NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang

Keesokan harinya, kabar datang dari arah utara. Pak Sidik, seorang pencari madu tua, mengaku melihat sesuatu yang ganjil di Rimba Sialang—hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon sialang besar, tempat lebah bersarang. Biasanya, Pak Sidik hafal jalan keluar-masuk rimba itu, tapi kemarin, katanya, jalan berubah. Ia merasa seperti berjalan dalam lingkaran. Dan lebih menyeramkan lagi, ia melihat bayangan hitam melompat di antara dahan.

“Aku ikat tali di pohon biar tak nyasar, tapi tetap balik ke tempat yang sama. Lalu... bayangan itu lewat. Tak bersuara. Tapi matanya merah. Panas,” ujar Pak Sidik di beranda rumahnya.

Bahri menatap Reno. “Rimba Sialang... tempat itu pernah disebut dalam buku. Dulu, waktu Palasik muncul pertama kali, beberapa jejaknya ditemukan di sekitar rimba itu.”

Marni, yang ikut mendengarkan, mengangguk. “Rimba itu menyimpan banyak cerita. Dulu nenek pernah bilang, ada roh yang menjaga sarang lebah. Mereka akan marah jika tempat itu diganggu.”

Ucup berdiri cepat. “Lho... terus Pak Sidik ganggu nggak tuh?”

Pak Sidik mengangkat tangan. “Nggak. Aku cuma lewat di bawah, tak ada niat ambil madu. Tapi tetap diusir, seperti bukan tamu.”

Ajo mengangguk pelan. “Mungkin karena yang jaga sekarang bukan penjaga lama. Bisa jadi, Palasik sudah mengusik tempat itu juga.”

Siang itu, mereka berlima masuk ke Rimba Sialang. Bahri membawa daun sirih dan kunyit. Marni membawa sesajen kecil: air bunga, garam, dan sepotong rotan tua.

“Kalau kita dengar suara lebah, berhenti. Jangan bicara. Kalau pohon bersuara, dengarkan,” pesan Marni.

Jalan setapak di bawah pohon sialang terasa dingin dan lembap. Udara pekat, dan suara burung nyaris tak terdengar.

Di tengah rimba, mereka menemukan sebuah batu besar, di atasnya ada sarang lebah yang menghitam.

“Lebahnya nggak ada?” tanya Reno pelan.

Marni menyentuh batu. “Tempat ini ditinggalkan. Tapi bukan karena musim. Tapi karena takut.”

Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar. Mereka menoleh. Di balik semak, muncul bayangan besar. Sosok tinggi, tubuhnya berbulu seperti akar pohon, matanya merah menyala.

“Kenapa kalian masuk... ini bukan tanah manusia...” suaranya parau.

Bahri maju pelan. “Kami datang untuk meminta izin, bukan mengusik.”

Makhluk itu mengangkat tangannya. “Tanah ini sudah ternoda. Darah ditumpahkan di sini. Anak-anakku dibakar.”

Marni tersentak. “Anak-anakmu?”

“Lebahku... sarangku... dibakar. Karena manusia ingin madu cepat. Tak tahu adat.”

Bahri mengangguk pelan. “Kami minta maaf untuk kesalahan manusia. Tapi kami mohon, beri kami tanda... kalau Palasik memang lewat sini.”

Makhluk itu menunjuk ke atas pohon. Di sana, terikat kain hitam lusuh.

“Dia lewat. Tinggalkan kain itu. Tapi dia belum kembali.”

Ucup bergumam, “Berarti dia sempat masuk rimba... mungkin nyari jalan atau sembunyi.”

Ajo menatap kain itu. “Kain itu seperti sisa pakaian anak-anak hilang tempo hari.”

Bahri menunduk. “Kita harus kumpulkan semua tanda. Karena Palasik bukan cuma bayangan. Ia tinggalkan jejak.”

Marni maju dan menabur bunga di bawah pohon.

“Kami berjanji tak akan ganggu lagi. Tapi jika boleh... lindungi rimba ini dari yang tak kasatmata.”

Makhluk itu perlahan mundur. Kabut tipis menyelimuti pohon. Lalu ia hilang.

Dalam perjalanan pulang, suasana lebih hangat. Bahkan angin sejuk mulai terasa.

Ucup menyeringai, “Ternyata penjaga rimba itu... ngerti bahasa manusia ya?”

Marni tersenyum. “Mereka bukan tak ngerti. Mereka cuma tak percaya kita datang dengan niat baik.”

Reno memandangi kain hitam yang kini dibungkus rapi.

“Kain ini akan membawa kita ke jejak Palasik berikutnya.”

Bahri menatap jauh ke arah rimba yang mulai gelap.

“Dan makin dekat kita padanya... makin besar pula bayangan yang harus kita hadapi.”

Senja mulai turun di Kampuang Binuang. Warna langit berganti jingga, dan kabut pelan-pelan merambat dari arah utara. Di rumah Bahri, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Di atas meja kayu, tergeletak sepotong kain hitam yang mereka bawa dari Rimba Sialang.

“Kain ini... seolah punya napas,” gumam Reno sambil memandangi ujungnya yang sedikit bergetar meski tak ada angin.

