Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaring yang Menjerat
Gedung pusat Ornadi Tech kini tak lagi terasa seperti tempat yang dulu dikenal Irene. Sekalipun gedung itu masih berdiri megah di pusat kota, atmosfernya telah berubah. Di balik pencahayaan modern dan arsitektur futuristik, tersembunyi permainan kekuasaan yang berbahaya. Irene Brilian Ornadi, kini menyamar sebagai Iris Kayana, berjalan tenang menyusuri koridor lantai tujuh, tempat para eksekutif melakukan rapat-rapat rahasia.
"Rin," panggil Davin dari ruang CEO.
Ia segera masuk dan menutup pintu rapat. Davin duduk di kursi kulit hitam.
"Investor dari Singapura sudah menandatangani kesepakatan baru," kata Davin sambil mengunyah permen karet favoritnya.
"Mereka pindah dari pihak Cassandra karena merasa lebih percaya dengan kita."
Irene mengangguk tenang, menyembunyikan gejolak puasnya.
"Itu kabar baik. Aku akan mulai pendekatan dengan pihak Jepang minggu depan."
Davin melemparkan senyum.
"Bagus. Oh, dan satu lagi. Aku butuh akses file ekspansi perusahaan lama. Aku yakin kau bisa menemukannya."
"Sudah kutemukan." Irene menyerahkan tablet padanya.
"Cassandra menyembunyikannya. Dia mengalihkan dana untuk proyek fiktif dan menyimpan catatan asli di bawah sistem cadangan."
Davin bersiul pelan.
"Kau cepat bekerja, Rin."
"Aku tidak cepat," sahutnya dingin,
"Aku hanya memastikan yang salah tempat kembali ke tempatnya."
***
Sementara itu, di sudut tersembunyi ruang IT Ornadi Tech, Reno Wiratmaja duduk di depan layar monitor yang menampilkan struktur jaringan terbaru milik perusahaan. Sebagai teknisi keamanan yang baru disusupkan, ia sudah hampir seminggu bekerja menyusup tanpa terdeteksi oleh Davin dan orang-orang Valtherion lainnya.
Namun mata Reno tak berhenti menelusuri layar. Ia mencari satu nama "Alexio Dirgantara."
Data-data rahasia mengenai transaksi antara Ornadi Tech dan organisasi kriminal besar mulai muncul di hadapannya. Perlahan, ia mulai mengaitkan pergerakan Alexio, keberadaan Davin sebagai CEO boneka, dan satu wajah wanita yang terus menghantuinya, wanita bernama Rin.
***
Hari berikutnya, Irene berjalan keluar gedung usai jam kantor. Ia baru saja selesai pertemuan dengan tim investor Korea. Di lobi utama, langkahnya terhenti. Irene yang sedikit kepanasan mulai melepas wig yang ia kenakan. Tak disangka, tanpa Irene sadari, seseorang sedang memperhatikannya.
"Nona Irene."
Suara itu. Dingin. Dalam. Familiar.
Irene menoleh. Reno berdiri di sana, mengenakan kemeja putih dan jaket abu-abu tipis. Tatapan mereka bertemu. Hening.
Jantung Reno seketika melonjak. Ia mengikuti langkah itu, mendekat perlahan hingga keduanya akhirnya berhadapan.
"Nona Irene…" bisiknya.
Irene terkejut. Matanya membulat, tubuhnya menegang. Beberapa detik ia tak bisa bicara.
"Reno?!"
"Kita harus bicara."
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Irene kaku.
"Mencarimu," jawab Reno.
Irene ingin pergi, namun kakinya tak bergerak. Entah kenapa, melihat Reno lagi membuat emosinya mengaduk.
"Cass memintaku untuk menemui dan membawamu padanya," lanjut Reno.
"Dan kau menurut? Seperti biasa karena dia adik tiriku yang kau cintai, bukan?"
Reno menghela napas.
"Aku hanya menjalankan tugas."
"Tugas?" Irene nyaris mendesis.
"Kau benar-benar kejam."
Sebelum Reno bisa menjawab, langkah berat terdengar mendekat. Alexio muncul di antara kerumunan orang. Matanya langsung mengarah ke Reno.
"Siapa dia?" tanyanya tajam pada Irene.
Irene cepat tanggap. Ia meraih tangan Reno dan tersenyum kecil.
"Dia vendor, aku ada urusan dengannya."
Alexio sempat terdiam. Tatapan matanya menusuk. Alexio tak mengatakan apapun, tapi sorot matanya menusuk. Saat Irene dan Reno menjauh, bara cemburu mulai menggelayuti hatinya.
Reno memandangi Irene dengan heran.
"Kenapa Nona Irene menutupinya?"
"Naik ke atap bersamaku," kata Irene tanpa menjawab.
