedikit jarak. Tapi keinginannya itu tak bisa ia wujudkan, karena kaki kanan suaminya itu telah bertumpu di atas kedua kakinya.
"Mas cuma bercanda aja tadi." suara Armand terdengar serak. Rasa mendamba serta hasrat yang terbangun dengan mudah hanya karena memandang bibir lembut yang telah bersih dari polesan lipstik itu. "Mas sekarang adalah suamimu dan bukan lagi Juraganmu. Jadi Mas harap agar kamu nggak perlu merasa sungkan atau merasakan perasaan nggak enak lainnya. Lalu, bisa 'kan kamu mulai terbuka sama Mas?
Selain mengangguk, memangnya apa lagi yang bisa Nissa lakukan. Dagunya masih dipegang, wajahnya pun masih di arahkan lurus ke arah pria yang berbaring di hadapannya itu, jadi ruang gerak Nissa terbatas.
Selain itu, Nissa juga tak dapat memungkiri bahwa kedekatan mereka yang sangat rapat ini membuatnya merasa nyaman sekaligus terlindungi.
"Kamu tenang aja. Malam ini kita cuma akan tidur." ucap Armand dengan nada berbisik.
"Hah?" Nissa melongok tak mengerti. Lagi-lagi pria di hadapannya itu mengucapkan kalimat yang tak mampu ia telaah maksudnya.
"Dinding kamar ini nggak kedap suara." bibir Armand berada begitu rapat tepat di depan bibir Nissa. Tiap kali berucap, otomatis bibirnya akan bersentuhan dengan bibir lembut milik istrinya itu. Rasanya sungguh menyiksa. Di kala gadis mungilnya itu telah bisa dimilikinya tanpa ada satu pun hal yang menghalangi, Armand masih harus menahan diri. "Mas nggak mau kalau sampai suara desah4nmu sampai didengar orang lain. Mas mau, saat nanti mas sepenuhnya berada dalam dirimu, suara hent4kan Mas dan juga suara desah4nmu yang pastinya akan terdengar seksi, bisa mengalun merdu tanpa ada yang ditahan. Nanti di rumah kita sendiri, Mas jamin kalau kamu nggak akan turun dari tempat tidur seharian penuh."
"Maksu... "
Perkataan Nissa tak bisa ia selesaikan karena terlebih dahulu bibir suaminya itu telah menempel di bibirnya.
Semua kata-katanya tertelan bersamaan dengan bibir mantan Juragannya itu yang perlahan mulai bergerak mengulum bibirnya.