Ajo duduk di lantai, memutar segelas air. “Bisa jadi ini bukan kain biasa. Mungkin ini lambang. Atau bagian dari sesuatu yang lebih besar.”

Marni membuka catatan warisan neneknya. Ia membandingkan pola di kain itu dengan simbol-simbol lama.

“Ini mirip dengan pola ikat dari Hulu Batang. Tapi... bentuk simpul di pojoknya bukan dari adat kami,” ujarnya sambil mengerutkan kening.

Ucup masuk membawa pisang goreng. “Bawa gorengan dulu, biar otak nggak keriting mikirin setan melulu.”

Bahri tersenyum kecil. “Kau ini, Cup... urusan belum selesai, udah mikir perut.”

Ucup duduk dan menyodorkan sepiring ke Reno. “Setan juga takut sama perut kosong, lho. Coba aja kau lapar, pasti lebih galak dari Palasik.”

Reno tertawa. “Bisa aja kau, Cup.”

Marni menatap mereka lalu bicara pelan, “Tapi memang Ucup ada benarnya. Kita harus jaga tubuh dan pikiran. Palasik nggak datang sekali, tapi berkali-kali. Dan dia selalu tahu kapan kita lemah.”

Ajo bersandar. “Jadi, langkah selanjutnya apa?”

Bahri menunjuk kain itu. “Kita harus cari tahu dari mana asalnya. Kalau itu bukan dari Hulu Batang, kemungkinan besar berasal dari lembah tua—yang katanya dulu jadi tempat pembuangan anak-anak hilang.”

Reno mengangguk. “Lembah itu... dekat Sungai Serayu, kan?”

Marni membenarkan. “Iya. Tapi tak semua berani ke sana. Karena katanya, suara anak-anak masih terdengar di malam hari. Mereka memanggil, tapi tak tahu kepada siapa.”

Ucup menelan ludah. “Wah... aku merinding dengarnya.”

Bahri berdiri. “Kita atur rencana. Tak bisa berangkat malam ini. Tapi besok pagi, saat matahari masih hangat.”

Pagi harinya, mereka berlima berangkat menuju Lembah Sungai Serayu. Jalanan berbatu, menyusuri sawah dan pinggiran hutan kecil. Di sepanjang jalan, warga memberi mereka tatapan heran.

“Pak Bahri, kalian mau ke arah Serayu? Hati-hati, ya,” ujar Mak Unang sambil membawa keranjang sayur.

“Terima kasih, Mak. Kami hanya mau menelusuri jejak lama,” jawab Bahri.

Sampai di pinggir lembah, suasana langsung berubah. Udara lebih lembap, dan angin seolah membawa bisikan.

“Kalian dengar itu?” tanya Ajo.

“Suara... seperti anak kecil sedang nyanyi?” gumam Reno.

Marni memperhatikan tanah di bawah pohon randu tua. “Di sini... aku rasa, dulu pernah ada yang dikuburkan. Bukan satu. Tapi banyak.”

Ucup duduk di batu besar. “Kalau banyak, berarti bukan kecelakaan biasa, ya?”

Marni mengangguk. “Kemungkinan... mereka korban ritual atau pengusiran. Entah siapa yang memulai.”

Bahri mengambil cermin dan meletakkannya di tengah lapangan kecil.

“Kita panggil dengan baik. Minta izin, bukan menantang.”

Reno membakar dupa kecil. Marni membaca doa perlahan.

Lalu, dari semak belukar, terdengar suara:

“Kain itu... milik kami. Tapi bukan milik yang membawa kami.”

Sebuah bayangan kecil muncul. Anak laki-laki, usia sekitar lima tahun. Wajahnya bersih, tapi matanya sayu.

“Aku ditaruh di pohon. Kain itu untuk bungkus tubuhku.”

Reno berjongkok. “Siapa namamu?”

“Fikri.”

Bahri memejamkan mata. “Apa kau tahu siapa yang membawa kalian ke sini?”

“Seorang perempuan. Rambutnya panjang. Ia bilang... kami anak-anak pilihan. Tapi kami tak pernah dipanggil lagi.”

Ucup bergidik. “Perempuan? Rambut panjang? Jangan-jangan—”

Marni memotong. “Jangan langsung tuduh. Kita kumpulkan tanda dulu.”

Fikri menatap langit. “Kalau kain itu dikembalikan ke pohon tempatku ditaruh, aku bisa tidur.”

Bahri berdiri dan membawa kain ke pohon randu. Ia menggantungnya di salah satu dahan rendah. Angin tiba-tiba reda.

Fikri tersenyum. Lalu perlahan tubuhnya memudar.

“Terima kasih...”

Dalam perjalanan pulang, suasana lebih ringan.

Ucup membuka percakapan, “Aku heran, kenapa yang muncul selalu anak-anak? Kemana orang dewasa?”

Reno menjawab pelan, “Mungkin... karena anak-anak itu lebih jujur. Mereka tak bisa menutupi luka.”

Bahri menambahkan, “Dan mungkin juga... karena mereka korban dari ambisi orang dewasa.”

Marni menatap matahari yang mulai turun. “Kita belum selesai. Tapi Fikri sudah tenang. Itu cukup untuk hari ini.”

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!