***
Di atap gedung Ornadi Tech, malam mulai merayap. Angin bertiup pelan, menebarkan aroma kota dan kesepian.
"Kau masih percaya tentang skandalku di hotel itu?" tanya Irene.
Reno diam.
"Jawab, Reno."
"Aku tidak ingin tahu. Aku bukan lagi bodyguard-mu."
Irene menunduk.
"Kau tidak pernah percaya padaku… dan sekarang kau memilih Cass."
Reno tidak menanggapi langsung.
"Aku mengikuti kata hatiku."
"Hatimu?" Irene nyaris tertawa sinis.
"Kalau begitu, hatimu bodoh."
Irene mengalihkan pandangannya.
"Kau mencintainya, bukan? Cassandra."
Reno tak menjawab. Diamnya adalah pengakuan. Air mata hampir tumpah dari sudut mata Irene, tapi ia menahannya. Ia mendongak, menantang malam.
"Sampaikan padanya. Aku tidak akan menyerahkan apa yang menjadi milikku. Bahkan jika dia berlutut sekalipun."
Irene berbalik dan pergi. Reno hanya bisa memandangi punggungnya, tanpa berkata apapun. Air mata menggantung di pelupuk Irene, tapi tak ia biarkan jatuh. Ia berbalik pergi. Reno memandang punggungnya. Tak mampu mencegah.
Tanpa mereka tahu, dari balik pintu atap, Alexio berdiri. Diam. Tatapannya hanya pada Irene. Fokusnya bukan pada Reno. Tapi pada Irene. Sorot mata Irene yang berbeda. Ekspresinya. Tatapan matanya. Itu bukan tatapan biasa. Itu adalah luka. Luka yang dalam dan Alexio, untuk pertama kalinya, merasa sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, membakar pelan-pelan dari dalam dadanya.
***
Di sisi lain, Sasha duduk di ruang rahasianya bersama Koji dan Lucas. Mereka sedang menatap layar besar yang menampilkan wajah Irene Brilian Ornadi.
“Iris Kayana—alias Rin. Aku pastikan dia adalah Irene Brilian Ornadi," ucap Sasha yakin.
Koji menyipitkan mata.
"Dan kau tak memberi tahu Cassandra?"
"Belum. Bukan waktunya," jawab Sasha santai.
"Kita bisa memanfaatkannya lebih dalam sebelum Cassandra menyadari."
Lucas menambahkan, "Aku sedang menyiapkan proposal kerja sama untuk Cassandra. Posisi kepala keamanan bisa jadi milikku dan dari sana, kita punya akses ke jantung pertahanan perusahaan."
Koji mengangguk.
"Bagus. Aku akan mulai mengganggu sistem jaringan Davin secara perlahan. Kita sabar. Jika semuanya sudah siap, kendali akan jatuh ke tangan kita."
***
Beralih ke Alexio...
Dari balik dinding, Alexio menyaksikan semuanya. Ia tak mendengar semua kata, tapi cukup menangkap sorot mata Irene ketika menatap pria itu. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat dadanya sesak. Ketika Irene meninggalkan Reno, dan Reno hanya diam membiarkannya pergi, Alexio menunduk dalam diam. Namun malam belum selesai.
Di ruang kerjanya yang sunyi, cahaya dari satu-satunya layar monitor menyinari wajah dingin Alexio Dirgantara. Sinar bulan dari jendela hanya mempertegas siluet bahunya yang tegang.
Satu pesan masuk ke inbox email terenkripsinya. Pengirimnya: Davin.
Subject: Reno Wiratmaja – Profil Lengkap
Alexio mengkliknya. Sejumlah data langsung tampil di layar: riwayat militer, catatan keahlian, penugasan khusus, hingga posisi Reno sekarang sebagai kepala keamanan Ornadi Corp dan pengawal pribadi CEO sementara—Cassandra Ornadi.
Alexio menyipitkan mata. Foto Reno terpampang jelas pria bertubuh tegap, berwajah tenang dan berkarisma. Namun yang membuat Alexio berhenti sejenak adalah kenyataan bahwa pria itu pernah begitu dekat dengan Irene.
Tangannya terulur ke atas meja, meraih pisau lipat kecil yang biasa ia mainkan saat berpikir.
Pisau itu berputar di jemarinya. Tatapannya masih tertuju pada wajah Reno di layar, penuh ketegangan yang tak diucapkan.
"Jadi… ini kau," gumam Alexio pelan, nyaris tak terdengar, seolah bicara pada saingan yang tak ia pilih tapi kini tak bisa dihindari.
Pisau itu berhenti berputar. Ujungnya menancap ringan ke kayu meja dan Alexio hanya duduk diam, menatap monitor, membiarkan api kecil itu tumbuh pelan-pelan di dalam dadanya.